Saat Negara Terlambat Hadir Saat Bencana: Membaca Penjarahan di Sumatera
Sejumlah warga melintasi jembatan alternatif yang menghubungkan Desa Blang Meurandeh dan Desa Blang Puuk Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Aceh, Minggu (30/11/2025). Pasca putusnya jembatan gantung diterjang banjir bandang pada Rabu (26/11) warga membuat jembatan darurat dari tali jembatan tersebut untuk jalur alternatif.(ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas)
12:34
1 Desember 2025

Saat Negara Terlambat Hadir Saat Bencana: Membaca Penjarahan di Sumatera

BENCANA banjir dan longsor yang melanda Sumatera dalam beberapa hari terakhir, membuka luka yang lebih dalam ketimbang kerusakan fisik yang tampak di permukaan.

Bencana ini memutus akses jalan, menghanyutkan jembatan, melumpuhkan listrik, dan mengisolasi ribuan warga.

Dalam kekacauan itu, rekaman warga mengambil barang dari gudang Bulog dan minimarket menyebar cepat, mengundang reaksi keras dan penilaian moral instan.

Namun, sebelum menyimpulkan, kita perlu memahami konteks yang membentuk perilaku tersebut.

Pengalaman kebencanaan Indonesia menunjukkan bahwa penjarahan sering kali bukan tanda kerusakan moral masyarakat, melainkan gejala dari sistem tanggap darurat yang tidak bekerja.

Pembelajaran Gempa Lombok 2018 memberi gambaran penting: ketika logistik belum tiba dan warga kekurangan makanan, sebagian terpaksa “mengambil (baca: menjarah)” dari warung sekitar, bahkan banyak yang kemudian meminta izin kepada pemiliknya.

Perilaku ini bukan lahir dari niat kriminal, tetapi dari kebutuhan bertahan hidup dalam ruang kosong yang ditinggalkan negara.

Situasi di Sumatera hari ini memiliki pola serupa. Banyak wilayah terjebak tanpa akses darat selama lebih dari 48 jam.

Jalur utama putus, distribusi bantuan tersendat, dan komunikasi publik berjalan lambat. Ketika pasokan pangan tidak masuk, warga kehilangan satu-satunya jaring pengaman yang mereka miliki.

Penjarahan pun muncul bukan sebagai pilihan, tetapi sebagai reaksi terhadap absennya pasokan dasar yang seharusnya dijamin negara.

Lebih jauh, fenomena ini menunjukkan bahwa norma sosial masyarakat tidak serta-merta runtuh.

Warga umumnya mengambil bahan pangan, bukan barang non-esensial. Tidak ada laporan kekerasan atau pembakaran toko.

Seperti pada kasus Lombok, publik tetap menjaga batas etik, meski berada dalam situasi ekstrem. Ini menandakan struktur moral masyarakat tetap bekerja; yang gagal justru struktur layanan publik.

Akar masalahnya terletak pada rapuhnya sistem logistik darurat. Laporan BNPB terkait Lombok pernah menekankan bahwa pendataan lambat, jalur distribusi tidak merata, kapasitas BPBD terbatas, dan koordinasi antarinstansi tidak solid.

Prajurit TNI mengeluarkan bantuan dari helikopter yang terbang dari Jakarta menuju titik bencana banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera. Dok. Instagram Sekretariat Kabinet Prajurit TNI mengeluarkan bantuan dari helikopter yang terbang dari Jakarta menuju titik bencana banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatera. Bencana Sumatera memperlihatkan kembali titik lemah yang sama. Negara belum memiliki mekanisme distribusi alternatif yang mampu beroperasi ketika akses darat lumpuh.

Akibatnya, setiap jam keterlambatan memperbesar tekanan psikologis warga, terutama mereka yang kehilangan rumah dan sumber hidup.

Dalam teori manajemen bencana, kondisi ini dikenal sebagai “vacuum of governance”, ruang kosong saat negara tidak mampu menjalankan fungsi dasar perlindungan.

Ruang kosong itu kemudian diisi oleh tindakan survival yang kadang melanggar hukum, tetapi dapat dipahami.

Label “penjarahan” tidak menjelaskan konteks tersebut; ia hanya menghakimi tanpa memahami penyebabnya.

Apa yang dapat dilakukan negara?

Pertama, memulihkan jalur distribusi harus menjadi prioritas mutlak. Akses darurat dengan kendaraan berat, jembatan sementara, atau distribusi udara harus segera dioperasikan agar arus logistik tidak bergantung pada satu kanal saja.

Kedua, komunikasi publik harus berjalan cepat, jernih, dan konsisten. Kepastian kapan dan di mana bantuan akan dibagikan sering kali lebih menenangkan dibanding bantuan itu sendiri. Ketidakpastian justru memperbesar kepanikan dan mendorong tindakan spontan.

Ketiga, negara harus memperkuat sistem komando dan koordinasi. Ketidaksinkronan antarinstansi dalam fase awal bencana membuat respons melambat.

Padahal, dua hari pertama adalah fase penentu untuk mencegah kerentanan berubah menjadi kekacauan.

Keempat, melibatkan komunitas lokal sebagai aktor utama penanganan awal. Pengalaman Desa Tangguh di berbagai bencana sebelumnya menunjukkan bahwa kapasitas lokal dapat bergerak lebih cepat dibanding struktur birokrasi formal.

Penjarahan di Sumatera bukan semata persoalan kriminalitas. Ia adalah cermin dari sistem tanggap darurat yang belum sepenuhnya mampu melindungi warganya pada jam-jam paling kritis.

Kita tentu tidak membenarkan tindakan mengambil barang tanpa izin, tetapi kita juga tidak boleh menutup mata bahwa tindakan itu terjadi dalam kekosongan pelayanan publik.

Ketika banjir surut dan puing dibersihkan, pekerjaan terbesar negara bukan sekadar membangun kembali jembatan atau rumah, melainkan memastikan tidak ada warga yang harus mengambil risiko di luar batas hanya untuk bertahan hidup. Di situlah ukuran sebenarnya ketangguhan negara.

Tag:  #saat #negara #terlambat #hadir #saat #bencana #membaca #penjarahan #sumatera

KOMENTAR