Setengah Juta Warga Mengungsi saat Konflik Thailand-Kamboja Kembali Memuncak di Tengah Upaya Diplomasi AS
- Ketegangan di perbatasan Thailand–Kamboja kembali mencapai puncak eskalasi, memaksa lebih dari setengah juta warga meninggalkan rumah mereka dalam gelombang pengungsian terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Penggunaan jet tempur, tank, dan drone menjadikan kawasan itu tidak lagi dapat dihuni, sementara pertempuran terus berlanjut tanpa tanda mereda.
Selain itu, otoritas dari kedua negara melaporkan sedikitnya 15 korban tewas, terdiri atas tentara Thailand serta warga sipil Kamboja. Jumlah korban ini mencerminkan cepatnya intensitas kekerasan meningkat, menjadikan warga sipil sebagai kelompok yang paling terdampak di garis depan konflik.
Dilansir dari The Guardian, Kamis (11/12/2025), lebih dari 500.000 warga kini mengungsi ke pagoda, sekolah, dan tempat-tempat perlindungan darurat. Seut Soeung (30), mengatakan, "Mereka bilang sudah tidak aman lagi," ketika ia beristirahat bersama keluarganya di tepi jalan. Seorang polisi yang menolak disebut namanya menambahkan bahwa warga harus dievakuasi dari kompleks kuil karena pesawat tempur Thailand terbang rendah di sekitar area tersebut.
Selanjutnya, akar konflik ini berkaitan dengan perselisihan panjang mengenai demarkasi perbatasan era kolonial sepanjang 800 kilometer. Klaim atas sejumlah kuil bersejarah memperumit negosiasi, membuat sengketa ini mudah kembali memanas. Dalam beberapa hari terakhir, pertempuran meluas hingga ke lima provinsi di Thailand dan Kamboja.
Pada sisi Thailand, juru bicara Kementerian Pertahanan menyatakan bahwa lebih dari 400.000 warga telah dievakuasi ke lokasi aman. Sementara itu, juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Maly Socheata, menuturkan bahwa lebih dari 101.000 orang telah dipindahkan. Ia menuduh, "Tentara Thailand menembak secara membabi buta ke area permukiman dan sekolah serta mengebom Kuil Ta Krabey," yang dianggap sebagai situs suci oleh Kamboja.
Beriringan dengan hal tersebut, kesaksian para pengungsi menggambarkan tekanan berat yang mereka hadapi. Niam Poda, petani tebu berusia 62 tahun dari Sa Kaeo, Thailand, menuturkan, "Saya sedang mencuci ketika ledakan keras terdengar. Saya langsung lari menyelamatkan diri," ujarnya, seraya menyesalkan bahwa ia terpaksa meninggalkan obat-obatannya ketika mengungsi.
Sementara itu, dari Washington, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump menyatakan akan menghubungi para pemimpin Thailand dan Kamboja untuk mendorong penghentian kekerasan. Ia menegaskan, "Saya pikir saya bisa membuat mereka berhenti bertempur. Siapa lagi yang bisa melakukannya?"
Sejalan dengan pernyataan itu, upaya diplomasi AS sebelumnya telah membantu memediasi gencatan senjata pada Juli, yang kemudian diperpanjang pada Oktober sebelum akhirnya ditangguhkan Thailand pada November. Rekam jejak ini membuat intervensi terbaru Washington menjadi sorotan, terutama di tengah eskalasi yang kembali memuncak.
Tah hanya itu, Thailand memperketat keamanan domestik dengan menerapkan jam malam mulai pukul 19.00 hingga 05.00 di sebagian wilayah Sa Kaeo. Langkah ini dianggap penting untuk menahan eskalasi lebih jauh serta menjaga keselamatan warga sipil yang berada dalam radius pertempuran.
Di sisi lain, pemerintah Kamboja memutuskan menarik diri dari SEA Games yang sedang berlangsung di Thailand karena meningkatnya risiko keamanan terhadap para atletnya. Insiden serangan roket yang jatuh di sekitar Rumah Sakit Phanom Dong Rak di Surin turut memperkuat kekhawatiran bahwa zona pertempuran kini meluas ke titik-titik yang sebelumnya dianggap aman.
Pada akhirnya, konflik ini menegaskan betapa rapuhnya stabilitas Asia Tenggara ketika sengketa historis kembali memanas. Dengan meningkatnya korban sipil dan tekanan geopolitik yang tumbuh, komunitas internasional menunggu apakah upaya diplomasi Amerika Serikat mampu meredakan situasi atau justru membuka jalan bagi ketegangan baru yang lebih kompleks di kawasan.
Tag: #setengah #juta #warga #mengungsi #saat #konflik #thailand #kamboja #kembali #memuncak #tengah #upaya #diplomasi