Kesadaran Finansial
Dua personel Propam Polri menjaga barang bukti uang saat konferensi pers terkait penetapan tersangka TPPU hasil judi online di Gedung Bareskrim Mebes Polri, Jakarta, Kamis (16/1/2025). Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menetapkan korporasi PT Arta Jaya Putra dan komisiarisnya berinisial FH sebagai tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari hasil judi online dengan cara membangun Hotel Aruss di Semarang, Jawa Tengah, serta menyita uang Rp1
13:44
7 November 2025

Kesadaran Finansial

BEBERAPA waktu lalu, saya berbincang dengan seorang pedagang bakso di Cikarang. Ia berkata lirih, “Saya kerja tiap hari dari subuh, tapi uangnya habis begitu saja. Mau nabung saja susah, apalagi investasi.”

Kalimat sederhana itu menggambarkan kenyataan banyak orang di negeri ini: bekerja keras, tapi belum punya kesempatan yang sama untuk membuat uang mereka ikut bekerja.

Kita bangsa yang tekun mencari rezeki, tapi belum sepenuhnya paham cara mengelola hasilnya agar tumbuh.

Saya teringat ucapan Sri Mulyani Indrawati yang pernah viral, beberapa tahun lalu. Dengan nada getir, ia mengatakan: “Kalau di negara maju, orangnya malas tapi uangnya bekerja. Sementara di Indonesia, orangnya kerja keras, tapi uangnya tidur di bawah bantal.”

Kutipan itu menohok sekaligus penuh empati. Ia menyinggung paradoks sosial yang jarang kita sadari: rakyat rajin bekerja, tapi belum berdaya secara finansial. Kita kuat di tenaga, tapi lemah di pengetahuan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan inklusi keuangan di Indonesia memang layak diapresiasi.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan indeks inklusi keuangan nasional telah mencapai 80,51 persen pada 2025, naik dari 75,02 persen di 2024.

Bahkan, berdasarkan metode Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI), capaian itu menembus 92,74 persen.

Namun, di balik keberhasilan itu, terselip celah besar. Tingkat literasi keuangan baru 66,46 persen. Artinya, semakin banyak orang punya akses, tapi belum banyak yang paham cara memanfaatkannya.

Seperti memiliki kunci ke rumah kemakmuran, tapi belum tahu cara membuka pintunya. Di kota, literasi keuangan mencapai 70,89 persen, sedangkan di desa hanya 59,60 persen.

Berpendidikan tinggi paham hingga 90,63 persen, sedangkan yang tidak sekolah hanya 43,20 persen.

Akses yang luas belum menjamin pemahaman yang dalam. Inilah fase penting yang kini harus kita lewati: dari akses menuju kesadaran finansial. Persoalan literasi tidak bisa dilepaskan dari sistem yang belum sepenuhnya berpihak.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pernah mengakui secara terbuka: “Sudah puluhan tahun kita nggak bisa betulin sistem perizinan investasi.”

Kalimat itu sederhana, tapi jujur. Selama sistem investasi masih rumit dan berbelit, rakyat kecil akan terus memandang dunia investasi sebagai wilayah yang jauh dan asing.

Padahal, investasi bukan hanya urusan modal, tapi urusan kepercayaan. Dan kepercayaan tumbuh dari sistem yang adil dan mudah diakses.

Selama rakyat belum merasa aman, uang mereka akan tetap “tidur di bawah bantal” seperti kata Sri Mulyani. Bukan karena mereka malas, tapi karena mereka belum percaya bahwa sistem bekerja untuk mereka.

Ironisnya, di tengah upaya pemerintah menyalurkan bantuan sosial untuk menggerakkan ekonomi rakyat, sebagian dana justru “tersesat” di ruang digital yang salah.

Fenomena penyaluran bansos yang berujung pada aktivitas judi online (judol) menjadi alarm serius tentang rendahnya kesadaran finansial masyarakat miskin.

