Kala Ketua Dewan Gelar Pahlawan Tepis Soeharto Terlibat Genosida
- Polemik pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto masih berlanjut.
Terbaru, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menepis tudingan bahwa presiden yang memimpin Indonesia selama 32 tahun itu tidak pernah terlibat genosida.
Padahal, masalah genosida ini menjadi salah satu alasan utama banyaknya aktivis yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya. Salah satunya, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis.
Menurut Romo Magnis, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebaiknya ditolak lantaran memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan praktik korupsi yang terjadi selama masa pemerintahannya, meski ia memiliki tak sedikit jasa yang diberikannya bagi Indonesia.
Kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi tidak dapat menghapus fakta sejarah mengenai pelanggaran HAM berat selama Orde Baru.
Ada sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Soeharto, yakni pembunuhan dan penahanan massal pasca-1965, represi terhadap gerakan mahasiswa pada 1970-an, penembakan misterius (petrus) pada awal 1980-an, hingga penanganan demonstrasi menjelang kejatuhan rezim tahun 1998.
Selain aspek pelanggaran HAM, Romo Magnis menilai Soeharto tidak layak disebut pahlawan karena praktik korupsi yang menguntungkan keluarga dan lingkaran dekatnya.
"Dia memperkaya keluarga, dia memperkaya orang-orang yang dekatnya. Kaya dengan dirinya sendiri itu bukan sikap pahlawan nasional. Seorang pahlawan nasional diarahkan bahwa dia tanpa pamrih memajukan bangsa," ucapnya.
Dibantah Fadli Zon
Namun, pernyataan itu justru dibantah Fadli Zon. Mantan aktivis ini beranggapan tidak pernah ada bukti Soeharto terlibat dalam genosida, termasuk di tahun 1965-1966.
"Enggak pernah ada buktinya kan, Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu," kata Fadli Zon di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Ia lantas melemparkan pertanyaan yang sama kepada awak media.
Ia mempertanyakan, siapa yang berani memberi bukti, sedangkan keterlibatan dalam genosida tidak terjadi berdasarkan fakta sejarah.
"Apa faktanya apa? Ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah dan fakta dan data gitu. Ada enggak? Enggak ada kan?" ucapnya.
Soeharto layak
Fadli Zon juga menegaskan, 40 nama yang telah diusulkan telah memenuhi syarat mendapat gelar pahlawan nasional. Soeharto, menjadi salah satunya.
Soeharto, kata Fadli Zon, telah memenuhi syarat dari tingkat yang paling bawah, dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga diusulkan kepada pemerintah provinsi.
Artinya kata dia, bukan hanya Dewan GTK yang dipimpinnya yang menyatakan sosok Presiden ke-2 itu memenuhi ketentuan. Bahkan, nama Soeharto sudah diusulkan menjadi pahlawan nasional sebanyak tiga kali.
Fadli Zon. Disinggung Adanya Penolakan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ini Jawaban Menbud Fadli Zon
"Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi memenuhi syarat dari bawah," tandas Fadli Zon.
Apa itu peristiwa pelanggaran HAM 1965?
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 menjadi salah satu titik balik paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Tragedi itu bukan hanya tentang penculikan dan pembunuhan tujuh perwira TNI AD, melainkan juga pemicu lahirnya aksi kekerasan massal yang menargetkan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejak Oktober 1965 hingga 1966, Indonesia dilanda pembantaian massal yang menewaskan ratusan ribu hingga jutaan orang.
Mereka yang dituduh terlibat PKI atau organisasi afiliasinya menjadi sasaran, mulai dari anggota serikat buruh, perempuan Gerwani, hingga warga etnis Tionghoa.
Gelombang ini bermula ketika Mayor Jenderal Soeharto mengambil alih kendali pasca-G30S mengirim pasukan RPKAD di bawah Kolonel Sarwo Edhie ke berbagai daerah.
Jawa Tengah
Di Jawa Tengah, markas PKI dibakar, desa-desa disapu bersih, dan orang-orang yang dituduh komunis dibunuh secara massal.
