Andil Perbankan di Balik Bencana Ekologis Sumatera
BANJIR SUMATERA: Foto udara kerusakan area persawahan warga pasca bencana Desa Pasir, Kecamatan Tripe Jaya, Gayo Lues, Aceh, Sabtu (20/12/2025). Berdasarkan data pos Komando tanggap darurat bencana Aceh menerangkan sebanyak 1.866 hektar lahan persawahan yang tersebar di 11 kecamatan di Kabupaten Gayo Lues rusak akibat tertimbun lumpur pasca bencana hidrometeorologi akhir November lalu. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)
05:32
23 Desember 2025

Andil Perbankan di Balik Bencana Ekologis Sumatera

- Perbankan diduga memiliki andil dalam bencana ekologis Sumatera dengan menggelontorkan pembiayaan ke bisnis ekstraktif yang tinggi risiko.

Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia atau TuK Indonesia Abdul Haris melaporkan, terdapat sekurang-kurangnya tujuh perusahaan yang terlibat aktif melakukan eksploitasi di Sumatera Utara.

Perusahaan-perusahaan tersebut juga dihubungkan sebagai salah satu penyebab terjadi bencana di Sumatera.

“Bencana ekologis ini menunjukkan bahwa risiko lingkungan yang diabaikan pada akhirnya berubah menjadi beban sosial dan ekonomi yang harus ditanggung publik,” kata dia dalam Konferensi pers Jejak Pembiayaan di Balik Bencana Ekologis Sumatera, Senin (22/12/2025).

Ia menjabarkan, di balik kerusakan ekologis tersebut, aliran pembiayaan ke perusahaan-perusahaan di Sumatera terus berlangsung dalam skala besar.

Data Forests & Finance menunjukkan bahwa dalam periode 2014–2025, total pembiayaan yang terdeteksi mengalir ke sejumlah perusahaan di sektor berisiko di Sumatera mencapai 42,9 miliar dollar AS.

Jumlah tersebut terdiri dari pinjaman sebesar 16,9 miliar dollar AS dan pembiayaan penjaminan (underwriting) sebesar 26,1 miliar dollar AS.

Aliran dana ini tetap terjadi di tengah meningkatnya risiko ekologis dan konflik sosial di wilayah operasi perusahaan.

Didominasi oleh Perbankan dari China

Ilustrasi bank. SHUTTERSTOCK/FRANK11 Ilustrasi bank. Adapun, bank yang memberikan pembiayaan untuk perusahaan-perusahaan tersebut didominasi oleh bank yang berasal dari China.

Adapun perbankan dari negara seperti Jepang Singapura, hingga Inggris juga diduga turut menyalurkan pembiaya ke sektor dengan risiko tinggi tersebut.

"Bank-bank ini dominasi dari institusi pembiayaan atau bank ini adalah bank yang berasal dari China dan menduduki peringkat paling pertama adalah bank dari China," ungkap dia.

Ia menambahkan, data tersebut menunjukkan bahwa investasi atau pembiayaan asing memiliki peran besar dalam industri ekstraktif di Indonesia.

Hal serupa sebenarnya juga terjadi pada industri ekstraktf lain misalnya adalah yang terjadi pada komoditas nikel di Maluku Utara.

"Ada banyak sekali bank China di sana terlibat pembiayaan," imbuh dia.

Hal serupa yang terasa adalah adanya kerusakan lingkungan yang masif terkait dengan segmen pembiayaan tersebut.

Seiring dengan itu, himpunan bank milik negara (Himbara) juga tampak masih menyalurkan pembiayaan ke beberapa perusahaan yang melakukan eksplorasi di Sumatera tersebut.

Untuk itu Haris berharap publik membangun kesadaran dan meminta kepada perbankan untuk meninjau ulang pembiayaan yang memiliki potensi perusakan lingkungan tersebut.