Di berbagai daerah, aparat mencatat bahwa sebagian penerima bantuan tunai justru menggunakannya untuk top up saldo gift atau platform hiburan yang mengandung unsur taruhan digital.

Fenomena ini tidak lahir karena niat buruk semata, tetapi karena ketidaktahuan dan tekanan ekonomi.

Ketika kebutuhan mendesak bertemu dengan iming-iming “uang cepat” di media sosial, banyak orang kehilangan arah.

Platform seperti TikTok, YouTube, hingga aplikasi live streaming kini menjadi ladang baru bagi promosi terselubung. Ada live show yang menampilkan “bagi-bagi gift” atau “spin keberuntungan”, yang sebenarnya beroperasi seperti mesin slot digital.

Anak muda dan masyarakat berpenghasilan rendah sering kali tertarik karena formatnya terlihat aman dan menghibur.

Inilah wajah baru kemiskinan digital: bukan karena tidak punya akses, tapi karena tidak punya kesadaran untuk memilah mana peluang, mana jebakan.

Investasi harus menciptakan nilai, bukan sekadar mengejar cuan. Nilai di sini bukan sekadar moralitas, melainkan keberlanjutan.

Bayangkan jika setiap rupiah yang ditanam diarahkan pada hal-hal produktif: membiayai UMKM, pertanian, energi hijau, pendidikan, dan inovasi digital. Maka uang tak hanya berputar di pasar modal, tapi juga di dapur, sawah, dan ruang belajar rakyat.

Investasi yang memanusiakan tidak hanya menguntungkan pemilik modal, tapi juga memperluas kesempatan.

Ia menjembatani mereka yang punya harapan, tapi kekurangan akses, dengan mereka yang punya sumber daya, tapi kekurangan arah.

Era digital membawa harapan besar. Kini siapa pun bisa berinvestasi mulai Rp 10.000 dari ponsel. Namun, kemudahan tak selalu sejalan dengan pemahaman.

Tanpa literasi dan kepercayaan yang kuat, teknologi bisa memperlebar jurang antara mereka yang paham dan yang tidak.

Negara dan lembaga keuangan perlu hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pendidik. Regulasi yang baik tidak cukup hanya melindungi, tetapi harus mendidik dan memberdayakan.

Karena inklusi sejati tidak lahir dari jumlah aplikasi yang diunduh, tetapi dari rasa percaya rakyat terhadap sistem ekonomi yang adil.

Keberhasilan ekonomi tidak diukur dari banyaknya rekening efek yang dibuka, tetapi dari berapa banyak kehidupan yang berubah karenanya.

Apakah petani di Lombok kini bisa menabung untuk membeli alat pertanian? Apakah ibu rumah tangga di Cirebon bisa menanam Rp 20.000 per minggu dengan tenang?

Atau justru sebagian rakyat miskin kehilangan uang bansosnya di meja judi digital yang dibungkus permainan?

Ketika pertanyaan-pertanyaan itu mulai dijawab “ya,” barulah inklusi investasi menemukan rohnya—bukan sekadar angka, melainkan martabat.

Ketika Purbaya menyerukan perbaikan sistem investasi dan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan agar uang rakyat “tidak tidur,” keduanya sejatinya berbicara tentang kesadaran. Bangsa ini tidak cukup hanya diberi akses, tapi juga harus dituntun untuk memahami risiko dan nilai.

Bahwa uang bisa bekerja tanpa jiwa, tapi hanya manusia yang bernilai yang bisa memberi uang maknanya.

Di tengah derasnya arus digital, kesadaran finansial kini menjadi pagar terakhir agar bansos tidak berakhir di slot judi, dan kerja keras rakyat tidak habis di layar ponsel.

Ekonomi yang beradab tidak diukur dari berapa besar yang dikucurkan, tetapi dari seberapa bijak uang itu digunakan. Mungkin, di situlah makna terdalam dari pembangunan: menjadikan setiap rupiah bukan sekadar alat tukar, melainkan alat untuk menjaga martabat manusia.

Tag:  #kesadaran #finansial

KOMENTAR