Ignas Kleden, Teknokrasi, dan Pemilu 2024
Sastrawan dan cedikiawan asal Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ignas Kleden meninggal dunia pada Senin (21/1/2024)(Kompas.id)
10:58
25 Januari 2024

Ignas Kleden, Teknokrasi, dan Pemilu 2024

SENIN (22/01/2024) dini hari, Ignas Kleden dipanggil Tuhan. Cendekiawan asal Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menghembuskan napas terakhir di RS Suyoto, Jakarta Selatan (Kompas.com, 22/01/2024).

Kita tak akan lagi mendengar ceramahnya atau membaca tulisan terbarunya. Ignas Kleden adalah cendekiawan besar di republik ini yang pemikirannya cukup mewarnai sejarah kecendekiawanan Indonesia.

Tulisan-tulisannya sangat kritis, jernih, dengan bahasa yang mengalir dan enak dibaca. Tidak hitam-putih dan senantiasa membuka cakrawala. Penuh irisan antara budayawan, sosiolog dan filosof. Ignas Kleden sangat menginspirasi.

Pada 1987, Ignas Kleden menerbitkan beberapa tulisannya menjadi buku berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (LP3ES, 1987). Buat saya yang waktu itu mahasiswa, buku tersebut sungguh bermakna. Mengenalkan banyak perspektif, sekaligus mengajarkan kesadaran kritis.

Kepergian Ignas Kleden beriringan dengan hajat politik lima tahunan bangsa Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Berita kepergiannya langsung membawa ingatan saya pada salah satu sudut pandangnya yang disampaikan pada buku terbitan 37 tahun lalu, yang kertasnya sudah menguning.

Di subjudul “Model Rasionalitas Teknokrasi” (bab 4), Ignas Kleden mengangkat isu teknokrasi. Peran pengetahuan dan teknik dipandang makin besar sejalan dengan industrialisasi dunia, termasuk di Indonesia.

Pembangunan dan rekayasa sosial membutuhkan para ahli. Bahkan memunculkan pula kekhawatiran tentang oligarki para ahli.

Menurut Ignas Kleden, teknokrasi pada hakikatnya merupakan suatu “krasi”, suatu bentuk penguasaan atau pemerintahan. Pengetahuan bukan soal kebajikan saja, tapi pengetahuan adalah kekuasaan (knowledge is power).

Namun, sifat-sifat baik dari pengetahuan dan teknik masih terjamin manakala pengetahuan dan teknik masih tunduk dan patuh pada kehendak serta kesadaran manusia. Pengetahuan dan teknik masih mengabdi kepada kepentingan manusia.

Justru di sanalah awal masalahnya, di mata Ignas Kleden, tatkala pengetahuan dan teknik bercumbu dengan industrialisasi dan birokrasi kekuasaan, lalu menjelma menjadi sistem yang seakan-akan mahakuasa.

Untuk mengurainya, Ignas Kleden merujuk warisan Weber. Ia membedakan tindakan seseorang atau sekelompok orang yang berorientasi pada rasionalitas tujuan dan rasionalitas nilai.

Pertama, suatu tindakan didasarkan pada tujuan tindakan tersebut, cara mencapainya dan akibat-akibatnya. Kedua, dalam mencapai suatu tujuan, orientasi utamanya adalah pada nilai-nilai atau norma yang membenarkan atau tidak membenarkan suatu cara tertentu.

Yang khas pada rasionalitas tujuan adalah pedoman normatif tidak diutamakan. Yang terpenting, tujuan tercapai.

Pemilihan cara tidak didasarkan pada norma tertentu. Suatu tindakan disebut rasional bila dalam mencapai tujuannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Biasanya berdasarkan ukuran biaya.

Sebaliknya, yang khas pada rasionalitas nilai, pertimbangan utamanya adalah apakah cara-cara yang dipilih tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Cara tersebut tak boleh menabrak nilai.

Menurut Ignas Kleden, kedua rasionalitas yang diajukan Weber lebih merupakan “tipe ideal”. Yang ada pada kenyataan adalah campur aduk kedua rasionalitas tersebut.

Pada saat tertentu nilai yang dianut seseorang atau sekelompok orang demikian kuat, sehingga tujuan tindakan dikurbankan.

Pada saat lain tujuan tindakan begitu penting dan tak terelakkan, sehingga nilai-nilai dikurbankan atau dikompromikan.

Bahkan bukan sekadar campur aduk, melainkan saling ketergantungan, saling pengandaian. Bila nilai-nilai yang dianut kehilangan relevansi dengan pemenuhan kebutuhan nyata secara teknis, nilai-nilai tersebut menjadi tanpa fungsi lalu ditinggalkan.

Sebaliknya, dengan teknik-teknik baru yang dapat memuaskan interes baru, dapat pula terbentuk nilai baru.

Saya membacanya, bahwa dalam kenyataan terdapat dialektika antara tujuan dan nilai. Dialektika tujuan dan nilai itu pula yang membentuk sejarah manusia. Baik sejarah manusia secara perseorangan maupun yang berhimpun dalam kelompok sosial.

Dan, di dalam dialektika itu sudah pasti banyak ketegangan. Maka, sejarah pada hakikatnya merupakan bentangan ketegangan-ketegangan.

