Netralitas Pejabat Publik dalam Pemilu, Mungkinkah?
PRESIDEN Jokowi telah mengeluarkan pernyataan bahwa presiden dapat memihak dan berkampanye dalam pemilu. Alasannya, selain menjadi pejabat publik, presiden juga adalah pejabat politik.
Tak hanya presiden, orang nomor satu di Indonesia ini juga mengatakan bahwa menteri juga diperbolehkan memihak dan berkampanye. Yang paling penting, menurut Presiden Jokowi, pejabat negara tidak menggunakan fasilitas negara ketika berkampanye.
Ironisnya, pernyataan itu disampaikan Presiden Jokowi usai menyerahkan pesawat tempur ke TNI bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Januari 2024.
Ketika menyampaikan pernyataan ini, apakah Jokowi bertindak sebagai presiden atau sebagai politikus? Apakah ketika Prabowo Subianto mendampingi presiden, bertindak sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai calon presiden yang tengah berkontestasi?
Rasanya mustahil seorang pejabat politik yang tidak menjadi presiden atau menjadi Menteri Pertahanan bisa hadir menyerahkan pesawat tempur ke TNI, kecuali pesawat tempur itu dihadiahkan pihak lain.
Ini adalah ‘panggung’ pejabat negara, bukan ‘panggung’ politikus. Lalu, mengapa ada pernyataan politik pemihakan yang keluar di ‘panggung’ pejabat negara?
Mengapa ada konten di luar konteksnya? Bukankah ini penyalahgunaan fasilitas negara? Bukankah ini penyalahgunaan waktu dan kesempatan seorang pejabat negara?
Netralitas dan konflik kepentingan
Belakangan ini, seruan agar presiden bersikap netral dalam penyelenggaran Pemilu semakin menguat. Seruan itu umumnya lebih dikaitkan pada persoalan etika. Namun demikian, menurut hemat saya, persoalan ini bukan soal etika.
Etika apa yang dilanggar ketika UU membolehkan?
UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 281 mengatur bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota boleh terlibat dalam kampanye peserta pemilu dengan sejumlah syarat.
Syarat-syarat itu di antaranya tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Para pejabat publik ini dalam berkampanye harus menjalani cuti di luar tanggungan negara, dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah.
Persoalannya adalah bagaimana membedakan seseorang presiden bertindak sebagai pejabat publik atau sebagai pejabat politik?
Siapa yang bisa membedakan bahwa dalam hal pembagian bansos yang dilakukan presiden (dan menteri pembantunya) adalah dalam kapasitas sebagai pejabat negara dan tidak memiliki efek terhadap kampanye pasangan calon presiden yang didukungnya?
Bagaimana membedakan salam 2 jari yang menyembul dari kendaraan dinas presiden, adalah salam pejabat publik dan bukan pejabat politik?
Lagipula, bukankah konstitusi kita mengatur sejumlah fasilitas dan keistimewaan yang melekat pada pejabat publik – khususnya presiden – tanpa pengecualian, bahkan ketika presiden tidur sekalipun?
Bagaimana pula praktiknya seorang pejabat negara cuti (untuk berkampanye), tapi tetap harus memperhatikan keberlangsungan penyelenggaraan negara?
Presiden cuti atau tidak cuti, ia tetap seorang presiden – pemimpin negara – dengan segenap kekuasaan dan pengaruh yang ditimbulkannya.
‘Insider trading’ dalam Pemilu
Saya, sekali lagi, sering menganalogikan kontestasi Pemilu dengan sistem persaingan pasar di bursa efek. Menurut saya, banyak hal yang bisa dipelajari dari kompetisi yang mendekati sempurna di pasar internasional tersebut.
Dalam regulasi pasar modal dikenal istilah “insider trading” (perdagangan orang dalam). Ini adalah perdagangan efek (menjual atau membeli) yang dilakukan seseorang dan atau sekelompok orang dengan dasar informasi atau fakta material yang telah diketahuinya terlebih dahulu sebelum informasi tersebut diinformasikan kepada publik, dengan tujuan mendapatkan keuntungan jalan pintas (short swing profit).
Perdagangan orang dalam melibatkan perdagangan saham perusahaan publik atau sekuritas lainnya oleh seseorang yang memiliki informasi material non-publik tentang perusahaan tersebut.
Presiden dan pejabat publik lainnya, ketika terlibat dalam kampanye, mirip ‘orang dalam’ yang melakukan transaksi di bursa efek.
Presiden dan pejabat publik lainnya memiliki informasi dan sumber daya yang tidak dimiliki oleh mereka yang bukan pejabat publik.
Seorang presiden, menteri, bupati, dengan segenap fasilitas dan pengaruhnya, memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memengaruhi pemilih dibandingkan dengan orang biasa dengan cara-cara yang tampaknya ‘normal’, namun sesungguhnya tidak normal.
Bansos yang diterima masyarakat, misalnya, dipersepsi sebagai ‘hadiah dari presiden’ (padahal presiden mungkin saja bertindak sebagai politikus yang mendukung calon presiden tertentu). Lalu bagaimana membedakan itu lakon pejabat negara atau pejabat politik?
Insider trading jelas dilarang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Ini adalah tindakan ilegal. Sanksinya berat. Selain pidana, juga berujung pada pembatalan transaksi.
Presiden, menteri dan pejabat publik lainnya seharusnya dilarang secara tegas ikut berkampanye. Seluruh pejabat publik harus netral. Apalagi presiden.
Pejabat publik tidak bisa ditempatkan pada wilayah abu-abu ketika Pemilu berlangsung. Mereka harus memilih, tetap di dalam pemerintahan atau keluar dan menjadi politikus murni.
Karena itu substansi UU Pemilu terkait netralitas ini harus dikoreksi. Jika tidak, maka UU Nomor 7 Tahun 2017 beserta penjelasannya setebal 590 halaman itu tidak akan pernah menghasilkan sebuah Pemilu yang jurdil. Netralitas selamanya hanya menjadi sebuah utopia.
Tag: #netralitas #pejabat #publik #dalam #pemilu #mungkinkah