Judol dan Pinjol
Ilustrasi judi online (judol).(PIXABAY/DINH QUAN)
13:40
19 Desember 2025

Judol dan Pinjol

DALAM beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan dua fenomena ekonomi digital yang tumbuh bersamaan dan saling berkelindan, maraknya judi online (judol) dan menjamurnya pinjaman online (pinjol). Keduanya sering dipahami sebagai problem moral, penyimpangan perilaku individu, atau sekadar persoalan penegakan hukum.

Negara merespons dengan pemblokiran situs, penangkapan pelaku, serta imbauan agar masyarakat lebih “bijak” dalam menggunakan teknologi. Namun tindakan semacam ini cenderung dangkal dan gagal menangkap persoalan yang lebih mendasar.

Judi online dan pinjol bukanlah anomali dalam sistem ekonomi Indonesia hari ini, melainkan ekspresi mutakhir dari cara kapitalisme digital bekerja, yaitu mengakumulasi keuntungan melalui perampasan sistematis atas kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat.

Untuk memahami fenomena ini secara utuh, konsep accumulation by dispossession (Akumulasi melalui perampasan) yang dikembangkan David Harvey (2003) menjadi kerangka analitis yang sangat relevan. Menurut Harvey, kapitalisme tidak hanya berkembang melalui produksi barang dan jasa, tetapi juga melalui mekanisme non-produktif seperti privatisasi, utang, spekulasi, dan ekstraksi langsung atas aset rakyat.

Jika pada fase awal kapitalisme perampasan dilakukan lewat kolonialisme, penggusuran tanah, dan kekerasan fisik, maka pada fase kontemporer perampasan berlangsung secara lebih halus, terdigitalisasi, dan sering kali dibungkus bahasa legalitas serta pilihan bebas. Judi online dan pinjol memperlihatkan bagaimana logika perampasan untuk akumulasi kapital tersebut bekerja di Indonesia hari ini.

Judi online tumbuh subur di tengah struktur ekonomi yang ditandai oleh ketimpangan, fleksibilisasi kerja, stagnasi upah, dan melemahnya jaminan sosial. Dalam kondisi ini, masyarakat terutama kelas pekerja dan pekerja informal didorong untuk bertanggung jawab secara individual atas nasib ekonominya.

Kesuksesan individu direduksi menjadi soal kecerdikan pribadi, bukan hasil dari struktur yang adil. Judi online masuk ke celah ini dengan menawarkan harapan instan. Keluar dari tekanan ekonomi tanpa harus menunggu kenaikan upah, akses pendidikan, atau akumulasi modal yang melalui proses panjang, yang oleh sebagian kelas sosial hampir mustahil diraih.

Judol menjanjikan mobilitas sosial cepat dalam kerangka sistem yang secara struktural justru menutup jalan mobilitas itu sendiri. Namun secara ekonomi-politik, judi online adalah aktivitas zero-sum. Tidak ada penciptaan nilai sosial, tidak ada produksi, tidak ada peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat. Keuntungan satu pihak secara langsung berasal dari kerugian pihak lain.

Platform judi online dirancang dengan algoritma dan probabilitas yang memastikan bandar selalu menang dalam jangka panjang. Pemain memasuki arena yang secara struktural timpang, tetapi ketimpangan ini disamarkan oleh bahasa hiburan, keberuntungan, dan kebebasan memilih. Inilah bentuk dispossession yang khas dalam kapitalisme digital, perampasan tanpa paksaan fisik, tanpa senjata, bahkan tanpa kehadiran negara secara langsung.

Uang yang hilang dari jutaan pemain dimana sebagian besar berasal dari kelompok berpendapatan rendah tidak berhenti di ruang domestik. Ia mengalir ke jaringan operator, pemilik platform, dan sistem keuangan lintas negara yang sulit dilacak dan diawasi. Kerugian bersifat lokal dan personal, sementara keuntungan bersifat global dan terakumulasi.

