Menimbang Pantas Tidaknya Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Antara Dosa dan Jasa
- Menjelang Hari Pahlawan pada 10 November, aktivis HAM yang juga ibu dari korban Tragedi Semanggi I, Maria Catarina Sumarsih, menyuarakan penolakannya terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.
Ia menilai, langkah itu bisa memancing kemarahan rakyat dan membuka kembali luka lama akibat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa kekuasaan Soeharto.
“Saya khawatirnya justru kalau misalnya nanti ada pahlawan nasional untuk Latak (Soeharto), akan memancing rakyat marah,” kata Sumarsih, di sela-sela aksi Kamisan di depan istana merdeka, Kamis (6/11/2025).
“Kalau rakyat marah, jangan lupa Pak Harto (sebutan Soeharto pada masanya) berkuasa 32 tahun bisa diturunkan dari jabatan presiden melalui pergerakan mahasiswa dan pergerakan rakyat,” ujar Sumarsih.
Menurut dia, pemerintah saat ini seharusnya belajar dari sejarah, terutama dari dinamika sosial-politik menjelang kejatuhan Soeharto pada 1998.
“Pemerintah itu kok tidak belajar dengan peristiwa 28-30 Agustus 2025, ketika rakyat melihat arahannya si anggota DPR RI, yang katanya presiden mau melakukan efisiensi, tapi kenyataannya anggota DPR justru ditingkatkan kesejahteraannya. Kemudian rakyat marah,” ucap dia.
Sumarsih menilai, jika pemerintah tetap memaksakan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, potensi gejolak sosial akan sulit dihindari.
“Korban pelanggaran berat pada masa Pak Harto banyak. Kalau sekarang diberi gelar pahlawan nasional, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi keberulangan korban pelanggaran berat,” kata dia.
“Kalau ditimbang kebaikan Pak Harto dengan kejahatan, kejahatannya itu lebih banyak,” ujar dia.
Sumarsih berharap, pemerintah dan DPR mengendalikan diri serta mendengar suara rakyat yang banyak menolak wacana tersebut.
“Harapan saya, pemerintah maupun DPR RI mau mendengarkan suara rakyat. Banyak yang menolak Pak Harto diberikan kehormatan nasional karena keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya,” kata dia.
Luka lama belum lunas terbayar
Sumarsih juga mengingatkan bahwa klaim sejarah yang kerap dikaitkan dengan jasa Soeharto tidak sepenuhnya benar.
Sumarsih mengingatkan, Soeharto pernah dituntut sejumlah pihak agar diadili atas dugaan korupsi dan pelanggaran HAM.
Namun, proses hukum terhadapnya berhenti setelah ia dinyatakan sakit permanen.
“Jangan lupa Pak Harto itu dituntut supaya diadili, tapi kemudian dihentikan karena dinyatakan sakit permanen. Itu menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum semakin kehilangan tajinya, hukum tidak bertaji, tajam ke bawah, tumpul ke atas,” kata dia.
Di sisi lain, pelanggaran hukum yang terjadi tak hanya seputar pulau Jawa saja.
Dari Papua, perempuan adat asal Mpur, Papua Barat, Maria Kebar, menyuarakan harapan agar Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menaruh perhatian serius pada penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.
Ia menegaskan, sebelum pemerintah berbicara soal pemberian gelar pahlawan nasional kepada tokoh-tokoh tertentu, termasuk Soeharto, sebaiknya luka lama di Papua disembuhkan terlebih dahulu.
“Saya tidak akan berkomentar tentang gelar pahlawan dari Presiden Prabowo kepada Soeharto. Tapi, saya hanya minta, ayo Pak Presiden selesaikan persoalan Papua. Temasuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang dari tahun ke tahun belum pernah diselesaikan,” kata Maria, yang turut hadir dalam aksi Kamisan.
Menurut Maria, rakyat Papua masih hidup di tengah luka sejarah yang belum sembuh.
Ia menyoroti pendekatan keamanan yang masih kerap digunakan pemerintah dalam menangani Papua.
“Kami tinggal di dalam luka. Ada luka-luka masa lalu, dan sampai hari ini pun masih terluka. Hutan dibabat habis. Kami tidak menolak pembangunan, tapi cara pendekatannya yang salah,” tegas dia.
“Banyak sekali militerisasi yang masuk di Tanah Papua—di Kepala Burung, di tujuh wilayah adat. Ini membuka trauma lama dan memberi luka baru kepada masyarakat adat, baik di kampung maupun di kota. Sehingga masyarakat susah untuk bersuara mempertahankan tanahnya sendiri,” ujar Maria.
Dia mengatakan, Papua tidak menolak pembangunan, tetapi pemerintah perlu melakukan pendekatan yang manusiawi.
Dia tak mau, luka itu kembali dirasakan sebagai bagian dari warisan masa Orde Baru.
“Mungkin lebih tepatnya, masalah pelanggaran HAM itu dulu yang diselesaikan. Baru kita bicara soal pantas atau tidaknya gelar pahlawan itu diberikan. Tidak mungkin gelar itu diberikan begitu saja tanpa standar. Ada kompetensi dan ukuran tertentu untuk seseorang diakui sebagai pahlawan nasional,” ujar dia.
