Otonomi Daerah Bukan Hadiah Pemerintah Pusat
Sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih mengikuti kirab ke Istana Kepresidenan, Jakarta, untuk dilantik pada, Kamis (20/2/2025). Presiden Prabowo Subianto melantik serentak 961 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pada Pilkada 2024.(KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN)
08:36
20 Desember 2025

Otonomi Daerah Bukan Hadiah Pemerintah Pusat

ADA kecenderungan berbahaya dalam cara kita berbicara tentang otonomi daerah. Ia kerap diperlakukan seolah-olah hadiah dari pemerintah pusat: bisa diberikan, bisa ditahan, bahkan bisa ditarik kembali kapan saja.

Cara pandang semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga mengikis fondasi konstitusional negara kita.

Otonomi daerah bukan hadiah. Ia bukan kemurahan hati kekuasaan pusat. Ia adalah hak konstitusional yang lahir dari sejarah, ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan diperjuangkan melalui reformasi politik yang panjang.

Ketika otonomi diposisikan sebagai hadiah, maka daerah ditempatkan sebagai pihak yang harus selalu berterima kasih.

Padahal, dalam negara hukum demokratis, hubungan pusat dan daerah bukan relasi pemberi dan penerima belas kasih, melainkan relasi kewenangan yang diatur dan dibatasi oleh konstitusi.

Undang-Undang Dasar 1945 tidak pernah membuka ruang tafsir bahwa otonomi daerah berasal dari kebaikan pemerintah pusat.

Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Kata “sendiri” di sini bukan sekadar pilihan redaksional, melainkan penegasan bahwa daerah memiliki ruang kemandirian dalam mengelola urusannya.

Dalam teori Hukum Tata Negara, otonomi daerah merupakan bagian dari desain pembagian kekuasaan dalam negara kesatuan.

Ia berfungsi sebagai mekanisme pembatasan kekuasaan pemerintah pusat sekaligus sarana mendekatkan negara kepada rakyat.

Pemerintah pusat memang memegang kedaulatan, tetapi konstitusi mengharuskan kedaulatan itu dijalankan secara terbagi dan bertingkat.

Sejarah ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa sentralisme yang berlebihan selalu melahirkan masalah.

Pada masa Orde Baru, daerah nyaris tidak memiliki ruang kebijakan berarti. Hampir seluruh keputusan strategis ditentukan dari pusat.

Ketimpangan pembangunan, ketidakadilan fiskal, dan rasa terpinggirkan di daerah menjadi harga mahal dari sentralisme tersebut.

Reformasi 1998 lahir bukan semata untuk mengganti rezim, melainkan untuk mengoreksi cara negara dijalankan. Otonomi daerah menjadi salah satu pilar utama reformasi.

Undang-undang pemerintahan daerah pasca-Reformasi dirancang untuk membalik logika lama: dari “daerah melayani pusat” menjadi “negara hadir melalui daerah”.

Otonomi daerah bukan soal teknis administrasi semata. Ia adalah soal martabat politik daerah. Melalui otonomi, daerah diberi kepercayaan untuk mengatur kepentingan warganya sendiri sesuai kondisi sosial, ekonomi, dan kultural setempat. Kepercayaan itu sekaligus mengandung tanggung jawab.

Ketika kewenangan daerah dipersempit, yang dirampas bukan hanya ruang kebijakan, tetapi juga tanggung jawab politik.

Kepala daerah memperoleh mandat rakyat melalui mekanisme pemilihan yang demokratis sebagaimana ditegaskan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dan dalam praktik ketatanegaraan dijalankan melalui pemilihan langsung berdasarkan undang-undang. Mandat itu kehilangan makna apabila kewenangan substantif justru dikunci oleh pusat.

Dalam hukum pemerintahan daerah, kewenangan adalah inti dari otonomi. Tanpa kewenangan, otonomi tinggal nama.

Pemerintah daerah bukan sekadar pelaksana teknis kebijakan pusat, melainkan subjek pemerintahan yang memiliki legitimasi demokratis.

Namun dalam praktik mutakhir, kewenangan daerah semakin sering direduksi melalui penyeragaman norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan secara nasional.

Daerah diwajibkan patuh, sering kali tanpa ruang adaptasi yang memadai. Diskresi menyempit, kreativitas kebijakan mati perlahan.

Argumen yang kerap digunakan untuk membenarkan penarikan kewenangan daerah adalah efisiensi.