Dalam logika accumulation by dispossession, judi online berfungsi sebagai mesin transfer kekayaan dari bawah ke atas, dari pinggiran ke pusat, dari rakyat ke pemodal. Jika judi online menjual harapan dan pinjol menjual solusi. Maka pinjaman pada dasarnya bukan sesuatu yang problematis.

Dalam sejarah ekonomi, kredit justru menjadi instrumen penting untuk meningkatkan produktivitas, memperluas usaha, dan memperbaiki kesejahteraan. Namun pinjol di Indonesia berkembang dalam konteks yang sangat problematik. Lemahnya sistem perbankan inklusif, minimnya perlindungan sosial, dan tingginya ketidakpastian hidup.

Dalam situasi darurat, biaya kesehatan, pendidikan, atau sekadar bertahan hidup dapat diatasi secara instan dengan pinjol sebagai penyelamat yang mudah diakses. Masalahnya, mayoritas pinjol tidak dirancang untuk mendukung aktivitas produktif, melainkan untuk memaksimalkan ekstraksi keuntungan.

Bunga tinggi, denda berlapis, biaya tersembunyi, serta kontrak yang tidak transparan menjadikan pinjol sebagai mekanisme akumulasi kapital berbasis utang. Keuntungan diperoleh bukan dari keberhasilan ekonomi peminjam, tetapi dari kegagalan mereka membayar tepat waktu. Dalam banyak kasus, peminjam terjebak dalam siklus utang yang berulang, di mana pinjaman baru digunakan untuk menutup pinjaman lama.

Dalam perspektif accumulation by dispossession, pinjol merampas bukan hanya uang, tetapi juga masa depan. Pendapatan yang belum dihasilkan sudah lebih dulu diklaim oleh kapital finansial. Waktu kerja, energi, dan bahkan relasi sosial dikorbankan demi melunasi utang.

Pada pinjol ilegal, dispossession meluas ke ranah non-ekonomi seperti pelanggaran privasi, martabat dihancurkan, dan ketakutan digunakan sebagai alat penagihan. Teknologi digital memperkuat relasi kuasa ini dengan memungkinkan pengawasan, kontrol, dan tekanan yang jauh lebih intens dibandingkan kredit tradisional.

Ilustrasi pinjol resmi OJK. Pinjol resmi OJK Oktober 2025. Pinjol OJK Oktober 2025. Pinjol resmi OJK 2025.iStock/ cofotoisme Ilustrasi pinjol resmi OJK. Pinjol resmi OJK Oktober 2025. Pinjol OJK Oktober 2025. Pinjol resmi OJK 2025.

Baik judi online maupun pinjol sering dibela oleh sebaian kalangan dengan argumen bahwa keduanya adalah “aktivitas ekonomi”. Argumen ini benar secara sempit, tetapi menyesatkan secara normatif. Tidak semua aktivitas ekonomi secara inheren meningkatkan kesejahteraan. Perdagangan narkoba, spekulasi ekstrem, dan ekonomi rente juga aktivitas ekonomi, tetapi jarang dianggap layak dijadikan pilar pembangunan.

Dalam ekonomi politik, pertanyaan kuncinya bukan apakah suatu aktivitas menghasilkan uang, melainkan bagaimana uang itu dihasilkan, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang menanggung risiko. Judi online, meskipun secara teoretis bisa dilegalkan dan dipajaki, tetap merupakan ekonomi zero-sum yang regresif.

Bahkan di negara-negara yang melegalkannya, judi tidak pernah dijadikan instrumen utama kesejahteraan, melainkan sumber penerimaan terbatas yang harus diimbangi dengan biaya sosial besar. Rehabilitasi, kesehatan mental, dan penanganan kecanduan. Dengan kata lain, judi online mungkin bisa dikelola untuk mengurangi dampak buruknya, tetapi secara struktural sulit. Nyaris mustahil untuk dijadikan mesin kesejahteraan sosial.

