Green Boots di Everest: Mayat Pendaki yang Membeku dan Menjadi Penanda Jalan Menuju Puncak Tertinggi Dunia
Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia dengan ketinggian 8.848 meter, bukan hanya menjadi simbol pencapaian tertinggi manusia, tetapi juga menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi ratusan pendaki yang tak pernah kembali. Salah satu yang paling dikenal adalah sosok yang dijuluki “Green Boots”, mayat seorang pendaki yang kini menjadi penanda jalan tak resmi di jalur pendakian timur laut Everest.
Green Boots diyakini sebagai Tsewang Paljor, seorang pendaki asal India yang tewas dalam badai salju pada tahun 1996. Ia ditemukan dalam posisi meringkuk di dalam gua kecil, mengenakan sepatu bot berwarna hijau mencolok yang kemudian menjadi ciri khasnya. Sejak saat itu, hampir semua pendaki yang melewati jalur tersebut akan melihat jasadnya, seolah menjadi penunjuk arah yang membisu di tengah salju abadi.
Keberadaan mayat-mayat di Everest bukanlah hal baru. Menurut laporan Outside Online, lebih dari 300 orang telah kehilangan nyawa di gunung ini, dan sebagian besar jasad mereka masih tertinggal di sana hingga kini. Medan yang ekstrem, suhu yang membekukan, serta biaya evakuasi yang sangat mahal membuat proses pemindahan jenazah hampir mustahil dilakukan.
“Biaya untuk mengevakuasi satu jenazah dari zona kematian bisa mencapai 70.000 hingga 100.000 dolar AS,” ujar Ben Ayers, jurnalis dan pendaki yang telah lebih dari dua dekade tinggal di Nepal. Ia menambahkan bahwa risiko bagi tim penyelamat sangat tinggi, sehingga banyak keluarga akhirnya memilih untuk membiarkan orang tercinta mereka tetap di sana.
Ironisnya, mayat-mayat ini justru menjadi bagian dari lanskap Everest. Beberapa pendaki bahkan menggunakan posisi jenazah sebagai titik orientasi.
“Green Boots adalah penanda bahwa kamu sudah dekat dengan puncak. Tapi melihatnya juga mengingatkan bahwa setiap langkah bisa jadi yang terakhir," kata seorang pendaki dalam dokumenter yang dikutip oleh Outside Online.
Fenomena ini memunculkan perdebatan etis. Sebagian orang menganggapnya sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka yang gugur dalam perjuangan mencapai puncak. Namun, tak sedikit pula yang menganggapnya sebagai pengabaian terhadap martabat manusia.
“Kita tidak boleh membiarkan tubuh manusia menjadi bagian dari pemandangan,” ujar Tulsi Rauniyar, aktivis lingkungan di Nepal.
Pemerintah Nepal dan beberapa organisasi pendakian telah berupaya melakukan evakuasi jenazah dalam beberapa tahun terakhir. Namun, upaya ini tetap terbatas karena kondisi cuaca yang tak menentu dan risiko longsoran salju yang tinggi. Selain itu, banyak jenazah yang sudah tertimbun es selama puluhan tahun, membuatnya sulit dikenali dan dievakuasi.
Meski begitu, kisah seperti Green Boots tetap hidup dalam ingatan para pendaki. Ia bukan hanya simbol kegagalan, tetapi juga pengingat akan harga yang harus dibayar untuk menaklukkan alam.
“Setiap kali aku melewati Green Boots, aku terdiam sejenak. Itu bukan hanya tubuh, tapi cerita,” ujar seorang pemandu lokal.
Di tengah popularitas Everest yang terus meningkat, jumlah pendaki pun melonjak setiap tahunnya. Hal ini memperbesar kemungkinan tragedi serupa terulang. Banyak pihak menyerukan regulasi yang lebih ketat dan pelatihan yang lebih serius bagi para pendaki agar tragedi seperti Green Boots tak terus berulang.
Gunung Everest akan selalu menjadi magnet bagi mereka yang ingin menantang batas. Namun, di balik kemegahannya, tersimpan kisah-kisah duka yang membeku bersama salju. Green Boots hanyalah satu dari ratusan cerita yang tak pernah selesai diceritakan, kisah tentang keberanian, ambisi, dan harga yang harus dibayar untuk menyentuh langit. (*)
Tag: #green #boots #everest #mayat #pendaki #yang #membeku #menjadi #penanda #jalan #menuju #puncak #tertinggi #dunia