Pemerintah pusat mengklaim sentralisasi diperlukan demi kepastian investasi dan percepatan pembangunan. Argumen ini terdengar rasional, tetapi menyimpan persoalan mendasar.

Efisiensi tidak boleh dibayar dengan pengorbanan prinsip konstitusional. Negara hukum tidak mengenal efisiensi yang mengabaikan hak.

Otonomi daerah adalah hak konstitusional, bukan hambatan administratif. Jika terdapat masalah kapasitas di daerah, solusinya adalah pembinaan dan penguatan, bukan pengebirian kewenangan.

Sentralisasi kebijakan membawa risiko serius. Kebijakan yang disusun jauh dari daerah sering gagal membaca konteks lokal. Indonesia bukan ruang homogen.

Kondisi geografis, sosial, dan budaya setiap daerah berbeda. Kebijakan seragam berpotensi melahirkan konflik, penolakan masyarakat, dan kerusakan lingkungan.

Risiko lain adalah kaburnya akuntabilitas. Ketika keputusan diambil pusat, tetapi dampaknya dirasakan daerah, rakyat kebingungan menentukan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban.

Kepala daerah menjadi sasaran kemarahan publik, padahal ruang kewenangannya terbatas.

Otonomi daerah adalah fondasi demokrasi lokal. Pemilihan kepala daerah dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan publik lahir dari kehendak rakyat setempat. Namun, demokrasi membutuhkan kewenangan nyata, bukan sekadar prosedur elektoral.

Ketika kepala daerah dipilih secara demokratis, tetapi tidak diberi ruang untuk mengambil keputusan penting, demokrasi kehilangan makna substantif. Rakyat memilih pemimpin, tetapi pemimpin tidak memiliki kuasa. Ini paradoks demokrasi yang berbahaya.

Dalam doktrin hukum pemerintahan daerah dikenal perbedaan antara local self-government dan local state government.

Yang pertama menempatkan daerah sebagai entitas otonom dengan kebebasan mengatur urusan sendiri. Yang kedua menjadikan daerah sekadar perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Negara kesatuan yang demokratis seharusnya bertumpu pada local self-government. Ketika kebijakan pusat terlalu dominan, daerah terdorong menjadi local state government. Di titik inilah otonomi kehilangan ruhnya.

Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk memusatkan kewenangan. Padahal pembangunan yang berkelanjutan justru membutuhkan keterlibatan daerah.

Daerah yang dilibatkan secara bermakna lebih mampu menjaga stabilitas sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Investasi yang dipaksakan tanpa partisipasi daerah dan masyarakat lokal cenderung rapuh. Konflik agraria, penolakan proyek, dan krisis kepercayaan publik sering berakar pada kebijakan yang mengabaikan otonomi daerah.

Persoalan otonomi daerah bukan soal memilih antara pusat atau daerah. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan.

Pemerintah pusat tetap memegang urusan strategis nasional. Daerah tetap berada dalam bingkai negara kesatuan. Namun, keseimbangan menuntut adanya ruang kebijakan yang nyata bagi daerah.

Pengawasan dan pembinaan harus berjalan seiring dengan pemberian kewenangan. Menarik kewenangan karena takut disalahgunakan justru mencerminkan kegagalan negara membangun sistem pengawasan yang efektif.

Ke depan, arah kebijakan pemerintahan daerah harus kembali pada semangat konstitusi dan reformasi. Otonomi daerah harus diperlakukan sebagai hak, bukan hadiah. Negara perlu memperkuat kapasitas daerah, bukan melemahkannya.

Kepercayaan adalah kunci. Pemerintah pusat harus berani mempercayai daerah, sebagaimana daerah dituntut bertanggung jawab. Tanpa kepercayaan, otonomi akan selalu dipandang sebagai ancaman, bukan aset.

Otonomi daerah bukan hadiah pemerintah pusat. Ia adalah hak konstitusional yang lahir dari sejarah panjang dan ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Memperlakukan otonomi sebagai hadiah berarti menempatkan daerah sebagai bawahan, bukan mitra dalam penyelenggaraan negara.

Negara yang kuat bukan negara yang memusatkan segalanya, melainkan negara yang mampu berbagi kekuasaan secara adil dan bertanggung jawab. Di situlah otonomi daerah menemukan maknanya: sebagai fondasi demokrasi, keadilan, dan keutuhan Indonesia.

Tag:  #otonomi #daerah #bukan #hadiah #pemerintah #pusat

KOMENTAR