Pinjol berada pada posisi yang lebih ambigu. Kredit bisa menjadi alat kesejahteraan jika dirancang untuk mendukung produksi, berbunga rendah, transparan, dan berbagi risiko antara kreditur dan debitur. Namun pinjol berbasis platform profit-maksimalisasi bergerak dalam logika sebaliknya. Risiko sepenuhnya dibebankan kepada peminjam, sementara keuntungan diamankan oleh penyedia modal dan teknologi.

Mengelola pinjol untuk kesejahteraan tidak cukup dengan regulasi bunga atau legalisasi semata, ia menuntut perubahan radikal pada tujuan dan desain institusi kredit itu sendiri. Peran negara dalam dua fenomena ini tidak netral. Di satu sisi, negara mengklaim melindungi masyarakat dari dampak buruk judi online dan pinjol ilegal. Di sisi lain, negara beroperasi dalam paradigma ekonomi yang menormalisasi fleksibilisasi kerja, deregulasi keuangan, dan individualisasi risiko.

Dalam paradigma ini, masyarakat didorong untuk mengandalkan solusi pasar atas problem struktural. Judi online dan pinjol menjadi “jawaban” kapital atas kegagalan sistemik yang diciptakan kapitalisme itu sendiri. Narasi tanggung jawab individual yang terus digaungkan negara dan media berfungsi sebagai tirai ideologis. Korban judi online dianggap tidak bermoral, korban pinjol dianggap tidak bijak. Dengan demikian, relasi kuasa dan struktur ekonomi yang timpang disembunyikan di balik bahasa pilihan dan kebebasan.

Ini persis seperti yang dikritik Harvey: dispossession modern bekerja bukan dengan kekerasan terbuka, tetapi dengan persetujuan semu. Lebih jauh lagi, judi online dan pinjol membentuk ekosistem dispossession/ perampasan yang saling memperkuat. Kekalahan dalam judi online mendorong orang mengambil pinjol untuk menutup kerugian. Tekanan utang dari pinjol mendorong orang berjudi demi pelunasan cepat.

Dalam kedua kasus, kapital memperoleh keuntungan dari kerentanan yang direproduksi secara terus menerus. Ini bukan kegagalan kebijakan, melainkan cara sistem bekerja. Maka pertanyaan tentang apakah judi online dan pinjol bisa dikelola untuk meningkatkan kesejahteraan harus dijawab secara jujur dan kritis.

Judi online, karena sifat zero-sum dan regresifnya, hampir mustahil dijadikan instrumen kesejahteraan tanpa kontradiksi internal. Pinjol hanya bisa berkontribusi jika ditransformasikan menjadi institusi kredit sosial seperti koperasi, bank publik, atau skema pembiayaan berbasis solidaritas yang tidak berorientasi pada ekstraksi maksimal.

Pada akhirnya, memotret judi online dan pinjol di Indonesia melalui lensa accumulation by dispossession membantu kita keluar dari analisis moralistik dan teknokratis. Ia membantu mengupas bahwa masalah utamanya bukan pada individu yang “tidak bijak”, melainkan pada sistem ekonomi yang menggantungkan pertumbuhannya pada eksploitasi kerentanan.

Selama ketimpangan struktural, minimnya perlindungan sosial, dan dominasi kapital finansial tidak diperbaiki maka praktik-praktik perampasan digital ini akan terus bermetamorfosis. Dengan demikian, kritik terhadap judi online dan pinjol seharusnya menjadi pintu masuk untuk kritik yang lebih luas terhadap arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Pertanyaannya bukan sekadar bagaimana menertibkan platform, tetapi bagaimana membangun sistem ekonomi yang tidak menjadikan keputusasaan sebagai sumber keuntungan. Tanpa perubahan paradigma tersebut, kesejahteraan akan terus menjadi bualan semata, sementara perampasan hidup rakyat kini berlangsung dengan wajah yang semakin canggih, dan semakin sulit dilawan.

Tag:  #judol #pinjol

KOMENTAR