Kewenangan MK Kembali Disorot Usai Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah
Gedung Mahkamah Konstitusi.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
18:58
27 Juni 2025

Kewenangan MK Kembali Disorot Usai Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah

- Kepala Badan Riset dan Inovasi Strategis (BRAINS) DPP Partai Demokrat, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali didebat setelah memutuskan dipisahnya pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah.

Pasalnya, hal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi ranah pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Apalagi dalam hal ini adalah terkait model keserentakan pemilu.

"Untuk kesekian kalinya, putusan MK ini kembali membuka ruang perdebatan lama, apakah putusan seperti ini sebenarnya open legal policy atau tidak? Sebab, partai-partai politik di parlemen lah yang notabene sebagai aktor politik dan pelaku demokrasi, yang bisa mempertimbangkan, memilih dan memutuskan desain sistem politik," ujar Umam lewat keterangan tertulisnya, Jumat (27/6/2025).

Menurutnya, putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 harus menjadi momentum pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk menyusun perbaikan sistem pemilu yang lebih matang.

Hal tersebut diperlukan agar tak ada lagi gugatan hingga putusan yang mengubah sistem kepemiluan di Indonesia.

"Supaya aturan-aturan penting seperti ini tidak mudah berubah-ubah, terlebih di masa-masa injury time jelang momentum politik yang menentukan," ujar Umam.

Ranah Legislatif

Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan menilai MK terlalu jauh masuk ke ranah legislatif lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Putusan yang meminta agar pemilu nasional dan daerah dipisah dipastikan akan berdampak terhadap perubahan UU Pemilu, UU Pilkada, bahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Secara highlight saya baca putusan tersebut, MK jauh memasuki ranah legislatif. Sehingga masih perlu kami pelajari apakah tindak lanjut dari putusan MK tersebut cukup dengan dilakukan revisi undang-undang atau lebih jauh dari itu harus dilaksanakan amandemen terhadap UUD 1945," ujar Irawan saat dihubungi, Jumat (27/6/2025).

Ia mengatakan, sistem pemilu seharusnya tidak dibangun dengan pendekatan tambal sulam. Sebab adanya keterkaitan antara satu peraturan perundang-undangan dengan perundang-undangan yang lain.

Alasan MK

Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.

Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Lanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilu.

MK dalam pertimbangannya juga menjelaskan, persoalan daerah cenderung tenggelam jika pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota digabung dengan pemilihan nasional yang memilih presiden-wakil presiden dan DPR.

Hal ini disebabkan oleh partai politik, kontestan, hingga pemilih yang lebih fokus terhadap pemilihan presiden dan anggota DPR.

"Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan MK.

Sedangkan dari sisi pemilih, MK menilai waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah yang berdekatan berpotensi membuat masyarakat jenuh. dan tidak fokus.

Hal ini disebabkan oleh pemilih yang harus mencoblos lima jenis kertas suara dalam satu waktu, mulai dari presiden-wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

"Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum," ujar Saldi.

Tag:  #kewenangan #kembali #disorot #usai #pisahkan #pemilu #nasional #daerah

KOMENTAR