Tesla Desak Mahkamah Agung Delaware Pulihkan Gaji Rp 928 Triliun Elon Musk: Taruhan Besar bagi Hukum Korporasi Amerika
- Tesla Inc. kembali memperjuangkan nasib kompensasi terbesar dalam sejarah korporasi modern. Dalam sidang di Mahkamah Agung Delaware, perusahaan mendesak agar paket imbalan kerja senilai USD 56 miliar atau sekitar Rp 928 triliun (kurs Rp 16.580 per dolar AS) untuk CEO Elon Musk dikembalikan, setelah sebelumnya dibatalkan oleh pengadilan rendah pada Januari 2024.
Langkah ini menandai babak akhir dari salah satu sengketa hukum bisnis paling berpengaruh di Amerika Serikat. Tesla berargumen bahwa keputusan Dewan Direksi dan pemegang saham pada 2018 yang menyetujui paket tersebut telah dilakukan secara transparan.
Jeffrey Wall, kuasa hukum Tesla, menegaskan di hadapan majelis hakim bahwa "ini merupakan pemungutan suara pemegang saham paling terinformasi dalam sejarah Delaware."
Dilansir dari Reuters, Minggu (19/10/2025), Tesla berpendapat bahwa pembatalan paket kompensasi Musk oleh pengadilan tingkat pertama tidak mencerminkan fakta yang sesungguhnya.
Perusahaan menilai pengadilan keliru dalam menafsirkan bukti dan terlalu menekankan dugaan adanya ketergantungan dewan direksi terhadap Musk. Tesla juga menolak kesimpulan yang menyebut para pemegang saham tidak memperoleh informasi memadai saat memberikan persetujuan pada 2018.
Kasus ini bermula ketika Chancellor Kathaleen McCormick dari Court of Chancery memutuskan bahwa paket gaji "tidak adil bagi investor," karena dewan dinilai tidak independen. Dia menilai proses penetapan kompensasi itu tidak memenuhi standar kewajaran yang berlaku dalam hukum korporasi Delaware. Putusan itu sekaligus membatalkan hasil pemungutan suara pemegang saham yang dianggap tidak sah secara hukum.
Pihak penggugat, Richard Tornetta seorang pemegang saham minoritas Tesla, menilai langkah perusahaan menggelar pemungutan suara ulang pada 2024 justru melemahkan wibawa sistem peradilan. Kuasa hukumnya, Greg Varallo, memperingatkan bahwa apabila Mahkamah Agung menerima ratifikasi tersebut, "gugatan hukum akan menjadi tak berkesudahan."
Dia menegaskan, "tidak ada yang luar biasa dari putusan ini, kecuali bahwa perkara itu menyangkut paket gaji terbesar dalam sejarah manusia, yang diberikan kepada orang terkaya sekaligus salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia."
Selain meminta pemulihan kompensasi Musk, Tesla juga menggugat besarnya biaya hukum yang mencapai USD 345 juta atau sekitar Rp 5,7 triliun yang diperintahkan dibayarkan kepada tim pengacara Tornetta. Perusahaan menilai angka ini tidak proporsional dan meminta Mahkamah Agung meninjau kembali besaran kompensasi hukum tersebut.
Implikasi perkara ini jauh melampaui kepentingan Musk atau Tesla. Putusan akhir Mahkamah Agung Delaware akan menjadi tolok ukur baru bagi kredibilitas hukum korporasi Amerika.
Beberapa perusahaan besar, seperti Dropbox dan Andreessen Horowitz, bahkan telah memindahkan domisili hukum mereka ke Texas dan Nevada, yang dinilai lebih ramah terhadap direksi, fenomena yang kini dikenal sebagai "Dexit."
Sebagai langkah antisipatif, Tesla telah menyiapkan rencana kompensasi baru yang nilainya diperkirakan mencapai USD 25 miliar, jika Mahkamah Agung menolak pemulihan paket 2018.
Dewan direksi juga mengusulkan rencana jangka panjang dengan nilai hingga USD 1 triliun, sebagai bentuk kepercayaan terhadap peran Musk dalam mengarahkan Tesla menuju masa depan otomasi dan robotika.
Mahkamah Agung Delaware kini dihadapkan pada tiga opsi: membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama, menilai bahwa pembatalan kompensasi tidak layak diterapkan, atau mengakui hasil ratifikasi pemegang saham tahun 2024 sebagai keputusan yang sah.
Apapun hasilnya, putusan itu akan menjadi babak penting dalam sejarah tata kelola korporasi Amerika dan menentukan sejauh mana hukum mampu menyeimbangkan kekuasaan antara pengusaha paling berpengaruh dan pemegang saham di era kapitalisme global.
Tag: #tesla #desak #mahkamah #agung #delaware #pulihkan #gaji #triliun #elon #musk #taruhan #besar #bagi #hukum #korporasi #amerika