Whoosh: Proyek Sosial atau Beban Ekonomi?
PERNYATAAN Presiden ke-7 RI Joko Widodo bahwa Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh adalah “investasi sosial” kembali memicu perdebatan publik.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pun mengamini, sembari menambahkan bahwa Whoosh “sedikit proyek ekonomi”.
Namun, pernyataan itu justru menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: jika benar investasi sosial, mengapa biayanya membengkak dan belum menguntungkan? Mengapa pula muncul silang pendapat antara otoritas, pengamat, dan pelaksana proyek?
KCJB awalnya digadang sebagai simbol kemajuan teknologi transportasi Indonesia. Dengan kecepatan 350 km/jam, jalur sepanjang 142 km ini menjadi kebanggaan nasional sekaligus proyek strategis yang melibatkan kolaborasi Indonesia–China melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Namun, setahun setelah diresmikan, kereta cepat ini masih merugi. Publik pun bertanya-tanya: apakah Whoosh benar investasi sosial, atau justru beban ekonomi baru?
Dalam teori ekonomi pembangunan, infrastruktur publik dapat dikategorikan sebagai social investment ketika manfaatnya lebih besar bagi masyarakat ketimbang keuntungan finansial langsung (Todaro & Smith, 2020).
Pemerintah sering menganggap proyek semacam ini sebagai “public good” — infrastruktur dasar yang menurunkan biaya logistik, mempercepat mobilitas, dan mendorong pertumbuhan wilayah sekitar.
Dari perspektif itu, klaim Jokowi tentang Whoosh sebagai proyek sosial dapat dipahami. KCJB diharapkan memperkuat konektivitas Jakarta–Bandung, mengurangi emisi karbon melalui pergeseran moda transportasi, serta membuka peluang ekonomi baru di kawasan stasiun seperti Tegal luar dan Karawang.
Dalam teori spillover effect, pembangunan besar semacam ini memang dapat menciptakan efek pengganda (multiplier effect) terhadap aktivitas ekonomi di sektor perhotelan, logistik, dan jasa (Hirschman, 1958).
Namun, teori yang sama juga menekankan bahwa keberhasilan spillover bergantung pada perencanaan tata ruang dan integrasi transportasi. Tanpa itu, manfaat sosial hanya akan menjadi slogan.
Aspek ekonomi: Antara harapan dan realitas
Secara ekonomi, KCJB dibiayai melalui kombinasi pinjaman luar negeri dan ekuitas BUMN, dengan nilai proyek mencapai lebih dari Rp 120 triliun. Model bisnis yang digunakan adalah Public–Private Partnership (PPP) — pola yang lazim dalam proyek infrastruktur modern.
Menurut teori Cost–Benefit Analysis (Boardman et al., 2018), proyek ideal harus menyeimbangkan manfaat sosial dan kelayakan finansial.
Sayangnya, data terbaru menunjukkan bahwa jumlah penumpang Whoosh masih jauh di bawah target.
Pengamat menilai biaya operasional dan bunga pinjaman yang tinggi membuat proyek ini sulit mencapai titik impas dalam waktu dekat.
Sejumlah analisis memperkirakan, agar break-even, KCJB perlu melayani lebih dari 30.000 penumpang per hari dengan tingkat okupansi minimal 80 persen. Faktanya, angka tersebut masih berkisar separuhnya (CNBC Indonesia, 2025).
Dari sisi ekonomi makro, kerugian awal ini sebenarnya wajar dalam teori long-term infrastructure return (Estache & Fay, 2021), di mana investasi besar baru menghasilkan manfaat ekonomi dalam jangka panjang.
Namun, publik sulit menerima logika ini jika pembiayaan terus mengandalkan utang dan subsidi pemerintah.
Fenomena silang pendapat antarpejabat tentang KCJB juga mencerminkan dinamika political economy — bahwa proyek besar sering kali menjadi ajang tarik-menarik antara kepentingan politik, nasionalisme ekonomi, dan rasionalitas bisnis (North, 1990).
Jokowi memandang Whoosh sebagai warisan pembangunan yang menunjukkan kemampuan Indonesia sejajar dengan negara maju.
Namun di sisi lain, Menteri Purbaya dan lembaga keuangan seperti Danantara kini dibebani tanggung jawab restrukturisasi utang proyek yang membengkak.
Perdebatan publik pun semakin panas. Sebagian ekonom menyebut klaim “investasi sosial” hanya upaya menjustifikasi proyek yang belum efisien.
Celios, lembaga riset ekonomi, bahkan menyebut Whoosh “bukan investasi sosial, melainkan beban negara” karena tidak memenuhi kriteria efisiensi fiskal (Inilah.com, 2025).
Artinya, istilah “proyek sosial” digunakan lebih sebagai retorika politik daripada analisis ekonomi yang obyektif.
Pertanyaan mendasar yang muncul: apakah proyek infrastruktur harus selalu menguntungkan secara finansial? Jawaban idealnya: tidak selalu.
Menurut teori inclusive development (Sen, 1999), pembangunan yang berkeadilan sosial memang menuntut negara menanggung sebagian risiko demi kemaslahatan publik.
Namun, agar tetap sehat secara fiskal, proyek seperti Whoosh harus diimbangi dengan strategi komersialisasi sekunder — seperti pengembangan transit-oriented development (TOD), penyewaan lahan komersial di stasiun, dan integrasi dengan transportasi lokal.
Pendekatan inilah yang seharusnya diambil pemerintah pascadebat panjang antara “proyek sosial” dan “proyek ekonomi”.
Infrastruktur besar tidak bisa hanya dilihat dari neraca keuangan, tetapi juga dari kemampuan menciptakan shared value — nilai bersama antara negara, investor, dan masyarakat (Porter & Kramer, 2011).
Kasus KCJB Whoosh memberikan pelajaran penting bahwa pembangunan infrastruktur bukan sekadar soal kecepatan kereta, tetapi kecepatan adaptasi kebijakan.
Jika pemerintah mampu mengelola proyek ini secara transparan, efisien, dan terintegrasi dengan pembangunan wilayah, maka predikat “proyek sosial” bisa menjadi kenyataan.
Sebaliknya, jika terus dibiarkan tanpa perencanaan ekonomi jangka panjang, Whoosh berisiko menjadi simbol baru dari megaproject trap — proyek besar yang megah, tetapi membebani generasi berikutnya.
Akhirnya, publik berhak bertanya: apakah Whoosh benar-benar untuk rakyat, atau hanya untuk sejarah?