Bencana Sumatera dalam Empat Lingkar Kekuasaan
Suasana pusat Kota Kuala Simpang yang luluh lantak akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Sabtu (6/12/2025) Aceh Masuk 10 Provinsi Termiskin di Indonesia dengan Penghasil Tambang Besar(ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso)
06:46
10 Desember 2025

Bencana Sumatera dalam Empat Lingkar Kekuasaan

BENCANA hidrometeorologi yang terjadi di berbagai wilayah Sumatera pada akhir 2025, memberikan gambaran empiris mengenai bagaimana interaksi antara proses ekologis yang melemah, ekspansi ekonomi frontier, fragmentasi tata kelola, dan transformasi praktik sosial masyarakat menciptakan kerentanan struktural yang terejawantahkan dalam bentuk banjir, galodo, dan longsor.

Curah hujan ekstrem yang tercatat sepanjang November–Desember 2025, memang lebih tinggi daripada rerata klimatologis dua dekade terakhir, dengan anomali mencapai 30 persen menurut BMKG.

Namun, tingginya curah hujan tidak dapat diposisikan sebagai variabel penjelas yang berdiri sendiri.

Intensitas bencana lebih akurat dipahami sebagai reaksi sistem ekologis yang kapasitasnya telah diturunkan oleh perubahan penggunaan lahan dalam skala luas, degradasi fungsi hidrologis, serta modifikasi struktur tanah yang berlangsung secara kumulatif.

Dalam kerangka politik-ekologi, kondisi ini dapat dibaca sebagai hasil interaksi empat lingkar kekuasaan yang membentuk ruang, yakni ekologi, ekonomi frontier, tata kelola, dan praktik sosial masyarakat lokal.

Pada tingkat ekologis, berbagai indikator menunjukkan penurunan signifikan pada fungsi pengatur air dan penopang kestabilan lereng.

KLHK pada 2024 mengklasifikasikan 41 daerah aliran sungai di Aceh sebagai kritis, kategori yang merujuk pada meningkatnya koefisien limpasan, hilangnya lapisan vegetasi penahan erosi, dan berkurangnya infiltrasi.

Di Sumatera Barat, Balai Wilayah Sungai melaporkan peningkatan sedimentasi sungai-sungai utama hingga 30–40 persen dalam lima tahun terakhir.

Sementara Sumatera Utara menunjukkan pola serupa dengan karakteristik tanah vulkanik yang semakin rapuh akibat pembukaan lahan hortikultura secara masif.

Berbagai perubahan fisik ini menyebabkan air hujan tidak lagi bergerak melalui mekanisme infiltrasi bertahap, tetapi mengalir cepat sebagai limpasan permukaan yang membawa material longsor, sedimen, dan sisa vegetasi.

Dengan demikian, hujan ekstrem pada 2025, bekerja dalam lingkungan ekologis yang kapasitas serapnya telah terdegradasi, menjadikan respons sistem lebih abrupt dan destruktif dibandingkan periode-periode sebelumnya.

Transformasi ekologis tersebut tidak berlangsung secara terisolasi, melainkan merupakan konsekuensi dari restrukturisasi ekonomi frontier yang berlangsung di Sumatera.

Perkebunan sawit yang mencapai lebih dari 7 juta hektar pada 2023, membentuk pola penggunaan lahan baru yang secara sistemik meningkatkan risiko hidrometeorologi.

Pembukaan lahan dan pembangunan jalan produksi mengganggu struktur kanopi hutan dan mempercepat limpasan.

Penelitian hidrologi menunjukkan bahwa jaringan jalan logging, baik legal maupun ilegal, berfungsi sebagai kanal buatan yang memperbesar kecepatan aliran dan memfasilitasi sedimentasi di sungai-sungai hulu.

Temuan etnografis John F. McCarthy (2006) dalam The Fourth Circle: A Political Ecology of Sumatra’s Rainforest Frontier memperlihatkan bahwa ekspansi frontier di kawasan Sama Dua, Badar, dan Menggamat berlangsung melalui jaringan patronase yang menghubungkan pedagang kayu, aparat desa, pengusaha lokal, dan pejabat negara.

Jalan-jalan yang dibuka dalam konteks ini bukan sekadar infrastruktur ekonomi, tetapi agen ekologis yang mengubah rezim aliran air dan memperlemah integritas hutan.

Di Sumatera Barat, pola degradasi ekologis terbentuk oleh ekspansi pertanian lereng dan perluasan kawasan budidaya hortikultura yang mengonstruksi permukaan tanah menjadi lebih terbuka dan kurang tersusun.

Sementara di Sumatera Utara aktivitas galian tambang batuan dan pasir berkontribusi pada ketidakstabilan lereng yang telah rapuh secara geologi.

