Redenominasi Rupiah: Risiko Psikologis dan Tantangan Publik
REDENOMINASI rupiah bukan wacana yang tiba-tiba hadir. Wacana ini hidup sejak lebih dari satu dekade lalu.
Diperkenalkan pada masa Agus Martowardojo, bergulir lagi pada masa Sri Mulyani, dan kini kembali muncul lewat inisiatif Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan target RUU selesai pada 2027.
Satu hal yang menjadi inti: tiga nol akan hilang. Seribu rupiah akan menjadi satu rupiah. Namun, perubahan besar tidak selalu terletak pada uangnya, melainkan pada kesiapan masyarakat menghadapi cara baru memandang angka.
Apa itu redenominasi?
Dalam konsep dasarnya, redenominasi hanyalah penyederhanaan penulisan rupiah tanpa mengubah nilai. Uang Rp 10.000 yang hari ini kita pegang akan menjadi Rp 10 setelah redenominasi, tetapi daya beli tidak berubah.
Krugman dan Obstfeld (2018) menjelaskan bahwa sistem keuangan yang efisien membutuhkan denominasi yang ringkas, terutama dalam transaksi digital, pencatatan akuntansi, dan sistem perbankan.
Dengan semakin modernnya sistem keuangan Indonesia—QRIS, mobile banking, real-time payments—nol panjang mulai menjadi beban administratif, bukan lagi kebutuhan.
Penting untuk membedakan redenominasi dengan sanering. Sanering memotong nilai uang sehingga daya beli berkurang. Redenominasi tidak menyentuh nilai riilnya, hanya mengganti cara penulisan.
Negara seperti Turkiye, Romania, dan Rusia berhasil melakukan langkah ini untuk menyederhanakan transaksi dan memperbaiki persepsi internasional terhadap mata uang mereka (Akyaz & Aknc, 2020). Indonesia berada pada tahap yang serupa.
Mengapa urgensinya meningkat?
Secara psikologis, masyarakat menghadapi fenomena nominal illusion—persepsi salah bahwa harga barang mahal hanya karena tampilan angkanya besar (Shafir, 1997).
Ketika setiap belanja sehari-hari ditulis dalam jutaan atau miliaran, muncul kesan bahwa ekonomi bergerak terlalu mahal, meskipun daya beli tidak selalu berubah secara riil. Redenominasi menghilangkan bias itu dan membuat persepsi harga lebih realistis.
Dari sisi teknologi, sistem pembayaran tak lagi berbasis kertas, melainkan data digital. Terlalu banyak nol meningkatkan risiko kesalahan input dan memperbesar biaya administrasi transaksi (Graf & Li, 2021).
Dunia bergerak menuju ekonomi real-time, dan nilai nominal yang panjang menjadi hambatan efisiensi. Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, penyederhanaan nominal rupiah adalah konsekuensi logis.
Secara kredibilitas internasional, Mankiw (2021) menegaskan bahwa mata uang dengan denominasi ringkas dipandang lebih stabil dan modern.
Negara yang bertransformasi menuju kelompok berpendapatan tinggi cenderung merapikan denominasi sebagai bagian dari penguatan reputasi keuangan. Indonesia sedang menuju tahap itu.
Risiko psikologis dan tantangan publik
Meski secara ekonomi redenominasi tidak menurunkan nilai uang, tantangan utamanya justru di persepsi masyarakat.
Akyaz dan Aknc (2020) mencatat bahwa di Turkiye, masyarakat sempat salah paham karena angka dalam struk tiba-tiba tampil kecil.
Dalam teori perilaku keuangan, manusia cenderung lebih takut pada apa yang terlihat seperti “kerugian”, meski sebenarnya tidak ada kerugian riil (Kahneman & Tversky, 2013).
Jika sosialisasi tidak tepat, perubahan nominal dapat memicu kecemasan, spekulasi, atau bahkan hoaks bahwa “uang mengecil”.
Ada pula risiko inflasi psikologis. Jika pecahan kecil tidak tersedia atau pedagang salah membulatkan harga, barang Rp 1.200 bisa menjadi Rp 2 setelah redenominasi, sehingga konsumen dirugikan.
Negara-negara yang gagal mempersiapkan aspek teknis ini mengalami lonjakan harga yang semestinya tidak perlu terjadi.
Artinya, keberhasilan redenominasi bukan hanya soal pemerintah mengubah aturan, tetapi juga soal kesiapan pelaku usaha di pasar, kasir, UMKM, hingga pedagang kelontong di kampung.
Apa yang perlu disiapkan masyarakat?
Masa transisi tidak akan berlangsung dalam semalam. Akan ada periode dua harga—harga lama dan harga baru—untuk memberi waktu adaptasi.
Pada tahap ini, masyarakat harus memahami bahwa dua angka berbeda itu merepresentasikan nilai yang sama.
Pelaku usaha harus menyesuaikan sistem pembukuan, mesin kasir, aplikasi digital, dan tanda harga barang. Kesalahan satu angka nol bisa mengubah keuntungan menjadi kerugian.
Bagi masyarakat umum, literasi keuangan menjadi kunci utama. Tabungan, gaji, cicilan, dan deposito akan tampil dengan angka lebih kecil, tetapi nilainya tidak berubah.
Tanpa edukasi, rumor dapat merebak dan memicu kepanikan. Media dan institusi pendidikan harus ikut memastikan bahwa masyarakat paham, bukan sekadar ikut bingung.
Redenominasi tidak menjanjikan ekonomi mendadak membaik. Namun, ia menciptakan fondasi psikologis dan teknis bagi sistem moneter yang lebih modern: transaksi lebih cepat, pencatatan lebih ringkas, dan persepsi nilai yang lebih rasional.
Jika berhasil, maka rupiah baru akan menjadi simbol kedewasaan ekonomi Indonesia. Namun jika sosialisasi gagal, tiga nol yang hilang bisa melahirkan sejuta kecurigaan.
Pada akhirnya, yang diuji bukan rupiahnya, tetapi kemampuan kita memahami nilai. Angka mungkin berubah, tetapi maknanya tetap. Kepercayaan publik menjadi kunci.
Jika masyarakat siap, perubahan ini bisa menjadi langkah maju dalam sejarah ekonomi Indonesia. Jika tidak, maka perubahan simbolik ini justru dapat menimbulkan kebingungan kolektif.
Rupiah tanpa nol panjang bukan mimpi. Ia hanya menunggu kesiapan kita menyambutnya.
Tag: #redenominasi #rupiah #risiko #psikologis #tantangan #publik