Militerisasi orba dan repikasinya saat ini
Sumarsih juga mengulas kembali sejarah reformasi 1998 dan enam agenda reformasi yang menurutnya kini mulai pudar.
Ia menilai, pemerintahan saat ini menunjukkan tanda-tanda kemunduran demokrasi.
“Pak Harto turun dari jabatan presiden karena gerakan mahasiswa dan rakyat. Karena pemerintahannya semakin otoriter, militeristik, dan korup. Tapi, setelah itu, agenda reformasi seperti adili Soeharto dan kroni-kroninya, berantas KKN, dan tegakkan reformasi hukum tidak dijalankan,” tutur Sumarsih.
“Sekarang TNI-Polri semakin banyak masuk ke ranah sipil, bahkan dilembagakan melalui revisi Undang-Undang TNI. Pemerintahan itu mengarah ke militeristik dan otoriter,” ujar dia.
Sumarsih juga menyoroti wacana yang sempat muncul mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periode kepemimpinan.
“Pemilu 2024 itu sempat ada wacana periode presiden menjadi tiga periode. Untung tidak terjadi. Tapi, seandainya memang ditetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, saya khawatir rakyat akan marah,” kata dia.
Dia mengatakan, dosa-dosa Soeharto tentunya bisa menjadi cermin berbagai pihak dalam memastikan layak atau tidaknya pemberian gelar pahlawan.
Berkali-kali diusulkan dan ditolak
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andrie Yunus, menegaskan, usulan pemberian gelar pahalawan terhadap Soeharto merupakan bentuk impunitas paling sempurna dalam sejarah Indonesia.
“Kami bersama Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto sudah menolak pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto, bukan hanya tahun ini, tapi sejak 2005 atau 2006,” ujar dia.
“Ini sudah kelima kalinya Soeharto diusulkan menjadi pahlawan nasional, dan lima kali pula kami menolak,” tambah dia.
Menurut Andrie, sosok Soeharto yang kerap disebut sebagai “bapak pembangunan” tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak pelanggaran berat HAM yang terjadi selama 32 tahun masa kekuasaannya.
“Klaim sebagai bapak pembangunan itu tidak akan pernah sebanding dengan kejahatan kemanusiaan yang dia lakukan. Tercatat sedikitnya ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahannya, dan sampai hari ini keluarga korban belum mendapatkan keadilan,” tegas dia.
Andrie menilai, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto hanya akan menjadi penghargaan simbolik yang mengabaikan penderitaan korban.
“Jangan sampai gelar pahlawan untuk Soeharto hanya sebatas simbolik, tapi gagal menyentuh pemenuhan hak paling fundamental bagi korban pelanggaran HAM berat,” kata dia.
Ia menegaskan, jika pemerintah benar-benar memberikan gelar tersebut, maka hal itu menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan sejarah bangsa.
“Jika Soeharto diberikan gelar pahlawan, bagi kami itu bentuk impunitas paling sempurna. Seorang penjahat HAM yang tidak pernah diseret ke pengadilan justru diberikan penghargaan tertinggi di republik ini. Itu akan menghapus memori kolektif bangsa terhadap kejahatan negara di masa lalu,” ujar dia.
Andrie khawatir bahwa generasi muda Indonesia akan kehilangan pelajaran penting dari sejarah kelam masa Orde Baru.
“Ketika tidak ada pengadilan untuk membongkar kasus pelanggaran HAM, maka sejarah bisa terhapus. Anak-anak muda tidak akan belajar dari masa lalu. Impunitas bukan sekadar pelaku bebas dari hukuman, tapi juga menghapus jejak sejarah kejahatan negara,” ungkap dia.
Terkait potensi penolakan publik jika keputusan itu benar-benar disahkan, Andrie menyebutkan bahwa gelombang penolakan sudah muncul secara masif bahkan sebelum pengumuman resmi.
“Penolakan sudah besar sekali. Belum disahkan saja, sudah banyak sekali aksi dan gerakan di udara. Ada sekitar 12.000 orang yang menandatangani petisi penolakan, dan lebih dari 300 individu maupun organisasi masyarakat sipil yang ikut menolak,” tutur dia.
Ada dukungan gelar pahlawan untuk Soeharto
Meski begitu, ia mengakui ada juga sebagian masyarakat yang menyatakan dukungan terhadap wacana tersebut. Namun, menurut dia, jumlah itu jauh lebih kecil.
“Betul, ada juga petisi yang mendukung. Tapi, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan yang menolak. Jadi, kalau kita bicara partisipasi publik, jelas yang menolak jauh lebih banyak,” kata Andrie.
Ia mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.
“Yang paling penting adalah rekam jejak yang baik, tidak menunjukkan sikap amoral, serta mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip partisipasi publik juga harus diperhatikan. Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan perlu menilai dengan cermat, mana suara yang lebih besar, menolak atau mendukung,” ujar dia.
Dia berharap, pemerintah tidak melupakan penderitaan korban dan sejarah kelam bangsa.
Sehingga, bisa berpikir dua kali untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto.
“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menghapus luka sejarah bangsa ini. Sebelum bicara tentang penghargaan, negara harus berani bicara tentang kebenaran dan keadilan,” tegas dia.
Tag: #menimbang #pantas #tidaknya #gelar #pahlawan #untuk #soeharto #antara #dosa #jasa