Perwira Polri Ingatkan Debt Collector Tak Boleh Tarik Paksa Tanpa Putusan Pengadilan!
- Peringatan Polri dikeluarkan menyusul pengeroyokan dua debt collector di Kalibata yang berujung perusakan kios pedagang.
- Penarikan kendaraan paksa oleh debt collector dilarang dan harus berdasarkan putusan pengadilan sesuai UU Fidusia.
- Enam anggota Polri ditetapkan tersangka atas pengeroyokan dua *matel* yang ternyata menghentikan kendaraan milik anggota.
Kasus pengeroyokan maut dua debt collector atau mata elang (matel) di Kalibata, Jakarta Selatan hingga berujung perusakan kios pedagang, memantik peringatan keras dari internal Polri.
Auditor Kepolisian Madya Tingkat II Itwasum Polri Kombes Manang Soebeti menegaskan, penarikan kendaraan oleh debt collector tidak boleh dilakukan secara paksa tanpa putusan pengadilan.
Peringatan itu disampaikan Manang melalui unggahan ulang video lama di akun Instagram pribadinya, @manangsoebeti_official, yang kembali viral di tengah ramainya polemik matel menyusul tragedi Kalibata.
Dalam unggahan tersebut, Manang menyebut video itu sebagai materi edukasi bersama agar konflik penagihan utang tidak berujung kekerasan.
“Kalau Anda tidak rela kendaraan Anda ditarik atau tidak secara sukarela menyerahkan, jangan tanda tangan apapun dan segera lapor ke polres atau polda. Oke bray,” ujar Manang dalam video tersebut dikutip Suara.com, Sabtu (13/12/2025).
Manang menjelaskan, praktik penarikan kendaraan secara paksa oleh debt collector bertentangan dengan Undang-Undang Fidusia.
Menurutnya, meski terjadi wanprestasi atau cedera janji antara debitur dan kreditur, eksekusi terhadap objek fidusia tidak boleh dilakukan sepihak di jalan.
“Dalam Undang-Undang Fidusia, apabila terjadi cedera janji atau wanprestasi antara debitur dengan kreditur, maka kreditur tidak boleh semena-mena melakukan penarikan ataupun eksekusi,” jelas Manang.
Ia juga menegaskan, ketentuan tersebut diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71 Tahun 2021. Putusan itu menyatakan frasa “yang berwenang” dalam eksekusi fidusia tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai pengadilan negeri.
“Artinya, dalam upaya eksekusi penarikan terhadap objek fidusia, haruslah melalui putusan pengadilan negeri. Jadi tidak boleh semena-mena kreditur melakukan penarikan paksa, kecuali debitur secara sukarela mau menyerahkan kendaraan,” tegasnya.
Di sisi lain Manang juga memberi pesan langsung kepada para debitur. Ia meminta masyarakat tidak terpancing melakukan perlawanan di lapangan apabila menghadapi penagihan yang disertai intimidasi.
“Apabila Anda mendapatkan perlakuan semena-mena dari debt collector, Anda tidak perlu melakukan perlawanan. Kalau Anda tidak mau menyerahkan kendaraan secara sukarela, mereka tidak berhak menarik tanpa putusan pengadilan,” ujarnya.
Menurutnya, bila penarikan disertai ancaman, kekerasan, atau perampasan, masyarakat lebih baik segera melapor ke kepolisian.
“Kalau mereka melakukan upaya paksa dengan kekerasan, merampas, mengancam, laporkan ke polres atau polda. Kita akan melakukan tindakan hukum,” kata Manang.
Tak hanya kepada debitur, Manang juga melontarkan peringatan keras kepada para debt collector. Ia menegaskan praktik penarikan paksa adalah perbuatan melawan hukum.
“Hentikan tindakan-tindakan melawan hukum. Tidak boleh ada debt collector di manapun yang melakukan penarikan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan. Penarikan hanya boleh berdasarkan putusan pengadilan,” ujarnya.
“Sekali lagi, tanpa putusan pengadilan, Anda tidak berhak melakukan penarikan dengan upaya paksa,” lanjut dia.
Tragedi Kalibata
Peringatan Manang muncul di tengah sorotan publik terhadap tragedi Kalibata. Kasus ini bermula ketika dua matel, MET (41) dan NAT (32), menghentikan sepeda motor yang diduga menunggak cicilan.
PerbesarPolda Metro Jaya menetapkan enam anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri sebagai tersangka dalam kasus pengeroyokan yang menewaskan dua mata elang (matel), MET dan NAT, di Kalibata, Jakarta Selatan. (Suara.com/M. Yasir)Namun, sebelum negosiasi sempat dimulai, sebuah kendaraan lainnya tiba-tiba menepi. Sekitar empat hingga lima pria keluar, bergerak dengan kecepatan brutal. Mereka mengeroyok MET dan NAT bertubi-tubi. Dalam hitungan menit, keduanya terkapar bersimbah darah, lalu diseret ke tepi jalan.
Kapolsek Pancoran Kompol Mansur menyebut satu di antaranya tewas di tempat. Sedangkan satunya meninggal dunia di rumah sakit setelah sempat dinyatakan kritis.
Insiden tersebut kemudian memicu aksi balas dendam kelompok matel yang berujung pembakaran dan perusakan puluhan kios pedagang serta kendaraan warga di sekitar lokasi.
Belakangan terungkap, motor yang sempat dihentik oleh matel tersebut ternyata dikendarai anggota Polri.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menyatakan fakta itu menjadi latar belakang terjadinya pengeroyokan.
“Jadi kendaraan tersebut betul digunakan oleh anggota sehingga inilah yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa tersebut,” kata Trunoyudo di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (12/12/2025) malam.
Dalam kasus pengeroyokan itu, Polda Metro Jaya telah menetapkan enam anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri sebagai tersangka.
Keenam tersangka tersebut di antaranya; Bripda Irfan Batubara, Bripda Jefry Ceo Agusta, Brigadir Ilham, Bripda Ahmad Marz Zulqadri, Bripda Baginda dan Bripda Raafi Gafar. Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik melakukan rangkaian pemeriksaan, termasuk memeriksa saksi-saksi dan menganalisis rekaman CCTV.
Tag: #perwira #polri #ingatkan #debt #collector #boleh #tarik #paksa #tanpa #putusan #pengadilan