Mitigasi Risiko Fiskal Peminjaman Uang dari Pusat ke Daerah
BICARA pengelolaan keuangan daerah, tidak lepas dari pelaksanaan efisiensi anggaran sebagaimana amanat dari Inpres 1/2025, yaitu efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
Di satu sisi, efisiensi anggaran berjalan untuk penghematan anggaran negara. Di sisi lain terdapat persoalan pengelolaan keuangan negara yang sebenarnya memerlukan intervensi struktural — yang lebih dari sebatas melakukan ‘penghematan’.
Hampir sebelas bulan pelaksanaan efisiensi anggaran tahun 2025 berjalan, implementasi di lapangan kadang justru menghasilkan dampak laten yang belum diantisipasi secara matang.
Beberapa di antaranya adalah penurunan pendapatan di sektor perhotelan, berimbasnya kepada ekonomi masyarakat, hingga berbagai layanan publik yang akhirnya menjadi korban karena prematurnya kebijakan efisiensi anggaran yang dijalankan.
Belum lagi, persoalan efisiensi anggaran masih menjadi masalah yang mengakibatkan “stagnasi dan leletnya” pelayanan publik.
Dalam beberapa forum bersama kepala daerah, saya sempat bertanya bagaimana kesiapan daerah melewati lika-liku pascaefisiensi anggaran ini.
Jawaban yang saya temukan adalah pemerintah daerah juga “bimbang” dalam menyalurkan belanja dengan beberapa alasan.
Pertama, adanya kekhawatiran kebijakan belanja daerah tidak sejalan atau bertentangan dengan instruksi pemerintah pusat, terutama dalam konteks program direktif dan strategis nasional yang cenderung “top-down”.
Kedua, dinamika regulasi yang cepat berubah tanpa mekanisme transisi yang jelas kerap membuat kepala daerah ragu untuk mengeksekusi program yang bersifat inovatif.
Ketiga, minimnya anggaran karena alokasi fiskal sudah ‘disetting’ terlebih dulu untuk membiayai program pusat yang membuat ruang fiskal daerah menjadi sangat terbatas.
Artinya, hari ini tidak sedikit pemerintah daerah mengalami fenomena “insecure/tidak percaya diri” dengan APBD yang dimiliki.
RAPBN 2026 sejatinya menjadi penanda keras bagi pemerintah daerah bahwa era ketergantungan pada limpahan dana pusat perlahan berakhir. Keterbatasan ruang fiskal semakin nyata, membuat manuver kepala daerah kian sempit dan penuh risiko.
Dalam situasi serba gamang ini, tanggung jawab tidak hanya berada di pundak pemerintah daerah. Pemerintah pusat pun dituntut untuk tidak lepas tangan.
Pascaterbitnya PP 38/2025
Presiden Prabowo Subianto pada 10 September 2025 menandatangani PP Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat sebagai instrumen baru dalam memperkuat kapasitas fiskal daerah.
Regulasi ini membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk memperoleh pembiayaan langsung dari pemerintah pusat guna mendukung kegiatan pembangunan dan penyediaan layanan publik.
Berdasarkan aturan itu, BUMN, BUMD, dan pemerintah daerah bisa berhutang ke pemerintah pusat.
Sumber dana pemberian pinjaman oleh Pemerintah Pusat berasal dari APBN. Berdasarkan aturan tersebut, Pemda yang mengajukan pinjaman membayar cicilan pokok dan bunga.
Bila terlambat atau tidak melakukan pembayaran kewajiban akan dikenai sanksi berupa denda keterlambatan. Seluruh keuntungan dari bunga dan denda lainnya akan tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Bahkan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku siap memberikan pinjaman bunga rendah di level 0,5 persen untuk pemerintah daerah (Pemda), sebagai implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38/2025.
Lewat PP tersebut, pemerintah pusat kini dapat memberi pinjaman ke Pemda, BUMN, dan BUMD. (Bisnis Indonesia, 3/11/2025)
Jika menilik Pasal 4 PP 38/2025, pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat dilakukan dengan tujuan mendukung kegiatan seperti: pembangunan dan penyediaan infrastruktur; peningkatan pelayanan umum; pemberdayaan industri dalam negeri; pembiayaan sektor ekonomi produktif; serta pelaksanaan program strategis pemerintah pusat.
Artinya, pinjaman tersebut dimaksudkan untuk menstimulasi perekonomian daerah melalui kegiatan produktif yang memiliki multiplier effect tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat.
Risiko fiskal
Namun demikian, di balik potensi manfaatnya, terdapat risiko fiskal yang perlu diwaspadai. Tantangan terbesar adalah bagaimana pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan dapat memastikan bahwa dana pinjaman benar-benar disalurkan pada sektor yang sesuai dengan tujuan peraturan.
Tanpa pengawasan ketat, pinjaman tersebut berisiko dialihkan untuk pembiayaan kegiatan nonproduktif seperti belanja birokrasi, kegiatan seremonial, atau belanja pegawai yang tidak memberikan dampak pengganda terhadap ekonomi lokal.
