Pahlawan Tanpa Algoritma
SETIAP 10 November, kita diajak mengenang mereka yang berkorban tanpa pamrih: pahlawan-pahlawan di masa lalu, mereka yang telah gugur. Linimasa kita dipenuhi kutipan heroik dan potongan video haru. Kemudian, akan muncul banyak narasi yang mengajak kita berefleksi pada pahlawan-pahlawan masa kini.
Siapa pahlawan masa kini? Baik pertanyaan maupun jawabannya sama-sama klise. Kita tentu bisa berbeda pandangan tentang kriteria pahlawan. Pemerintah bahkan memiliki syarat baku untuk menetapkannya. Tapi kita mendapati bahwa ada sebagian orang yang selalu bertindak melampaui kepentingan dirinya sendiri. Mereka adalah orang yang tulus. Karena itulah mereka bisa berbuat apa yang tidak mampu dilakukan oleh kebanyakan orang.
Namun, kita tengah berada di era di mana segala perbuatan tampak nyata setelah mendapat perhatian publik. “Kita unggah maka kita ada”. Pada akhirnya, ketulusan bukan lagi nilai yang kita perjuangkan, melainkan keterlihatan. Di masa lalu, pahlawan berjuang dalam gelap demi terang bangsa. Kini, terang itu datang dari layar, dan yang paling sering dilihat itulah yang dianggap paling berjasa.
Di zaman ini, pahlawan seolah harus punya akun, kamera, dan kemampuan membaca tren. Perjuangan tanpa unggahan terasa sepi—dan dalam kesunyian itu, kerap kali nilai-nilai sejati justru hilang arah. Dunia kini berjalan dengan kecepatan jempol: siapa yang paling cepat memposting, dialah yang dianggap paling peduli. Gambar dan narasi lebih kuat daripada tindakan, dan sejarah baru sedang ditulis dengan resolusi tinggi dan koneksi yang stabil.
Komoditas Politik
Di ranah politik, kepahlawanan pun berubah menjadi komoditas untuk mendongkrak suara atau mencapai legitimasi kekuasaan. Mereka yang berkuasa menciptakan mitos bahwa diri mereka adalah pahlawan, harapan, penyelamat, bahkan ratu adil. Para politisi datang ke petani, nelayan, dan pedagang pasar dengan kamera dan pidato empati, meraih simpati dengan gestur dan aktivitas sederhana demi memperoleh imbalan suara pemilih.
Mereka rela masuk ke lumpur persawahan, pemukiman yang banjir, bahkan selokan. Tapi ketika sudah menduduki jabatan, kebijakan mereka bisa jadi mencekik rakyat.
Ada juga yang menggunakan strategi tampil marah-marah di depan kamera supaya dianggap tegas dan dielu-elukan sebagai penyelamat, padahal seringkali kemarahannya hanya performa yang dikalkulasi demi citra.
Dunia yang palsu
Dunia kita saat ini hanya memunculkan yang paling sering dibicarakan. Maka, mereka yang bekerja tanpa sorotan seolah tidak pernah eksis dalam kesadaran kolektif kita. Seperti dikatakan filsuf Byung-Chul Han dalam Infocracy (2021), “Yang tidak tampak dianggap tidak ada.”
Sementara itu, Jean Baudrillard menyebut keadaan ini sebagai simulacra—sebuah dunia di mana yang palsu tampak lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Kita tidak lagi bisa membedakan antara pahlawan sejati dan figur pahlawan yang diproduksi oleh media. Inilah tragedi sejarah modern manusia saat ini.
Sementara itu, di ruang yang tak tersentuh sinyal, masih banyak orang bekerja dalam diam. Seorang guru yang berjalan berjam-jam menuju sekolah di pedalaman, tenaga kesehatan yang menjemput pasien dengan perahu kecil di sungai berlumpur, petani yang tetap menanam di tengah ancaman gagal panen, atau pengrajin batik yang melestarikan motif leluhur meski pasar lebih tertarik pada cetakan cepat pabrik.
Mereka tidak punya keistimewaan untuk menonjolkan pengabdian mereka. Mereka tidak tampil di beranda siapa pun. Kita jarang mendengar kisah mereka karena dunia digital tidak dirancang untuk mengingat yang sunyi.
Maka, Hari Pahlawan bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan momen untuk bertanya ulang apakah bangsa ini masih bisa menghargai perjuangan yang tak terlihat. Kita memerlukan cara baru untuk mengenali pahlawan — bukan dari jumlah tayangan, tetapi dari ketulusan tindakan; bukan dari siapa yang paling sering dibicarakan, tetapi dari siapa yang paling jarang menyerah.
Dalam dunia yang terobsesi pada keterlihatan, menegakkan nilai tanpa penonton adalah bentuk keberanian yang paling tinggi. Tapi, mungkinkah hal itu terjadi? Sebab, faktanya bisa jadi dua: pertama, nyaris tak ada lagi ruang untuk berbuat baik tanpa sorotan; atau kedua, semakin tulus dan murni sebuah tindakan, semakin senyap pula ia dari keramaian, seolah semesta sengaja menjaganya lenyap dari radar dunia yang sibuk menatap layar.
Nyala yang tak terlihat
Kepahlawanan sejati barangkali memang tidak akan ditemukan karena tidak bertujuan untuk terkenal. Ia bekerja dalam diam, di luar sistem yang menilai segala sesuatu lewat jumlah tampilan dan tayangan. Mungkin menjadi pahlawan hari ini bukan hanya soal tulus berbuat baik, tetapi juga soal melawan godaan untuk selalu ingin dilihat. Butuh keberanian untuk memilih sunyi di tengah dunia yang bising, untuk tetap jujur di tengah kompetisi citra.
Pahlawan tanpa algoritma tidak memerlukan sorotan untuk tetap menyala. Mereka tidak viral, tapi vital. Tidak tampil di beranda, tapi hidup di nadi bangsa. Terus bergeliat meski tak terlihat. Mungkin, pada akhirnya, bangsa ini tidak diselamatkan oleh mereka yang paling banyak dibicarakan, tetapi oleh mereka yang tetap bekerja dalam diam. Dan mungkin, justru dalam kesunyian itulah, kepahlawanan menemukan bentuknya yang paling murni.
Tag: #pahlawan #tanpa #algoritma