Nostalgia SMA 90-an: 10 Momen Analog Penuh Keberanian dan Keterbatasan yang Membentuk Diri
ilustrasi remaja yang sedang bermain di lapangan basket./Freepik
12:42
25 Oktober 2025

Nostalgia SMA 90-an: 10 Momen Analog Penuh Keberanian dan Keterbatasan yang Membentuk Diri

Masa SMA di era 90-an adalah sebuah pengalaman unik yang penuh dengan tantangan analog, jauh dari kemudahan teknologi digital yang ada saat ini.

Jika Anda pernah harus bersembunyi saat modem berbunyi melengking, atau menyimpan Tamagotchi di dalam tas, Anda mungkin tidak hanya menghadiri SMA di era tersebut, tetapi benar-benar berhasil melewatinya.

Kenangan ini bukan sekadar perjalanan nostalgia semata, melainkan pengingat akan ketabahan analog yang membentuk cara kita menghadapi kehidupan, cinta, dan segala kekacauan yang menyertainya, melansir dari Global English Editing Sabtu (25/10).

Seseorang yang melewati masa itu pasti tahu bahwa pada dasarnya masa tersebut mengasah keterampilan penting dalam kehidupan nyata. Keterbatasan opsi dan penundaan analog setiap hari saat itu justru membuat kita terbiasa dengan gesekan dan kerumitan.

Kita belajar kesabaran dari menunggu lagu diputar di radio dan belajar kehadiran dari kesigapan mengirim surat rahasia di kelas. Intinya, kita dilatih untuk berani secara perlahan dan bertahap melalui hal-hal kecil setiap hari.

1. Mengirim Surat Rahasia Tanpa Tertangkap Basah

Sebelum adanya pesan teks, komunikasi penting dilakukan melalui surat yang dilipat menjadi bentuk segitiga, diselipkan di antara buku, dan disampaikan dengan hati-hati. Momen ini mengajarkan kita tentang ketelitian, kebijaksanaan, dan keberanian dalam berkomunikasi. Anda harus memutuskan apa yang akan disampaikan, menuliskannya secara permanen dengan pena, dan memercayai orang yang akan membacanya tanpa ada kesempatan untuk membatalkan atau mengeditnya.

2. Menelepon Telepon Rumah dan Menanyakan Kekasih

Anda harus menelepon telepon rumah dengan risiko diangkat oleh ayah atau ibu dari orang yang disukai, sehingga suara mendadak mengecil saat mengucapkan salam. Pengalaman ini mengajarkan terapi paparan terhadap kecanggungan, kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung, dan belajar menerima penolakan dengan anggun. Komunikasi yang lugas dan jujur seperti itu terbukti dapat mempersingkat drama dan masalah yang tidak perlu.

3. Menunggu Lagu Hits di Radio untuk Direkam

Perjuangan untuk membuat mixtape adalah hal yang nyata, di mana Anda harus siap siaga di dekat stereo dengan jari menekan tombol "Rekam" setiap saat. Penantian ini mengajarkan tentang kesabaran dan waktu yang tepat karena momen tersebut tidak bisa dipaksakan; Anda harus siap saat lagu muncul. Pola pikir yang sama juga berlaku dalam kehidupan dewasa, yakni Anda harus mempersiapkan diri dengan baik dan hadir sepenuhnya saat waktu yang tepat datang.

4. Mencetak Petunjuk Arah dan Berharap Tidak Salah Belok

Peta manual masih disimpan di laci mobil, dan jika tersesat, Anda harus menepi di bawah lampu jalan untuk menghitung ulang rute dengan stabilo. Kebiasaan ini mengembangkan orientasi dalam diri, baik secara harfiah maupun internal. Saat rencana tidak berjalan baik, kita dapat mengandalkan peta internal itu untuk mengambil napas, melihat gambaran besar, lalu mengubah rute.

