Ancaman Eksodus Global, Ketika Pajak Jadi Kompas Perpindahan Orang-Orang Terkaya, Loyalitas Negara Hanya Sejauh Regulasi Menjaga Kekayaan
Ilustrasi tokoh miliarder global yang kerap jadi sorotan perpindahan strategi teknologi dan keputusan besar yang memengaruhi arah industri digital dunia (Dok. Financial Times)
22:45
4 Desember 2025

Ancaman Eksodus Global, Ketika Pajak Jadi Kompas Perpindahan Orang-Orang Terkaya, Loyalitas Negara Hanya Sejauh Regulasi Menjaga Kekayaan

- Di tengah fragmentasi kebijakan fiskal global, perpindahan domisili kalangan super-kaya semakin menyerupai manuver investasi. Motivasi utamanya bukan romantisme kewarganegaraan, melainkan kepastian hukum dan efisiensi pajak yang melindungi kekayaan mereka. Ironi paling mencolok terjadi di Swiss

Negara yang selama puluhan tahun menjadi magnet bagi jutawan lintas benua, sempat mendengar ancaman eksodus justru oleh kelompok yang dulu menjadikannya suaka pajak. Kini, ancaman itu muncul ketika Swiss mengusulkan pajak warisan di kelas ultra-kaya.

Melansir dari Financial Times, Kamis (4/12/2025), referendum untuk menerapkan pajak warisan bagi warga terkaya Swiss ditanggapi dengan respons defensif oleh sebagian besar jutawan dan miliarder asing yang tinggal di sana. Penolakan mayoritas publik Swiss, hampir 80 persen pemilih mengakhiri kecemasan mereka dan mempertahankan status Swiss sebagai yurisdiksi ramah aset.

Namun, di balik hasil referendum, pernyataan para jutawan justru memperlihatkan kerentanan model hidup berbasis pelestarian kekayaan. "Saya pikir banyak yang akan pindah," kata miliarder Norwegia, Kjartan Aas sebelum pemungutan suara. Sementara itu, Tord Kolstad menegaskan, "meskipun saya sangat bahagia di Swiss, saya harus mempertimbangkan kembali jika inisiatif ini disahkan."

Pernyataan tersebut menegaskan satu pola: ketika kebijakan pajak menggoyang stabilitas proyeksi keuangan jangka panjang, mobilitas global menjadi opsi yang sangat rasional. Dalam logika mereka, residensi adalah variabel yang dapat diganti, selama kepentingan intinya terjaga. Skala perpindahan ini menjadi lebih strategis ketika menyentuh kelompok miliarder. 

Kasus miliarder perkapalan John Fredriksen menjadi ilustrasi strategis dalam migrasi pajak global. Lahir di Norwegia, ia meninggalkan negara asalnya pada 1978 untuk menetap di Inggris, sebelum akhirnya melepaskan kewarganegaraan Norwegia dan menjadi warga Siprus. Awal 2025, ia kembali mengevaluasi domisili, lalu memilih pindah ke Uni Emirat Arab ketika pemerintah Partai Buruh di Inggris mencabut status bebas pajak bagi pendapatan luar negeri (non-dom) dan membuka peluang pembahasan pajak kekayaan. 

Dalam wawancaranya dengan laman keuangan E24, Fredriksen menilai arah kebijakan Inggris mulai mencerminkan iklim fiskal negara yang dulu ia tinggalkan. "Saya semakin merasa ini mengingatkan pada Norwegia. Inggris sudah menuju kehancuran, sebagaimana Norwegia, dan dunia Barat sedang berada di jalur kemunduran," ujarnya kritis.

Perpindahan Fredriksen bukan keputusan impulsif, melainkan respons terhadap perubahan kerangka kebijakan yang memengaruhi perencanaan pajak lintas negara. Banyak negara, termasuk Inggris dan Italia, memang sedang meninjau ulang skema pajak bagi kaum super kaya sebagai upaya menutup defisit anggaran dan menahan dampak penuaan populasi.

Italia bahkan secara resmi menaikkan flat tax bagi pendapatan asing sebesar 50 persen mulai 2026, dari 200 ribu euro menjadi 300 ribu euro per tahun. Dengan kurs Rp 19.380 per euro, nominal 300 ribu euro setara Rp 5,8 triliun per tahun, angka yang masih menarik bagi sebagian kantor pengelola kekayaan keluarga (family office) bila dibandingkan tarif lebih tinggi di sejumlah negara Eropa

Di luar Eropa, diferensiasi kompetitif semakin tegas. Pusat finansial di Timur Tengah dan Asia, seperti Dubai, Hong Kong, dan Singapore agresif menawarkan kelonggaran pajak dan regulasi minimal untuk menarik modal jumbo berbasis keluarga. Akan tetapi, tidak semua golongan super-kaya menjadikan pajak sebagai penentu tunggal. 

Salah satu sumber Financial Times mengutip orang terkaya Eropa anonim yang mengatakan, "Bagi saya, ini soal di mana saya ingin benar-benar menjalani hidup. Jika seseorang bisa merasa bahagia menetap di Dubai, itu pilihan mereka. Namun bagi saya, kota itu terasa hampa. Saya nyaman bertahan di Eropa tempat saya tinggal sekarang, meski saya tidak selalu sepenuhnya sejalan dengan kebijakan pajak dan regulasi di sini."

Meski referendum Swiss gagal mengubah peta pajak ultra kaya, sinyalnya jelas. Ketika negara menjadikan kekayaan besar sebagai objek penyesuaian fiskal, pergerakan domisili super-rich bukan pengecualian, melainkan instrumen strategi. 

Hasil referendum Swiss mempertahankan reputasi keamanannya. Namun, momentum ini menegaskan satu realitas: bila pajak menjadi kompas, maka perpindahan adalah arah jarum yang selalu siap berputar kembali.

Editor: Candra Mega Sari

Tag:  #ancaman #eksodus #global #ketika #pajak #jadi #kompas #perpindahan #orang #orang #terkaya #loyalitas #negara #hanya #sejauh #regulasi #menjaga #kekayaan

KOMENTAR