"Kita bisa memberikan tekanan pada institusi keuangan bahwa pembiayaan yang kalian salurkan kepada perusahaan di Sumatera itu memiliki risiko yang tinggi terhadap kerusakan hutan," ungkap dia.

10.000 Hektar Lahan Berkurang dalam 10 Tahun

Foto udara kondisi sekitar jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Kamis (11/12/2025). Warga masih melintasi jembatan darurat dari batang kayu akibat jalan dan jembatan penghubung antara Kabupaten Tapanuli Selatan menuju Tapanuli Tengah-Sibolga serta Medan putus diterjang banjir bandang pada Selasa (29/11). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja Foto udara kondisi sekitar jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Kamis (11/12/2025). Warga masih melintasi jembatan darurat dari batang kayu akibat jalan dan jembatan penghubung antara Kabupaten Tapanuli Selatan menuju Tapanuli Tengah-Sibolga serta Medan putus diterjang banjir bandang pada Selasa (29/11). Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara Rianda Purba mengatakan, pihaknya mengidentifikasi dalam 10 tahun terakhir terdapat lebih dari 10.000 hektare lahan yang berkurang di wilayah ekosistem Batang Toru, Tapanuli.

Ekosistem Batang Toru ini merupakan penyangga siklus hidrologis wilayah yang saat ini terdampak banjir paling parah di Sumatera Utara.

Adapun, secara total ekosistem Batang Toru memiliki luas sekitar 240.000 hektare yang terdiri dari kawasan hutan lindung, areal penggunaan lain (APL), hingga pemukiman.

"Jadi kami identifikasi ada 10.000 hektare lebih lahan yang berkurang di wilayah tersebut dan itu hasil kerja dari 7 perusahaan yang kami identifikasi," ungkap dia.

Berdasarkan catatan WALHI Sumatera Utara, tujuh perusahaan tersebut terdiri dari PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (PLTA Batang Toru) PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk, PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate.

Aktivitas tujuh perusahaan tersebut di sekitar ekosistem Batang Toru menyebabkan pembukaan hutan, dan perubahan bentang alam.

WALHI Sumatera Utara sendiri mengestimasikan terdapat total 5,4 juta pohon yang terlah hilang dalam kurun waktu tersebut.

Kerusakan ini menurunkan daya dukung lingkungan dan memicu banjir bandang serta longsor.

"Ini sangat berpengaruh terhadap banjir bandang yang terjadi," ujar dia.

Rianda menceritakan, pohon memiliki fungsi kanopi untuk menahan air tak langsung ke tanah. Namun, jumlah pohon yang berkurang, ditambah dengan hujan deras yang terjadi berminggu-minggu, membuat air langsung ke tanah dan mengalir ke wilayah hilir.

Adapun, banyaknya batang pohon yang terseret ketika banjir disebabkan karena hasil tebangan pohon yang dibiarkan berada di daerah aliran sungai (DAS) atau di badang sungai.

Secara alami, batang-batang pohon ini menjadi bendungan yang ketika volume air sudah lebih tinggi tak mampu lagi menahan volume yang besar.

"Sehingga terjadilah bandang, dan run off (limpasan permukaan) sangat kencang dan mengakibatkan korban jiwa di desa-desa," ungkap dia.

Perbankan Terus Tingkatkan Pembiayaan ke Sektor Hijau

Ikustrasi gedung PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank Dok. Permata Bank Ikustrasi gedung PT Bank Permata Tbk (BNLI) atau Permata Bank Di sisi lain, perbankan terus mengupayakan agar pembiayaan yang disalurkan ke korporasi semakin berpihak kepada aspek Enviromental, Social, and Governance (ESG).

Salah satu contohnya, PT Bank Permata Tbk (BNLI) mengupayakan untuk terus mendorong pembiayaan ke bisnis hijau atau green financing.

Tak hanya itu, Permata Bank juga menerapkan sejumlah strategi untuk dapat mengurangi pembiayaan ke bisnis tinggi emisi yang punya risiko merusak lingkungan.