Secara historis, skema pinjaman kepada daerah bukanlah hal baru. PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI, BUMN di bawah Kementerian Keuangan, telah lama menjadi mitra pembiayaan bagi pemerintah daerah, terutama untuk proyek infrastruktur.
Misalnya, pada masa pandemi COVID-19, PT SMI berperan aktif dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui pemberian pinjaman kepada daerah untuk menjaga daya beli dan mempercepat pemulihan ekonomi lokal.
Konteks penerbitan PP 38/2025 menjadi menarik karena kebijakan ini muncul di tengah penurunan signifikan Transfer ke Daerah (TKD).
Berdasarkan rencana APBN 2026, alokasi TKD akan turun sekitar Rp 226,9 triliun, atau 24,7 persen dari Rp 919,9 triliun (APBN 2025) menjadi Rp 692,995 triliun.
Pemangkasan ini tentu menekan kemampuan fiskal daerah untuk membiayai pembangunan, sehingga pinjaman dari pusat bisa menjadi instrumen substitusi.
Namun, di sisi lain, pinjaman justru dapat menciptakan beban fiskal jangka menengah yang berpotensi menggerus ruang fiskal daerah di masa mendatang.
PP tersebut mengatur bahwa pengembalian pinjaman dilakukan melalui mekanisme pemotongan dana transfer ke daerah, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pada tahun-tahun berikutnya.
Secara prinsip, mekanisme ini memberikan kepastian pembayaran. Namun di sisi lain, menyimpan risiko apabila pemerintah daerah mengalami keterbatasan kas.
Pemotongan DAU/DBH dapat memperkecil kemampuan fiskal daerah dalam memenuhi kewajiban belanja wajib dan layanan dasar.
Sebagai contoh, Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 2021 memperoleh pinjaman sebesar Rp 70 miliar dari PT SMI dengan bunga 6,19 persen dengan tenor delapan tahun.
Hingga kini, pemerintah daerah tersebut masih harus membayar cicilan pokok sekitar Rp 11 miliar per tahun.
Bagi daerah dengan tingkat kemandirian fiskal rendah, beban pembayaran seperti ini dapat menekan ruang fiskal APBD, bahkan berisiko menimbulkan keterlambatan pembangunan jika arus kas tidak terkelola dengan baik. (Bisnis Indonesia, 29/10/2025)
Perlu kehati-hatian
Pemerintah pusat memang berupaya menetapkan suku bunga rendah agar skema pinjaman ini tidak menimbulkan risiko fiskal berlebihan.
Namun, tantangan terletak pada implementasi dan disiplin fiskal daerah. Ketepatan perencanaan, kapasitas administrasi, dan tata kelola keuangan daerah menjadi faktor kunci dalam memastikan bahwa pinjaman tidak berubah menjadi utang bermasalah (non-performing loan) yang justru membebani fiskal nasional.
Dari sisi tata laksana, PP 38/2025 telah mengatur persyaratan administratif yang ketat sebelum pinjaman disetujui.
Pemerintah daerah wajib memperoleh persetujuan DPRD, melampirkan pertimbangan tertulis dari Kemendagri, Kemenkeu, dan Bappenas, menyusun studi kelayakan dan proyeksi kemampuan fiskal, serta menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK selama tiga tahun terakhir.
Selain itu, daerah juga diwajibkan menandatangani surat kuasa pemotongan DAU/DBH sebagai jaminan atas kewajiban pembayaran.
Namun, kompleksitas administrasi ini justru menimbulkan pertanyaan: bagaimana jika daerah menunggak pembayaran?
Ketentuan mengenai “surat pernyataan kesediaan dilakukan pemotongan DAU/DBH” memang memberikan kepastian bagi pemerintah pusat, tetapi di sisi lain dapat menjadi “senjata makan tuan” bagi keuangan daerah.
Ketika pendapatan transfer dipotong untuk melunasi utang, kemampuan daerah membiayai kebutuhan dasar masyarakat dapat terganggu.
Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menciptakan beratnya beban fiskal daerah, di mana daerah semakin bergantung pada pinjaman baru untuk menutup kewajiban lama.
Dengan demikian, PP 38/2025 perlu dibaca secara hati-hati dalam konteks desentralisasi fiskal dan keberlanjutan keuangan daerah apalagi di tengah kebijakan pemerintah pusat yang bersifat “top-down” untuk membiayai program pemerintah pusat.
Pemberian pinjaman dari pusat ke daerah dapat menjadi solusi inovatif dalam memperkuat pembangunan. Namun, tanpa mekanisme pengawasan dan penilaian risiko yang transparan, kebijakan ini justru dapat mengikis kemandirian fiskal daerah.
Pemerintah pusat harus memastikan adanya kerangka mitigasi risiko fiskal, antara lain melalui evaluasi kapasitas fiskal daerah secara berkala, penetapan batas maksimum pinjaman, serta pengawasan atas penggunaan dana yang berbasis pada outcome pembangunan, bukan sekadar output belanja.
Tag: #mitigasi #risiko #fiskal #peminjaman #uang #dari #pusat #daerah