5. Lotre Lab Komputer Sekolah

Jika berhasil mendapatkan terminal komputer yang kosong, Anda mungkin menghabiskan waktu dengan bermain The Oregon Trail, mengetik di WordPerfect, atau menunggu gambar beresolusi rendah termuat selama tiga menit penuh. Momen ini melatih kita untuk fokus di bawah keterbatasan, lalu menyelesaikan satu di antara tugas yang ada tanpa gangguan tab yang tak terhitung jumlahnya. Ada kekuatan yang menenangkan dalam fokus pada satu tugas yang tidak dapat digantikan oleh kiat produktivitas mana pun.

6. Mode Pakaian Sebagai Identitas Diri

Pakaian kala itu bukan hanya sekadar tren, melainkan deklarasi identitas, mulai dari flanel grunge, JNCO yang kebesaran, hingga sepatu Doc Martens yang tergores. Kita saat itu sedang mencari tahu siapa diri kita dengan mencoba berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diri kita yang sebenarnya. Jika gaya berpakaian saat itu membuat Anda merasa malu sekarang, itu berarti Anda telah tumbuh menjadi pribadi baru yang otentik.

7. Politik Ruang Makan Siang dan Keberanian untuk Duduk

Setiap kantin punya batas tak terlihat antara kelompok skater, anak orkestra, jock, dan kelompok lainnya, sehingga terasa rentan saat membawa nampan makanan sambil mencari tempat duduk. Seorang penulis ingat saat ia berani duduk bersama tim debat karena meja temannya penuh, dan ia tertawa lebih keras daripada beberapa bulan sebelumnya. Pengalaman ini mengajarkan pentingnya memilih tempat di mana sistem saraf Anda bisa rileks dan mendapatkan nutrisi positif, bukan tempat yang menguras energi.

8. Bersihkan Loker yang Terasa seperti Audit Hidup

Loker besi kecil itu berisi folder berdebu, pensil patah, dan mungkin surat yang pernah terasa lebih penting daripada apa pun saat itu. Ritual membersihkan lemari kecil ini telah mempersiapkan banyak orang untuk praktik hidup minimalis di masa depan. Saat minggu terasa sibuk, melakukan "audit loker" di meja kerja selama lima menit terbukti sangat membantu untuk menciptakan ruang yang tenang.

9. Percakapan Tak Terduga dengan Konselor Bimbingan

Mungkin Anda menangis atau hanya duduk terdiam menatap brosur perguruan tinggi seolah itu adalah kartu pos dari kehidupan orang asing. Percakapan yang seringkali canggung namun penuh kelembutan ini memperkenalkan banyak orang pada gagasan bahwa pilihan hidup dapat menjadi milik kita sendiri. Hidup dewasa terus mengulang undangan yang sama: pilih jalan yang sejalan dengan hati, bukan jalan yang disetujui oleh orang lain.

10. Kelulusan, dan Keheningan Setelah Kebisingan Acara

Momen usai pelemparan toga yang membuat foto kelulusan terasa begitu menarik, namun yang benar-benar membekas adalah momen keheningan setelah acara selesai. Aula olahraga mendadak kosong, jubah terasa gatal di leher, dan udara terasa pekat dengan potensi sekaligus teror yang bercampur. Transisi besar dalam hidup akan terasa seperti itu, yaitu penuh kebisingan, kemudian mendadak sepi dan sunyi.

Intinya, masa SMA 90-an mengajarkan kita untuk hidup tanpa tombol "batalkan" atau "ulang" yang tak terbatas. Kita dilatih untuk mempraktikkan keberanian dalam cara yang kecil setiap harinya, dan pelatihan tersebut berdampak sampai sekarang. Kita belajar kesabaran dari menunggu lagu di radio, kehadiran dari surat rahasia, dan batasan dari meja makan siang. Dasar-dasar ini mengajarkan bahwa identitas itu cair dan penemuan diri memerlukan waktu.

Editor: Setyo Adi Nugroho

Tag:  #nostalgia #momen #analog #penuh #keberanian #keterbatasan #yang #membentuk #diri

KOMENTAR