Division Head, Sustainability, Permata Bank Harfelia Desti mengatakan, pihaknya memiliki strategi khusus agak pembiayaan yang disalurkan seminimal mungkin mengalir ke perusahaan yang melakukan eksploitasi lingkungan.

"Kami punya kebijakan internal, namanya kebijakan pembiayaan berkelanjutan," kata dia ketika ditemui di sela-sela acara bertajuk "Peran Perbankan dalam ESG, Green Lending, dan Tantangan Liputan Isu Berkelanjutan, Senin (22/12/2025).

Ia menambahkan, kebijakan tersebut mengatur terkait proses evaluasi kredit yang telah mengintegrasikan ESG.

Permata Bank akan melakukan uji tuntas (due diligence) dengan ketat sebelum memutuskan untuk menyalurkan kredit korporasi.

Proses ini tidak hanya berlaku pada industri tertentu, tetapi pada seluruh industri.

"Ada list of questions itu ke setiap nasabah kami. Dalam proses evaluasi kreditnya, si pemutus kredit juga harus membaca hasilnya seperti apa," jelas dia.

Desti menjelaskan, pada beberapa kasus, pembiayaan ke sektor dengan jejak emisi karbon mungkin masih diberikan dengan beberapa persyaratan, misalnya jumlahnya yang terbatas dan tenornya yang relatif singkat.

"Jadi pembiayaan yang emisinya tinggi itu kami tidak tambah exposure-nya, jadi lebih fokus ke yang berkelanjutan," imbuh dia.

Lebih lanjut, Desti menjabarkan, Permata Bank dalam dua tahun terakhir pihaknya melakukan climate risk stress test.

Salah satu hasil dari inisiatif ini adalah adanya klasifikasi terhadap industri yang memiliki tingkat emisi tinggi, seperti batu bara dan kelapa sawit.

"Biasanya bank, struktur kreditnya diatur, secara kebijakan istilahnya 'diperketat'. Struktur underwriting-nya juga lebih diperketat, portofolionya juiga di-manage bertahap," ungkap dia.

Perbankan Perlu Transparan soal Transparansi Pembiayaan Kredit ke Sektor Berisiko

Ilustrasi pembiayaan hijau, green financing.FREEPIK/WIRESTOCK Ilustrasi pembiayaan hijau, green financing.Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Cerah Agung Budiono menuturkan, lanskap pembiayaan perbankan terhadap industri ekstraktif, khususnya batu bara sudah semakin surut.

Perbankan di kawasan Asia Selatan, Asia Timur kecuali China hingga Eropa telah memiliki kebijakan restiriktif untuk tidak memberikan pendanaan ke sektor tinggi emisi.

Namun demikian, ia memandang hal ini justru seolah-olah menjadi kesempatan bagi bank domestik untuk tetap menyalurkan pembiayaan ke sektor yang memiliki emisi karbon yang tinggi.

Adapun, perbankan pada dasarnya telah memiliki peta jalan untuk dapat mengurangi pembiayaan ke sektor yang tinggi emisi.

Hal tersebut sesuai dengan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tertuang dalam POJK 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik.

Terkait dengan kemungkinan perbankan menyalurkan pembiayaan ke sektor ekstraktif, ia menyebut, OJK sepatutnya memiliki catatan terkait hal ini.

"Kalau bisa pendanaan-pendanaan yang berisiko ini di-ekspose," ungkap dia.

Perbankan sendiri disebut akan mengikuti aturan pemerintah terkait pengurangan pembiayaan ke sektor tersebut.

"Meskipun dalam konteks pembiayaan, politiknya itu nomor satu," timpal dia.

Menurut dia, perlu ada bank percontohan yang membuka keseluruhan portofolionya ke sektor-sektor yang berisiko seperti batu bara, sawit, hutan, dan sebagainya.

Tag:  #andil #perbankan #balik #bencana #ekologis #sumatera

KOMENTAR