Scaphism: Jejak Kelam Hukuman Mati di Kekaisaran Persia
- Scaphism, atau yang dikenal sebagai “hukuman perahu,” merupakan salah satu metode eksekusi paling mengerikan yang tercatat dalam sejarah Kekaisaran Persia. Metode ini pertama kali diungkap oleh sejarawan Yunani, Plutarch, dalam kisah hidup Raja Artaxerxes II. Ia menggambarkan bagaimana seorang prajurit bernama Mithridates dihukum mati dengan cara yang perlahan dan menyiksa karena mengaku membunuh saudara sang raja, Cyrus the Younger.
Dalam praktiknya, korban akan ditempatkan di antara dua perahu kayu atau batang pohon berlubang. Tubuhnya diikat sehingga tidak bisa bergerak, dengan kepala, tangan, dan kaki menjulur keluar. Korban kemudian dipaksa makan campuran susu dan madu secara berlebihan, yang menyebabkan diare parah dan menarik perhatian serangga serta hewan pengerat.
Tubuh korban juga diolesi susu dan madu, membuatnya menjadi sasaran empuk bagi lalat, belatung, dan berbagai jenis parasit. Dalam kondisi terikat dan tidak bisa membersihkan diri, korban akan perlahan-lahan dimakan hidup-hidup oleh makhluk-makhluk tersebut. Proses ini bisa berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-minggu, tergantung pada kondisi tubuh dan lingkungan sekitar.
“Korban akan mengalami penderitaan luar biasa, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental. Ia sadar sepenuhnya bahwa tubuhnya sedang dimakan perlahan,” tulis Marco Margaritoff dalam artikel sejarahnya di All That’s Interesting. Ia menyebut scaphism sebagai salah satu metode eksekusi paling sadis yang pernah ada.
Meski terdengar seperti kisah horor, keabsahan scaphism sebagai praktik nyata masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Beberapa menyebut bahwa kisah ini mungkin dilebih-lebihkan oleh penulis Yunani kuno untuk menggambarkan kebrutalan bangsa Persia. Namun, tidak sedikit pula yang percaya bahwa metode ini memang pernah digunakan untuk menghukum pengkhianat dan pembunuh.
Dalam konteks Kekaisaran Persia, hukuman mati bukan hanya soal mengakhiri hidup seseorang, tetapi juga menjadi simbol kekuasaan dan peringatan bagi rakyat. Scaphism, dengan segala kekejamannya, mencerminkan betapa seriusnya penguasa dalam menjaga kehormatan dan stabilitas kerajaan.
“Raja memerintahkan agar Mithridates dihukum mati dengan perahu eksekusi dilakukan dengan cara berikut, yaitu dua perahu digunakan, satu dibalik di atas yang lain, dan tubuh korban dijepit di antara keduanya,” tulis Plutarch dalam catatannya. Kutipan ini menunjukkan bahwa metode tersebut memang tercatat dalam literatur kuno, meski sumbernya masih dianggap meragukan oleh beberapa akademisi.
Seiring berjalannya waktu, scaphism menjadi simbol dari kebrutalan masa lalu yang kini hanya tinggal cerita. Namun, kisah ini tetap relevan sebagai pengingat bahwa sejarah manusia dipenuhi dengan berbagai bentuk kekejaman yang lahir dari kekuasaan dan dendam.
Dalam dunia modern, metode seperti scaphism tentu sudah tidak lagi digunakan. Namun, penting bagi kita untuk memahami sejarah kelam ini agar tidak mengulang kesalahan serupa. Kekuasaan tanpa batas dan tanpa kontrol bisa melahirkan praktik-praktik yang tidak manusiawi.
Scaphism bukan hanya tentang cara eksekusi, tetapi juga tentang bagaimana manusia bisa kehilangan rasa kemanusiaan ketika kekuasaan menjadi satu-satunya tujuan. Dari Persia kuno, kita belajar bahwa keadilan harus selalu berjalan beriringan dengan rasa belas kasih. (*)
Tag: #scaphism #jejak #kelam #hukuman #mati #kekaisaran #persia