Perubahan yang terjadi pada lingkar ekonomi frontier tersebut berlangsung dalam kerangka tata kelola yang terfragmentasi.

Desentralisasi pasca-2001 mendistribusikan kewenangan perizinan pemanfaatan ruang kepada pemerintah kabupaten, dengan asumsi bahwa kedekatan geografis akan meningkatkan efektivitas pengawasan.

Namun, kemampuan administratif daerah untuk mengelola ruang—termasuk melakukan pemetaan ekologis, menilai daya dukung lahan, dan mengawasi praktik pemanfaatan—terbukti tidak sebanding dengan kompleksitas perubahan ekologis yang berlangsung.

McCarthy menunjukkan bahwa di banyak wilayah Sumatera, peta tata ruang formal sering tidak sinkron dengan praktik pemanfaatan lahan faktual.

Di sejumlah lokasi, wilayah yang secara legal berstatus hutan lindung telah berubah menjadi kebun sawit atau ladang hortikultura melalui proses perizinan bertingkat yang tidak melalui evaluasi ekologis memadai.

Foto udara tumpukan gelondongan kayu di permukiman di Tabiang Bandang Gadang, Nanggalo, Padang, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang sejak dua pekan lalu masih tersangkut di wilayah itu.  ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra Foto udara tumpukan gelondongan kayu di permukiman di Tabiang Bandang Gadang, Nanggalo, Padang, Sumatera Barat, Selasa (9/12/2025). Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang sejak dua pekan lalu masih tersangkut di wilayah itu. Konflik peta antara negara dan masyarakat adat, sebagaimana ditemukan McCarthy di Menggamat, menciptakan ruang-ruang abu-abu yang kemudian dapat dieksploitasi secara legal maupun ilegal.

Ketidakkonsistenan regulasi ini menjelaskan bagaimana perubahan ekologis dapat berlangsung tanpa mekanisme koreksi institusional yang efektif, sehingga tekanan terhadap lingkungan tidak pernah memperoleh respons kebijakan yang proporsional.

Fragmentasi tata kelola juga menjelaskan fenomena lambatnya respons negara selama bencana akhir 2025. Bertambah kompleks karena "Disaster Management" kita juga tidak terkoordinasi dengan baik sehingga amburadul pula "Disaster Mitigation"-nya.

Di Aceh Tamiang, misalnya, akses menuju lokasi banjir besar tertahan lebih dari 24 jam karena jalan evakuasi yang tersedia dibangun di atas jalur produksi perkebunan yang tidak dirancang untuk kondisi darurat.

Di Sumatera Utara, alat berat tidak dapat segera menjangkau titik longsor karena struktur jalan yang terbentuk dari jaringan pertanian dan tambang tidak memenuhi standar rekayasa untuk mobilisasi cepat.

Di Sumatera Barat, sungai-sungai yang mengalami galodo telah lama dilaporkan mengalami sedimentasi berat, tetapi keterbatasan kapasitas kelembagaan membuat rekomendasi teknis tidak diterjemahkan menjadi intervensi konkret.

Dalam perspektif politik-ekologi, respons yang terhambat bukan semata masalah operasional, tetapi refleksi dari struktur kelembagaan yang tidak secara sistemik dirancang untuk menghadapi risiko ekologis yang terus meningkat.

Lingkar keempat, yakni praktik sosial masyarakat lokal, memperlihatkan bagaimana perubahan ekonomi dan tata kelola memengaruhi strategi penghidupan sehari-hari.

Di banyak wilayah Sumatera, masyarakat membuka lahan baru sebagai adaptasi terhadap tekanan ekonomi demi berjuang untuk terus bisa hidup, bukan sebagai pilihan rasional yang didukung oleh evaluasi ekologis.

McCarthy menunjukkan bahwa sistem-sistem lokal seperti seuneubok di Aceh, yang sebelumnya berfungsi sebagai mekanisme regulatif berbasis adat untuk memastikan bahwa pembukaan lahan dilakukan secara bertahap dan terkendali, kehilangan otoritasnya akibat intervensi negara dan pasar.

Ketika mekanisme sosial tradisional melemah, masyarakat bereksperimen dengan strategi penghidupan yang beroperasi dalam ruang ekologis yang semakin rapuh.

Tekanan ekonomi tak jarang memaksa pembukaan lahan di lereng-lereng yang tidak stabil atau di kawasan hulu yang semestinya berfungsi sebagai penyangga hidrologi.

Dengan demikian, praktik sosial bukanlah faktor penyebab tunggal, tetapi elemen yang berinteraksi dengan ekonomi frontier dan tata kelola untuk membentuk pola penggunaan lahan yang meningkatkan risiko bencana.

