Gus Ulil, Wahabi Lingkungan, dan ''Timing''
UNGKAPAN Ulil Abshar Abdallah (Gus Ulil) tentang wahabi lingkungan serta kritik terhadap pandangan zero mining kembali membuat publik marah.
Jika dihitung, sudah dua kali Gus Ulil dengan narasi wahabi lingkungan dan zero mining itu membuat geger.
Pertama kali di program Rosi di Kompas TV ketika gejolak tambang di Raja Ampat (12/06). Kedua, ketika Gus Ulil di-doorstop oleh wartawan di kantor PBNU beberapa waktu lalu, bertepatan dengan bencana Sumatera.
Jika ditelaah, Gus Ulil ingin mengatakan bahwa sumber daya alam adalah nikmat Tuhan yang hendak dimanfaatkan, termasuk dengan mengekstraksi (mining).
Apa yang disampaikan oleh Gus Ulil tidak sepenuhnya salah. Namun, persoalan besarnya adalah gagasan tersebut justru dilempar pada saat yang kurang tepat.
Bayangkan, di tengah krisis ekologis, meningkatnya laju deforestasi, dan bencana yang sedang dialami akibat tata kelola pertambangan yang buruk, Gus Ulil justru tampil dengan menyuguhkan narasi yang menyayat hati.
Tambang: Antara das sein dan sollen
Gus Ulil menegaskan bahwa bangsa Indonesia menikmati hampir seluruh produk dari hasil tambang. Mulai dari telepon genggam, energi listrik, hingga perangkat kerja sehari-hari.
Karena itu, menurut dia, tidak mungkin aktivitas penambangan dihapus total. Bahwa tambang harus dikelola sesuai aturan yang tidak merusak lingkungan dan untuk kemaslahatan.
Argumen di atas betul. Namun, yang perlu diingat Gus Ulil bahwa yang sedang terjadi saat ini bukan sekedar dilema antara ada tambang versus tidak ada tambang atau narasi menolak tambang versus menerima tambang.
Namun, ini soal realitas saat ini di mana eksistensi tambang pada kenyataannya menghancurkan ruang hidup, bahkan merenggut nyawa manusia.
Kontrasnya lagi adalah tambang yang dibicarakan Gus Ulil bukanlah tambang yang ada di kepala perancang kebijakan.
Lihat saja, berapa banyak tambang yang tanpa analisis masalah dampak lingkungan hidup (AMDAL), tanpa IUP, praktik tambang illegal dan sebagainya.
Gus Ulil sebagai intelektual yang berpengaruh di Indonesia sesungguhnya memahami betul siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam praktik pertambangan di Indonesia.
Oleh karena itu, sulit membayangkan Gus Ulil tidak menyadari struktur ekonomi politik pertambangan yang selama ini berjalan. Keuntungan tambang selalu terkonsentrasi pada segelintir orang elite dan pemilik modal di Jakarta yang berkuasa.
Maka, mengajak publik untuk lebih realistis menerima tambang tanpa membicarakan relasi kuasa yang timpang, sama saja dengan Gus Ulil ingin menormalisasikan ketidakadilan.
Sejumlah bangunan rusak pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Argumentasi Gus Ulil bahwa kita semua menikmati hasil tambang, hanya benar dipermukaan saja. Faktanya, manfaat besar tambang justru terkonsentrasi di tataran elite.
Sementara risikonya terdistribusi secara brutal kepada yang tak berdaya, yaitu rakyat kecil. Gus Ulil sebagai intelektual yang cermat membaca realitas politik, tentu tahu akan hal ini.
Oleh karena itu, penolakan atas tambang bukanlah penolakan terhadap pembangunan. Melainkan respons atas pengalaman konkret masyarakat yang dirugikan.
Ancaman tambang bukan hanya menjadi imajinasi yang ada di dalam kepala. Melainkan setiap hari disaksikan dan dirasakan.
Lubang tambang yang menelan korban nyawa Mustofa, warga Tanah Merah di Samarinda; udara yang merusak paru-paru dan 339.305 warga yang terkena penyakit ISPA di Morowali; laut dan isinya yang tercemar racun arsenik dan merkuri di teluk Weda, Halmahera Tengah, dan masih banyak lagi.
Dalam kondisi ini, meminta masyarakat untuk menerima narasi tambang untuk kepentingan publik terdengar seperti menyuruh mereka menerima takdir ketidakadilan.
Lebelisasi Gus Ulil tentang wahabi lingkungan tidak hanya menstigmatisasi aktivis gerakan lingkungan. Namun, dengan ungkapan itu, Gus Ulil semacam menutup kuping sendiri dari jeritan warga yang terdampak tambang.
Lantas, apakah mereka yang menolak tambang yang tengah beropreasi di “halaman rumahnya” karena merasa terancam pantas disebut wahabi? Aneh.
Pesan singkat untuk Gus Ulil
Oleh karena itu, apa yang Gus Ulil sampaikan, baik mengkritik pandangan zero mining serta memosisikan penolak tambang sebagai wahabi lingkungan, sangatlah tidak tepat dalam konteks waktu.
Gus Ulil pasti paham betul, waktu merupakan separuh dari efektivitas sebuah pesan disampaikan. Dalam artian narasi yang dikemukakan pada momentum yang salah, bisa menimbulkan kesalahpahaman, resistensi bahkan kontraproduktif.
Di saat masyarakat di daerah sedang melawan kriminalisasi akibat tambang karena mempertahankan ruang hidup mereka, ungkapan wahabi lingkungan bisa ditangkap sebagai suara nirempati.
Sebagai anak yang lahir dari daerah yang saat ini melihat langsung kriminalisasi masyarakat adat seperti 11 warga yang menjadi korban kriminalisasi korporasi tambang di Halmahera Timur, sangat kecewa dengan apa yang disampaikan oleh Gus Ulil sebagai seorang tokoh Nahdliyin.
Gus Ulil mestinya sedikit tenang dan sejenak merenung. Sembari menjawab pertanyaan reflektif, apakah masyarakat pantas dicap wahabi lingkungan ketika keselamatan mereka saja belum terjamin?
Bagaimana perasaan mereka ketika rumah mereka hancur oleh banjir akibat tambang? Bagaimana anak-anak mereka tak bisa lagi minum air yang layak?
Gus Ulil mungkin bukan orang yang saat ini merasakan langsung kriminalisasi korporasi tambang. Sebagaimana 11 orangtua kami di Halmahera Timur yang harus dibui akibat melawan tambang.
Gus Ulil mungkin belum mengalami langsung kehancuran ruang hidup sebagaimana yang dirasakan masyarakat lingkar tambang di Kalimantan, Sumatera, Papua atau di Halmahera. Hutan mereka habis, tanah mereka tandus, bahkan laut dan sungai mereka semakin beracun.
Di sinilah keanehan narasi tentang wahabi lingkungan Gus Ulil. Alih-alih berdiri bersama warga terdampak yang hidupnya benar-benar terancam dan mengkritisi ekstrimisme kapital dalam industri pertambangan, Gus Ulil justru melakukan pelabelan terhadap aktivis gerakan lingkungan yang sebenarnya tidak perlu.
Tag: #ulil #wahabi #lingkungan #timing