



Catatan Peristiwa Pemerkosaan Massal 1998, Bocah 11 Tahun Jadi Korban
Peringatan: Berita ini mengandung deskripsi kekerasan yang bisa mengganggu sebagian pembaca.
- Bagi Koordinator Relawan Kekerasan terhadap Perempuan Tragedi 1998, Ita Fatia Nadia, kondisi mencekam di Jakarta saat kerusuhan pada Mei 1998 masih terekam jelas di ingatannya.
Saat itu telepon di kantor Lembaga Pemerhati Perempuan Kalyanamitra tak henti-hentinya berdering. Beberapa telepon yang diterima Ita meminta bantuan dari aksi penjarahan dan kerusuhan di Glodok, Jakarta Barat.
"Nah, ketika itu Pak Sandyawan Sumardi (aktivis dalam Tim Relawan Kemanusiaan) bilang begini, mba Ita, kamu pergi saja ke sana (Glodok), karena katanya beberapa perempuan Tionghoa itu juga mengalami penganiayaan," kata Ita dalam program Gaspol bertajuk "Pemerkosaan Massal 1998: Kesaksian, Dugaan Pelaku, dan Teror Pembungkam Korban", tayang di kanal YouTube Kompas.com, dikutip Jumat (27/6/2025).
Ita menceritakan, saat itu, ia langsung menuju ke Glodok menggunakan ojek.
Saat tiba di Glodok, Ita melihat langsung tiga perempuan Tionghoa diseret di tengah-tengah jalan dengan baju yang sudah compang-caping.
"Dan saya begitu saya turun dari ojek, kira-kira sekitar 10 meter, eh enggak sampai 5 meteran begitu, saya melihat tiga perempuan ya, itu yang diseret ke sana kemari di tengah-tengah itu. Satu ibu-ibu, dua remaja, itu diseret. Dan ini bajunya sudah compang-samping, rambutnya waduh semua," ujarnya.
Tewasnya Fransisca dan trauma yang tak pulih
Ita menceritakan akan sosok Fransisca, bocah berusia 11 tahun yang turut menjadi korban pemerkosaan pada Mei 1998.
Pada tanggal 14 Mei 1998, Ita mendapat telepon. Ia diminta untuk segera mendatangi klinik karena ada anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan di Kota Lama, Tangerang.
Di sana, Ita pertama kali bertemu dengan Fransisca.
"Saya tanya pada bidannya yang merawat itu. Itu Bu lihat vaginanya, jadi itu botol dimasukkan terus diputar. Itu jam 11, saya masih ingat, karena ini mempengaruhi hidup saya," kata Ita.
Ita mengatakan, ia memegang tangan Fransisca yang masih hangat. Lalu, ia mengajak Fransisca untuk berdoa.
Ita masih ingat saat itu Fransisca menitikkan air mata saat berdoa bersamanya. Dia juga membisikkan ke telinga Fransisca bahwa jika sudah saat pergi.
Dia juga sempat menyampaikan kepada Fransisca akan mengurus semuanya.
"Saya pegang tangannya, itu masih hangat. Terus saya bisikin, Fransisca 'kalau kamu mau pergi, pergilah, nanti kita berdoa bersama ya, meskipun Ibu Ita Islam, tapi yuk kita berdoa bersama'. Dia Buddhis, terus saya bilang yuk kita berdoa, 'Ya Tuhan saya sudah ikhlas pulang, saya mau bersama mama, papa.' Terus dia (Fransisca) menitikan air mata, itu 11.15 WIB menitikan air mata," ujarnya.
Ita mengatakan, sekitar 30 menit setelah berdoa, Fransisca pun pergi untuk selamanya pada pukul 11.45 WIB.
"Terus saya bilang, tapi saya sebelum pergi, Fransiska nanti semuanya yang urus Ibu Ita," tuturnya.
Ita mengakui pertemuannya dengan Fransisca sangat membekas dan mempengaruhi seluruh kehidupannya.
Dia berdiskusi dengan beberapa psikolog. Namun, psikolog belum memiliki pengalaman dalam menghadapi trauma kekerasan politik.
"Sehingga saya mengalami trauma, inner trauma. Jadi trauma dia (Fransisca) saya punya trauma juga, saya trauma menghadapi itu. Trauma sosial politik itu masuk ke saya. Dan itu saya tidak bisa mengolahnya. Karena saya juga tidak tahu bagaimana mengolahnya," kata Ita.
"Nah itu menimbulkan saya menjadi sakit. Dan saya mengalami, saya kena kanker," ucap dia.
Tag: #catatan #peristiwa #pemerkosaan #massal #1998 #bocah #tahun #jadi #korban