Bos Google: Tak Ada Perusahaan yang Aman Akan AI Bubble
- Industri kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI) sedang berada dalam fase pertumbuhan yang sangat cepat. Ramai perusahaan teknologi berlomba mengadopsi AI, sementara investasi dari berbagai penjuru terus mengalir tanpa henti.
Namun, di balik antusiasme pertumbuhan tersebut, muncul kekhawatiran bahwa perkembangan adopsi AI dinilai bergerak terlalu agresif sehingga bisa membentuk apa yang disebut sebagai "AI bubble".
AI bubble sendiri merupakan istilah di mana tren AI lagi begitu tinggi, perusahaan berlomba mengadopsi AI dan investor rela mengucurkan dana besar, tetapi perkembangan atau profitnya belum tentu secepat atau sebesar yang dibayangkan.
Situasi ini kerap dianalogikan seperti sebuah gelembung yang terus membesar dan bisa pecah pecah kapan saja saat isinya tidak stabil. Ketika pecah, seluruh isi di dalamnya akan ikut hancur.
Adapun isu soal potensi pecahnya AI bubble kembali ramai dibicarakan setelah dua investor besar, Peter Thiel dan SoftBank, secara bersamaan melepas seluruh saham Nvidia yang mereka pegang.
Langkah ini memicu kegelisahan pasar, mengingat Nvidia yang selama dua tahun terakhir ini dianggap sebagai barometer utama booming kecerdasan buatan global.
Tak ada perusahaan yang "aman"
Google sendiri menjadi salah satu perusahaan yang berada di tengah arus tersebut. Dengan semakin banyak layanan yang mengandalkan teknologi AI, Google juga terdorong untuk memperbesar investasi dan mempercepat pengembangannya.
Dalam wawancaranya dengan outlet media BBC, CEO Google, Sundar Pichai, mengatakan bahwa masifnya perkembangan dan investasi AI membuat semua perusahaan, termasuk Google, berada pada risiko yang sama bila gelembung ini pecah.
“Tidak ada perusahaan yang akan sepenuhnya aman, termasuk kami. Jika terjadi investasi berlebihan, kita tetap harus melewati fase itu dan mengatasinya," ujar Pichai, sebagaimana dikutip KompasTekno dari Reuters, Kamis (27/11/2025).
Pichai menggambarkan bahwa gelombang investasi AI saat ini berada dalam fase "momen yang luar biasa". Ia menyoroti bagaimana investor berbondong-bondong menanamkan modal besar untuk memperluas penggunaan AI di berbagai sektor.
Di Amerika Serikat (AS), kekhawatiran tentang meningkatnya valuasi AI dinilai mulai membebani pasar yang lebih luas. Pembuat kebijakan Inggris bahkan telah menandai risiko munculnya AI bubble.
Induk perusahaan Google, Alphabet, bahkan telah menjanjikan investasi besar di tengah tren tersebut.
Pada bulan September, perusahaan berkomitmen menggelontorkan dana sebesar 5 miliar poundsterling (Rp 110 triliun) untuk pengembangan infrastruktur dan penelitian AI di Inggris.
Komitmen ini juga mencakup pembangunan pusat data (data center) baru dan investasi di DeepMind, laboratorium AI Google yang berbasis di London.
Ilustrasi AI Bubble.
Kendati demikian, di balik pertumbuhan yang cepat tadi, Pichai melihat ada “unsur-unsur yang tidak rasional” di pasar. Fenomena tersebut mengingatkannya dengan masa gelembung dot-com pada akhir tahun 1990-an.
Adapun ketika ditanya bagaimana Google akan menghadapi kemungkinan pecahnya gelembung AI, Pichai mengatakan bahwa perusahaannya cukup yakin dan percaya diri mengatasi badai tersebut.
Sepanjang tahun 2025, saham induk Google, Alphabet, tercatat melonjak sekitar 46 persen. Kenaikan tersebut dipicu oleh keyakinan investor bahwa Google mampu bersaing ketat dengan OpenAI, perusahaan pengembang AI ChatGPT.
Pichai juga mengatakan kepada BBC, dalam wawancara yang dilakukan di kantor pusat Google di California, bahwa Google akan mulai melatih model AI di Inggris.
Ia menyebut, ini menjadi sebuah langkah yang diharapkan Perdana Menteri Keir Starmer bisa memperkuat ambisi London untuk menjadi "negara adidaya" AI ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China.