Jika dilihat secara keseluruhan, interaksi empat lingkar kekuasaan ini menghasilkan apa yang dapat dikategorikan sebagai kerentanan terstruktur.

Tidak ada indikasi mengenai niat eksplisit untuk menciptakan bencana, tetapi konfigurasi insentif dan institusi secara kolektif menghasilkan kondisi ekologis yang semakin rentan.

Frontier ekonomi menciptakan tekanan pada hutan dan tanah, institusi tata kelola tidak memiliki kapasitas untuk mengatur perubahan tersebut, dan masyarakat lokal beradaptasi dalam kondisi yang tidak menyediakan alternatif penghidupan berkelanjutan.

Dalam sistem seperti ini, hujan ekstrem bukan penyebab utama, melainkan pemicu yang memperlihatkan batas kemampuan ekologis yang telah dilampaui.

Kerusakan yang terjadi pada akhir 2025 adalah konsekuensi logis dari sistem yang membiarkan perubahan ekologis berlangsung lebih cepat ketimbang kemampuan institusi untuk mengelola dan meresponsnya.

Bertambah diperparah lagi karena mindset birokrasi dan pengusaha negeri ini yang masih jauh dari profesional, bahkan banyak nirpeduli terhadap rakyat sendiri.

Data empiris memperkuat pembacaan tersebut. Global Forest Watch menunjukkan bahwa Sumatera kehilangan sekitar 27 persen tutupan hutannya dalam dua dekade terakhir. KLHK mencatat lebih dari 1,3 juta hektar kawasan hutan dalam status kritis.

BNPB melaporkan 3.800 titik longsor di Sumatera sepanjang 2025, angka tertinggi sejak pencatatan modern dimulai.

BRIN mencatat bahwa frekuensi hujan ekstrem mengalami peningkatan lebih tinggi di kawasan dengan deforestasi intensif dibanding wilayah yang tutupan hutannya masih relatif baik.

Pola ini menegaskan bahwa degradasi ekologis meningkatkan sensitivitas lingkungan terhadap variabilitas iklim. Dengan kata lain, bencana berskala besar lebih mungkin terjadi di kawasan yang telah mengalami modifikasi ruang secara intensif.

Kondisi yang ditunjukkan bencana Sumatera akhir 2025 ini, memberikan dasar kuat untuk merekomendasikan perubahan pendekatan dalam hubungan antara negara, ekonomi, dan ekologi.

Pemulihan ekosistem harus diposisikan sebagai prioritas kebijakan, dimulai dari kawasan hulu yang fungsi hidrologisnya mengalami penurunan paling signifikan.

Tata ruang perlu disusun ulang berdasarkan evaluasi ekologis dan bukan sekadar proyeksi pertumbuhan ekonomi.

Mekanisme perizinan harus benar-benar konsisten diperketat dengan mempertimbangkan kemampuan kawasan untuk menanggung beban pemanfaatan.

Kapasitas kelembagaan perlu diperkuat melalui integrasi data ekologis dan sistem peringatan dini yang berbasis pemodelan risiko.

Sistem sosial lokal harus diberikan ruang untuk berfungsi kembali sebagai mekanisme pengatur ruang yang adaptif dan kontekstual.

Perubahan tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial karena kerentanan yang dihasilkan merupakan produk sistemik, bukan hasil dari satu sektor tertentu.

Dalam konteks akademik, bencana Sumatera 2025 memperlihatkan bahwa hubungan antara kekuasaan, ruang, dan lingkungan tidak dapat dipisahkan. Ekologi tidak hanya menjadi latar, melainkan aktor dalam konfigurasi politik-ekonomi yang terus berubah.

Frontier ekonomi tidak hanya menghasilkan komoditas, tetapi juga risiko. Institusi tidak hanya membentuk aturan, tetapi juga memproduksi ruang.

Masyarakat lokal tidak hanya bertindak sebagai pengguna ruang, tetapi juga sebagai agen adaptasi.

Interaksi antara empat lingkar kekuasaan inilah yang, sebagaimana digambarkan melalui temuan empiris McCarthy dan data ekologis kontemporer, menjelaskan bagaimana bencana dapat terbentuk tanpa niat, tetapi melalui mekanisme terstruktur yang secara bertahap menurunkan kapasitas lingkungan untuk menahan tekanan hidrometeorologis.

Tanggung jawab untuk rakyat, fauna dan flora baik di Sumatera juga Indonesia: aksi nyata, bukan hanya kata-kata heroik belaka.

Mari bersama kita bangun harapan, peduli dan tanggap, untuk Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara yang bangkit dan pulih kembali.

Tag:  #bencana #sumatera #dalam #empat #lingkar #kekuasaan

KOMENTAR