Trauma Masa Lalu Bukan Alasan Bersikap Semau Diri
Ilustrasi trauma. (Nina/Jawa Pos)
12:04
6 Januari 2024

Trauma Masa Lalu Bukan Alasan Bersikap Semau Diri

Banyak manusia yang memiliki trauma atau luka batin dari masa kecil. Namun, apakah kita lantas boleh tidak berempati kepada orang lain? Sebisanya hindari menorehkan luka baru di batin orang lain.

---

ADA beberapa kasus, yang pertama, seorang pria dewasa setelah mendekati wanita yang disukai dan jadi dekat secara emosional, tiba-tiba mendadak menjauh dan menghindar tanpa penjelasan apa pun. Seperti takut untuk terhubung lagi. Tentu bukan suatu tindakan yang etis. Sangat tidak elegan. Sangat membingungkan dan menyakiti hati si wanita.

Itu bukan sesuatu yang lazim, apalagi jika terjadi berkali-kali. Ternyata, semua itu karena ada trauma kedekatan pada si pria. Fear of intimacy disebabkan trauma relasi dengan ortu atau yang mengasuh. Sehingga self-belief dalam relasi sangat rendah dan lebih memilih pergi, agar aman. Sadar keadaan itu, tapi tak mampu menghadapi diri. Istilahnya avoidant attachment.

Kasus lain, seorang suami selalu membentak istri dan anak-anaknya. Karena dia dididik oleh ortu yang selalu membentak dan bicara keras pada anak-anak. Dia tumbuh tanpa kehangatan komunikasi yang menenteramkan.

Sangat membekas. Pola keluarga seperti itulah yang dia tahu, sehingga tanpa sadar dia terapkan dalam keluarganya sendiri. Trauma berulang, pindah pada anak-anaknya. Dia menyadari anak dan istrinya tertekan, tapi selalu tak kuasa mengontrol emosinya.

Masih ingat film The Prince of Tides? Dibintangi Nick Nolte dan Barbra Streisand. Kisah seorang ayah muda dengan dua anak dan istri yang baik, merasa hidupnya ada yang belum beres. Tertekan dan terganggu, sehingga dia merasa harus membereskannya.

Agar bisa meneruskan hidup berkeluarga yang lebih sehat dan berkualitas. Setelah berbulan-bulan diterapi oleh psikolog, akhirnya dengan sangat sakit (menangis) dia mengeluarkan cerita traumatis dari masa kecil.

Bersama ibu dan saudara perempuannya, dia diperkosa oleh para perampok. Dan, dia dilarang oleh ibunya bercerita pada ayahnya yang saat kejadian tidak di rumah. Ayahnya tipe yang tahunya rumah harus beres.

Tak pernah penderitaan kejadian itu dibicarakan dalam keluarga. Tidak ada pelukan atau lindungan rasa yang diterima. Puluhan tahun terus dia simpan sebagai kesakitan.

Terapi rampung, dia pulang kembali sebagai ayah dengan jiwa dan perasaan yang lebih sehat dan positif. Menerima takdir, dengan sikap optimistis ke depan.

Tentang sikap sosial kita, bagaimana sebaiknya jika kita menyadari ada trauma yang mengganggu emosi? Sebagai makhluk sosial, tentu kita diminta menghargai dan memperlakukan siapa pun dengan adab yang pantas dan menyamankan.

Trauma-trauma masa kecil yang membuat diri jadi temperamental, mudah melakukan kekerasan fisik atau verbal, lari dari relasi, menghindari relasi, atau apa pun yang menyakitkan pihak lain, sebaiknya kita sadari.

Bahwa diri kita membawa sesuatu yang negatif, yang harus dibantu sehatkan oleh ahli. Agar hadir dengan sehat lahir-batin dan bisa menjadi kenyamanan bagi orang lain, siapa pun. (*/c18)


*) BABY JOEWONO, Founder & trainer of Baby Joewono Soft Skills Center

 

Editor: Dhimas Ginanjar

Tag:  #trauma #masa #lalu #bukan #alasan #bersikap #semau #diri

KOMENTAR