Sanae Takaichi Berpeluang Jadi PM Perempuan Pertama Jepang, Tapi Sikapnya Soal Gender Masih Konservatif
Sanae Takaichi. (Dok. Antara)
17:21
5 Oktober 2025

Sanae Takaichi Berpeluang Jadi PM Perempuan Pertama Jepang, Tapi Sikapnya Soal Gender Masih Konservatif

 - Sanae Takaichi bakal menjadi perdana menteri perempuan pertama Jepang. Namun, pandangan politiknya cukup konservatif. Terutama dalam isu-isu sosial di negara yang masih sangat kental dengan budaya patriarki.

Perempuan kelahiran 7 Maret 1961 ini terpilih sebagai ketua Partai Demokrat Liberal (LDP) pada 4 Oktober 2025. Dan diperkirakan akan resmi menjabat sebagai perdana menteri akhir bulan ini. Dia berjanji akan membentuk kabinet dengan keterwakilan perempuan setara dengan negara-negara Nordik. Lebih dari dua menteri perempuan saat kabinet sebelumnya di bawah Perdana Menteri Shigeru Ishiba.

Takaichi juga menyatakan ingin meningkatkan kesadaran publik tentang masalah kesehatan perempuan. Termasuk secara terbuka berbagi pengalamannya menghadapi menopause. Mengingat, usianya yang sudah 64 tahun.

Di balik sikap terbukanya, banyak pandangan kebijakannya soal isu gender justru mencerminkan posisi konservatif. Dia menolak mengubah hukum warisan abad ke-19 yang mewajibkan pasangan menikah memakai nama keluarga yang sama. Aturan yang dalam praktiknya membuat perempuan hampir selalu mengambil nama suami.

Perempuan yang mengidolakan mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher itu juga mendukung aturan suksesi keluarga kekaisaran Jepang. Yang mana hanya memperbolehkan laki-laki naik tahta. Serta secara tegas menolak pernikahan sesama jenis.

Pakar politik dan gender dari Universitas Tokai, Profesor Yuki Tsuji, menyatakan, Takaichi tidak menunjukkan minat terhadap hak-hak perempuan atau kebijakan kesetaraan gender. "Jadi, kecil kemungkinan akan ada perubahan kebijakan signifikan dibandingkan pemerintahan LDP sebelumnya," ujar Prof Tsuji seperti dikutip AFP, Minggu (5/10).

Meski demikian, dia mengakui terpilihnya seorang perempuan sebagai perdana menteri memiliki makna simbolik yang besar. Ditambah ekspektasi akan sangat tinggi. "Kalau dia (Takaichi) gagal, bisa muncul persepsi negatif terhadap pemimpin perempuan di masa depan," imbuhnya.

Yuka, seorang pekerja kantoran di Tokyo, menyambut positif kemenangan Takaichi. "Kita bisa dengan bangga mengatakan ke dunia bahwa Jepang akan segera punya pemimpin perempuan," ujarnya melansir The Straits Times. Meski, ada keraguan terhadap isu kesetaraan gender di bawah kepemimpinan Takaichi.

Takaichi bukan yang pertama menjadi tokoh pemimpin perempuan di Jepang. Pada 2024, mantan pramugari Mitsuko Tottori menjadi presiden maskapai Japan Airlines. Pencapaian seperti itu masih langka di dunia korporasi Jepang. Yang mana dikenal dengan jam kerja panjang dan terbatasnya fasilitas penitipan anak.

Di 2021, hanya 13,2 persen posisi manajerial di Jepang dipegang oleh perempuan. Terbilang persentase terendah di antara negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Bahkan, dalam laporan Global Gender Gap 2025 dari World Economic Forum, Jepang berada di posisi 118 dari 148 negara.

"Ada banyak perempuan yang kompeten, tapi posisi pemimpin masih didominasi laki-laki di Jepang. Banyak perempuan terpaksa mundur di puncak karier mereka karena harus merawat anak atau orang tua yang menua," terang Yuka.

Keterwakilan perempuan di dunia politik masih minim. Di parlemen, perempuan hanya mengisi sekitar 15 persen kursi di majelis. Salah satu pengecualian yang mencolok yakni Gubernur Tokyo Yuriko Koike. Dia sudah tiga periode menjabat. Dikenal dengan sejumlah kebijakan ramah perempuan, seperti penitipan anak gratis untuk anak usia prasekolah.

Banyak anggota parlemen perempuan mengeluhkan sulitnya menyeimbangkan tanggung jawab sebagai politisi dan ibu rumah tangga. Bahkan, kerap menghadapi komentar seksis. Ya, beban dan perasaan itu yang nyaris tak dirasakan anggota parlemen laki-laki.

Contohnya, mantan Wakil Perdana Menteri Taro Aso pernah menyebut Menteri Luar Negeri Yoko Kamikawa sebagai 'tante-tante' dan 'tidak terlalu cantik' pada 2024. Gerakan #MeToo juga tidak berkembang luas di Jepang. Hanya sedikit korban kekerasan seksual yang berani angkat bicara.

Misalnya, mantan tentara Rina Gonoi dan jurnalis Shiori Ito yang berani mengungkapkan keresahan mereka. Namun, keduanya juga malah menjadi sasaran ujaran kebencian di dunia maya.

"Dulu Jepang pernah punya kaisar perempuan, tapi belum pernah punya perdana menteri perempuan. Jadi menurut saya, ini bisa jadi peluang bagi Jepang untuk maju," kata Ryuki Tatsumi, seorang perawat 23 tahun penyandang disabilitas. 

Editor: Hendra Eka

Tag:  #sanae #takaichi #berpeluang #jadi #perempuan #pertama #jepang #tapi #sikapnya #soal #gender #masih #konservatif

KOMENTAR