Jika Kamu Ingin Anak Tumbuh Menjadi Orang Dewasa yang Sukses, Jadikan Ini Kebiasaan Sehari-hari
Ilustrasi. (Pexels.com)
23:24
28 Juni 2025

Jika Kamu Ingin Anak Tumbuh Menjadi Orang Dewasa yang Sukses, Jadikan Ini Kebiasaan Sehari-hari

 

J Setiap orang tua tentu ingin membesarkan anak yang tumbuh menjadi sosok dewasa yang tangguh, cakap, dan stabil secara emosional. 

Namun, di tengah antar-jemput sekolah, tumpukan email kantor, dan rutinitas “masak apa lagi hari ini?”, hari-hari sering terasa seperti sekadar bertahan hidup, bukan ajang membangun karakter atau ketahanan mental.

Padahal, yang paling membentuk anak bukanlah tindakan besar. Yang paling berpengaruh justru terletak pada hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari. Sinyal-sinyal sederhana yang menyampaikan: “Kamu penting. Aku ada di sini. Aku melihatmu.”

Dan dari semua kebiasaan harian, ada satu yang paling menonjol karena dampaknya dalam jangka panjang: Koneksi satu lawan satu yang disengaja.

Bukan obrolan sambil mencuci piring. Bukan ngobrol setengah hati saat mengantar ke latihan sepak bola sambil mencuri dengar podcast. Tapi benar-benar memberi perhatian penuh selama 5 hingga 15 menit, tanpa gangguan, dengan si anak sebagai pemimpinnya.

Tanpa agenda. Tanpa ceramah. Tanpa multitasking. Kalau dilakukan secara konsisten, kebiasaan sederhana ini bisa menjadi fondasi emosional, sosial, bahkan kognitif yang kuat bagi anak.

Berikut langkah-langkah praktis untuk membentuk kebiasaan ini, seperti dilansir dari VegOut.

1. Pilih waktu yang konsisten

Kata kuncinya adalah setiap hari. Tidak harus di jam yang sama, tapi sebaiknya dihubungkan dengan rutinitas yang sudah ada: setelah sekolah, sebelum tidur, atau tepat setelah sarapan.

Untuk anak kecil, waktu sebelum tidur biasanya menjadi momen yang paling terbuka — saat pikiran mereka meluap dan koneksi terasa alami. Untuk anak remaja, waktu di dalam mobil atau sambil ngemil tengah malam bisa terasa lebih ringan dibanding diajak “ayo ngobrol”.

Pilih satu momen yang paling pas dalam rutinitas harian, dan tetapkan—secara lantang atau dalam hati—bahwa ini adalah “waktu koneksi” kalian.

2. Biarkan anak yang memimpin

Inilah kuncinya: bukan waktu untuk mengajar, menasihati, atau mengoreksi. Cukup hadir sepenuhnya, dengan tubuh, hati, dan rasa ingin tahu.

Biarkan mereka memilih topik. Biarkan mereka mengarahkan pembicaraan, bahkan jika isinya soal Minecraft atau cerita yang sudah diulang tiga kali.

Saat anak merasa dunianya penting bagi orang tuanya—bahwa pikirannya layak untuk didengarkan—ia menyerap pesan penting: Suaraku berarti. Aku pantas didengarkan.

Dan rasa percaya itu akan menempel jauh setelah waktu ngobrol selesai.

3. Hilangkan gangguan

Lima menit perhatian penuh jauh lebih berarti dibanding 20 menit sambil lalu.

Letakkan ponsel. Matikan TV. Lakukan kontak mata, atau setidaknya beri bahasa tubuh yang mengatakan, “Aku benar-benar di sini.”

Ini bukan tentang menjadi orang tua sempurna. Tapi tentang menunjukkan apa rasanya memberikan kehadiran yang utuh kepada orang lain. Di dunia yang penuh gangguan dan setengah mendengarkan, itu adalah keterampilan emosional yang luar biasa berharga.

Tentu akan ada hari di mana rumah kacau, badan lelah, dan to-do list berteriak. Tapi dua menit fokus, tiga pertanyaan ringan, atau satu tawa tulus saja sudah bisa mengubah suasana hati anak—dan dirimu—seharian.

4. Dengarkan dengan hangat, bukan dengan agenda

Godaan untuk langsung menasihati atau membenahi sangatlah besar. Tapi kalau bisa menahan diri, anak akan merasa ruang berbagi ini benar-benar aman.

Alih-alih berkata, “Kamu seharusnya bilang ke guru,” coba ganti dengan, “Pasti bikin kesal ya. Menurutmu, apa yang bisa dilakukan lain kali?”

Itu tetap membimbing, tapi dari posisi setara—bukan dari atas menara instruksi.

Dalam jangka panjang, ini menciptakan lingkungan di mana anak berani terbuka tanpa takut dihakimi. Dan dari sanalah komunikasi yang kuat dan langgeng bisa tumbuh.

5. Refleksikan perasaan, bukan hanya fakta

Saat anak berkata, “Hari ini buruk banget,” respons paling berarti bukan “Kenapa?” melainkan “Iya, hari-hari kayak gitu tuh memang nyebelin.”

Ketika ia bilang, “Nggak ada yang milih aku buat tim,” respons empatik seperti, “Pasti rasanya sepi banget,” akan lebih menenangkan.

Refleksi emosional seperti ini membantu anak merasa dikenali pada level yang dalam. Ini juga membangun kosakata emosi mereka—kemampuan untuk mengenali, memberi nama, dan memvalidasi perasaan.

Dan anak yang terbiasa mengalami ini, akan tumbuh jadi pribadi yang bisa mengatur emosi, berempati, dan lebih tahan banting secara emosional.

6. Tutup dengan ritual koneksi

Jangan remehkan kekuatan penutup yang konsisten. Ucapan seperti “Kamu selalu bisa cerita apa pun ke aku”, pelukan, tos, atau lelucon kecil—hal-hal ini adalah lem perekat hubungan.

Anak yang tahu bahwa koneksi ini tersedia setiap hari akan merasa lebih aman secara emosional. Hasilnya? Lebih sedikit drama, lebih banyak kerja sama, dan kepercayaan yang lebih dalam.

Dan ingat: momen kecil ini akan menumpuk. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun.

Hingga akhirnya membentuk jaring pengaman tak kasat mata yang anak bawa bersamanya ke masa remaja—dan dewasa.

Satu kebiasaan sederhana. Sedikit waktu. Tapi dampaknya bisa membentuk masa depan anak jauh lebih besar dari yang terlihat.

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #jika #kamu #ingin #anak #tumbuh #menjadi #orang #dewasa #yang #sukses #jadikan #kebiasaan #sehari #hari

KOMENTAR