Pakar ITB Nilai Mobil Nasional Sulit Terwujud jika Terjebak Agenda Politik dan Lemah Fondasi Industri
- Rencana pemerintah menghadirkan mobil nasional kembali mengemuka seiring pernyataan Kementerian Perindustrian yang mendorong proyek ini dijadikan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Namun, sejumlah pakar menilai langkah itu justru berisiko mengulang kesalahan masa lalu, jika tidak disertai pembenahan serius pada fondasi industri otomotif dalam negeri.
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai, tantangan terbesar mewujudkan mobil nasional bukan pada kemampuan teknis, melainkan pada arah kebijakan dan cara berpikir yang masih politis.
“Mobil buatan Indonesia akan semakin sulit terwujud kalau sejak awal sudah didominasi oleh agenda politik. Sekarang tanda-tandanya mulai terlihat dari narasi ‘mobil nasional’ dan ‘PSN’ yang digaungkan Kemenperin,” ujar Yannes dihubungi JawaPos.com.
Menurutnya, pengalaman masa lalu seharusnya menjadi pelajaran penting. Proyek Timor di era 1990-an, misalnya, gagal bukan karena kurang inovatif, tetapi karena terlalu bergantung pada proteksionisme eksklusif.
“Timor diberi keistimewaan pajak dan bea masuk, tapi justru itu yang memicu gugatan dari negara-negara maju di WTO. Akibatnya, proyek yang seharusnya jadi kebanggaan nasional malah dipaksa tutup,” jelasnya.
Yannes menegaskan bahwa negara-negara maju tidak akan dengan mudah membiarkan Indonesia menjadi negara industri otomotif baru yang kompetitif.
“Negara-negara G7 lebih senang jika Indonesia tetap menjadi pasar konsumen, bukan produsen. Karena itu, kalau kita ingin mandiri, harus membangun industri dari hulu ke hilir dengan strategi bisnis yang kuat, bukan proteksi jangka pendek,” tegasnya.
Ia juga menyoroti contoh lain, yakni proyek Esemka, yang hingga kini belum mampu menembus pasar bebas secara berkelanjutan.
Menurut Yannes, Esemka gagal karena tidak memiliki modal yang cukup, transfer teknologi inti, jejaring industri komponen, maupun basis riset dan pengembangan (R&D) yang kuat.
“Esemka hanya melakukan rebadge dan mengandalkan impor CKD atau IKD tanpa membangun industri parts dalam negeri. Akibatnya, ketika rezim berganti dan dukungan politik melemah, produksinya ikut berhenti karena tidak ada permintaan pasar yang nyata,” lanjutnya.
Lebih jauh, Yannes menjelaskan, kegagalan proyek mobil nasional selama ini juga disebabkan oleh minimnya investasi modal (capex dan opex), absennya riset pasar yang solid, serta governance yang tidak transparan.
Ia menilai, banyak proyek otomotif dalam negeri diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya.
“Selama proyek seperti ini masih diisi oleh nonprofesional dan tidak memiliki struktur bisnis yang sehat, hasilnya pasti lemah. Kita tidak akan mampu bersaing dengan merek-merek global yang sudah puluhan tahun menguasai pasar dalam negeri,” kata Yannes.
Menurut dia, jika pemerintah benar-benar serius ingin membangun mobil nasional, fokusnya harus pada pembangunan industri komponen lokal, penguatan riset dan teknologi.
Serta penciptaan pasar yang kompetitif secara alami, bukan karena intervensi politik atau perlindungan berlebihan.
“Jangan jadikan mobil nasional sebagai simbol politik nasionalisme. Jadikan ia simbol kemandirian industri. Itu jauh lebih bermakna dan berkelanjutan,” pungkas Yannes.
Tag: #pakar #nilai #mobil #nasional #sulit #terwujud #jika #terjebak #agenda #politik #lemah #fondasi #industri