Mengapa Standar Kemiskinan Bank Dunia dan BPS Bisa Berbeda?
Ilustrasi kemiskinan. Bank Dunia mencatat 60,3 persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin jika dihitung menggunakan standar negara berpendapatan menengah atas()
07:56
15 Juni 2025

Mengapa Standar Kemiskinan Bank Dunia dan BPS Bisa Berbeda?

Bank Dunia memperkirakan lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia, sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan pada 2024.

Angka ini mencolok dibandingkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat tingkat kemiskinan hanya 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024.

Perbedaan tersebut memicu pertanyaan publik, namun menurut BPS, dua angka itu tak saling bertentangan. Penyebabnya terletak pada standar penghitungan yang berbeda.

“Bank Dunia menggunakan standar global berbasis paritas daya beli (PPP), sedangkan kami memakai pendekatan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia,” ujar BPS dalam rilis resminya.

Bank Dunia memiliki tiga ambang garis kemiskinan global. Untuk negara seperti Indonesia yang masuk kategori pendapatan menengah atas (upper-middle income), ambang batasnya sebesar US$6,85 per kapita per hari.

Jika dikonversi menggunakan PPP 2024, angka itu setara Rp5.993,03 per dolar, atau sekitar Rp1,23 juta per kapita per bulan. Dengan patokan ini, 60,3 persen warga Indonesia dikategorikan miskin.

Namun, BPS mengukur kemiskinan berdasarkan cost of basic needs atau kebutuhan dasar.

Komponen makanan dihitung dari konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, sementara komponen nonmakanan mencakup pengeluaran dasar untuk perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Pada September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan Rp595.242 per kapita per bulan.

Tapi karena konsumsi terjadi dalam rumah tangga, bukan individu, angka yang lebih relevan adalah garis kemiskinan rumah tangga.

Dengan rata-rata 4,71 anggota per rumah tangga, angka itu menjadi Rp2.803.590 per rumah tangga per bulan.

Garis kemiskinan juga berbeda antardaerah. Di Jakarta, garis kemiskinan rumah tangga mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur Rp3.102.215, dan di Lampung Rp2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan variasi harga dan pola konsumsi masyarakat setempat.

“Perlu kehati-hatian dalam menafsirkan data kemiskinan. Tak bisa serta-merta menyimpulkan orang dengan gaji Rp 20 ribu sehari pasti miskin,” kata BPS.

 

BPS menekankan, masyarakat yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan belum tentu tergolong sejahtera.

Pada 2024, sekitar 24,42 persen penduduk Indonesia masuk kategori rentan miskin, yaitu mereka yang hidup dengan pengeluaran 1–1,5 kali garis kemiskinan.

Sementara kelompok menuju kelas menengah mencakup hampir separuh populasi, yakni 49,29 persen atau 138,31 juta jiwa.

Artinya, sebagian besar penduduk Indonesia masih berada di wilayah rawan, rentan turun kelas jika terjadi guncangan ekonomi.

Indonesia memang secara teknis telah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas sejak 2023 dengan pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) sebesar US$4.870 per kapita. Namun posisinya masih berada di batas bawah kategori tersebut.

“Kalau pakai standar global, hasilnya memang akan terlihat lebih ekstrem. Tapi yang paling mencerminkan kondisi kita ya garis kemiskinan nasional,” ujar BPS.

Rilis ini menjadi pengingat bahwa statistik tak selalu berbicara hal yang sama tergantung kaca mata yang digunakan.

Tag:  #mengapa #standar #kemiskinan #bank #dunia #bisa #berbeda

KOMENTAR