Sejarawan mencatat bahwa sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966, antara 200.000 hingga lebih dari 500.000 orang tewas.
Amnesty International bahkan melaporkan lebih dari satu juta orang ditahan tanpa pengadilan.
Jawa Timur
Di Jawa Timur, organisasi pemuda seperti Gerakan Pemuda Ansor dan Banser ikut serta dalam aksi pembantaian. Misalnya di Bojonegoro, anggota PKI digiring ke tepi Bengawan Solo untuk dieksekusi.
Di Lumajang, warga menyaksikan anggota PKI dibunuh lalu dikuburkan massal di bantaran sungai. Di Bali, situasi juga mencekam. Sebelum pasukan RPKAD mendarat pada Desember 1965, kelompok antikomunis sudah menyerang rumah-rumah simpatisan PKI.
Eksekusi massal pun berlangsung, salah satunya menewaskan I Gede Poeger, tokoh PKI Bali.
Supersemar
Situasi makin mengarah pada genosida setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, yang memberi wewenang kepada Soeharto untuk mengendalikan keadaan.
PKI kemudian resmi dibubarkan melalui Keputusan Presiden dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966.
Sejak itu, stigma “keluarga PKI” melekat pada para penyintas dan keturunan korban.
Mereka mengalami diskriminasi: dicap sebagai musuh negara, sulit mendapat pekerjaan, dilarang melanjutkan pendidikan, hingga dikucilkan dari lingkungan sosial.
Hingga kini, jumlah pasti korban pembantaian 1965–1966 masih simpang siur.
Angkatan Darat kala itu menyebut angka 78.500 korban jiwa, sedangkan PKI mengklaim jumlah korban tewas hingga 2 juta orang.
Sejarawan Benedict Anderson memperkirakan 200.000 orang terbunuh pada 1966, lalu merevisi perkiraan menjadi 500.000 hingga 1 juta pada 1985.
Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno dalam konferensi pers Gerakan Nurani Bangsa bertemakan pesan kemerdekaan, di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Komnas HAM melalui penyelidikan Pro Justisia pada 2008–2012 menyatakan terdapat indikasi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa pembantaian massal ini.
Laporan itu mendokumentasikan ribuan kasus orang hilang, penahanan sewenang-wenang, hingga lokasi-lokasi pembantaian yang ditemukan di berbagai daerah.
Genosida
Romo Magnis juga menilai, pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965-1966 dapat digolongkan sebagai genosida. Pasalnya, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisir.
Pengadilan Rakyat Internasional untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7/2016), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.
"Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir," ujar Romo Magnis di Jakarta, Jumat (22/7/2016).
Menurut pria yang lahir di Polandia ini, kejadian pada tahun 1965-1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.
Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali dan wilayah lain di Indonesia.
"Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu," tutur Romo Magnis.
Genosida disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.
Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), Kamis (6/11/2025).
Disesalkan Jokowi
Mengulas ke belakang, peristiwa tahun 1965-1966 menjadi salah satu pelanggaran HAM berat yang disesalkan Presiden ke-7 Joko Widodo di masanya memimpin.
Totalnya, ada 12 kejadian yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Jokowi bahkan tak menampik bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat benar-benar pernah terjadi di Indonesia.
Adapun 12 pelanggaran HAM berat yang disesalkan Jokowi mencakup, Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Selanjutnya, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa, dan saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat," ujar Jokowi usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Jokowi juga secara terang-terangan menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban atas belasan tragedi kelam tersebut.
Saat itu, ia berjanji mengambil sejumlah langkah. Pertama, Jokowi memastikan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian lewat jalur yudisial.
Kedua, pemerintah akan berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang.
Jokowi juga meminta kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD saat itu, untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar kedua rencana tersebut bisa terlaksana dengan baik.
"Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam negara kesatuan Republik Indonesia," imbuh Jokowi.
Tag: #kala #ketua #dewan #gelar #pahlawan #tepis #soeharto #terlibat #genosida