Dengan perspektif tersebut, kita paham mengapa tindakan revolusioner diambil oleh para pendiri bangsa, melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Lalu dibentuk pemerintahan baru dengan sistem demokrasi.

Bukan negara kekuasaan yang dipilih oleh para pendiri bangsa, melainkan negara hukum berdasarkan Pancasila. Dibuatlah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Di Pembukaan dan batang tubuh diuraikan sangat jelas ke mana tujuan bernegara, dan hendak ditempuh dengan cara seperti apa. Antara tujuan dan nilai bernegara saling membentuk, saling pengandaian.

Jelas sekali Indonesia dirancang bukan tanpa pengetahuan dan teknik. Indonesia dirancang berkat pengetahuan dan teknik yang tunduk dan mengabdi kepada kehendak bangsa, kepada kepentingan rakyat.

Namun, tak bisa disangkal, sejarah Indonesia akhirnya memberikan tempat bagi teknokrasi. Satu hal yang pasti, kata Ignas Kleden, teknokrasi adalah suatu bentuk rasionalitas dan cara berpikir khas, yang dapat membawa dampak penting, termasuk di bidang politik.

Praktik politik Orde Baru yang sentralistik dan totaliter ditengarai berkat peran teknokrat. Terjadi percumbuhan antara pengetahuan dan teknik dengan pembangunan dan birokrasi kekuasaan; persekutuan antara teknokrat, industrialis/kapitalis, dan pengambil keputusan politik.

Sifat-sifat baik dari pengetahuan dan teknik tak lagi tunduk/patuh kepada kehendak bangsa. Sifat-sifat baik itu tak lagi mengabdi kepada kepentingan rakyat Indonesia.

Sebaliknya, para ahli itu justru membiarkan pengetahuan dan teknik yang dikuasainya digunakan untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru dengan segenap kepentingan kroni dan keluarganya.

Di era reformasi yang disemangati oleh koreksi total atas praktik kekuasaan Orde Baru mestinya tak akan terjadi lagi.

Sifat-sifat baik dari pengetahuan dan teknik mestinya dapat dikembalikan untuk tunduk/patuh kepada kehendak bangsa; kembali mengabdi kepada kepentingan rakyat Indonesia.

Sebagaimana desain awal Indonesia, terdapat relasi kuat yang saling membentuk antara tujuan dan nilai-nilai bernegara.

Para pengambil keputusan politik mestinya secara sadar mengambil sifat-sifat baik pengetahuan dan teknik yang dikuasai para ahli demi tercapainya tujuan bernegara.

Namun, proses politik pada Pemilu 2024 tampak menyangkal pernyataan tersebut. Para pengambil keputusan politik secara sadar justru membiarkan nafsu berkuasa dengan cara-cara yang tanpa sandaran nilai. Rasionalitas tujuan diutamakan dengan mengabaikan nilai dan kepatutan.

Maka, sifat-sifat baik pengetahuan dan teknik pun ditinggalkan, karena dianggap menghalangi tujuan mendapatkan kekuasaan.

Para ahli kompromis. Pengetahuan dan teknik yang mereka kuasai dikhawatirkan bukan hanya membukakan jalan kembalinya sentralisme dan totalitarianisme kekuasaan, melainkan juga memberikan pembenaran-pembenaran selanjutnya.

Hal itu dimulai dari tindakan ahli di Mahkamah Konstitusi (MK). Kita menyaksikan Anwar Usman, yang notabene teknokrat, ahli hukum yang menjabat Ketua MK, dicopot dari jabatannya oleh Mahkamah Kehormatan MK (MKMK).

Pasalnya, Anwar Usman dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat, karena ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Melalui putusan yang kontroversial tersebut, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akhirnya meraih tiket sebagai capres dan cawapres dengan nomor urut 2.

Dengan kuasa pengetahuan dan tekniknya, MK telah meruntuhkan fondasi demokrasi untuk Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dan dengan susah payah diperjuangkan kembali melalui gerakan reformasi 1998.

MK dengan kewenangan yang diberikan karena keahlian orang-orang di dalamnya justru telah membukakan jalan bagi politik tirani.

Kekuasaan dicurigai akan kembali sentralistik dan totaliter. Di antaranya karena para ahli telah menjauhkan sifat-sifat baik pengetahuan dan teknik dari kehendak bangsa dan kepentingan rakyat.

Proses tersebut terang-terangan diamini oleh sebagian ahli. Kendatipun sebagian lain memprotes keras, juga sebagian publik, tak membuat produk MK tersebut batal.

Produk MK itu hanya dilabeli “cacat etik”. Namun, daya gerak politik label itu diragukan, alias tak banyak berpengaruh, mengingat pendidikan politik di era reformasi tidak optimal membentuk kesadaran kritis rakyat pada umumnya.

Isu Pilpres 2024 satu putaran patut diwaspadai. Boleh jadi rasionalitas tujuan lebih diutamakan. Yang utama menang dulu satu putaran, urusan yang lain belakangan.

Sungguh mencemaskan kembalinya politik tirani, sentralisasi dan totalitarianisme kekuasaan.

Kepergian Ignas Kleden meninggalkan kepiluan. Jejak kecendekiawanannya yang kritis dan jernih diuji justru menjelang kematiannya. Selamat jalan Bung Ignas…

Tag:  #ignas #kleden #teknokrasi #pemilu #2024

KOMENTAR