Pameran Kolektif ”Tempatan” Empu Gampingan, Merespons Lingkungan hingga Aksi Kamisan
MERAWAT INGATAN: Karya 818 milik Laila Tifah. Karya ini merekam Aksi Kamisan yang sudah berlangsung bertahun-tahun. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)
09:32
19 Mei 2024

Pameran Kolektif ”Tempatan” Empu Gampingan, Merespons Lingkungan hingga Aksi Kamisan

Sebanyak 25 seniman perempuan menunjukkan responsnya terhadap berbagai fenomena sosial. Ada yang percaya air bersifat setia untuk kembali ke jalannya. Pun ada yang merekam Aksi Kamisan.

TERPACAK instalasi berbentuk tetesan air di tengah ruang Gedung D Galeri Nasional mulai 30 April hingga Kamis (16/5) lalu. Tetesan air itu seakan menetes dari tembok yang terbuat dari papan kayu, meluncur hingga ke lantai. Yang secara terang benderang menunjukkan bahwa karya ini bertema lingkungan adalah kardus yang dijadikan material karya seni.

Sang seniman KaNA Fuddy Prakoso seakan mengajak semua untuk mari mendaur ulang. Barang tidak terpakai sekalipun bisa menjadi karya seni bernilai tinggi. Dengan begitu, terlihatlah bagaimana keseimbangan antara konsep dan material yang digunakan alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta tersebut. ”Saya ini dalam berkarya berkonsep air. Karena hidup di atas Kali Gelis di Kudus,” ujar KaNA pekan lalu. Sementara itu, tajuk pameran kolektif ini adalah Tempatan.

Kali Gelis merupakan sungai yang membelah Kudus dengan hulu sungainya yang terletak di Puncak Songolikur, Gunung Muria. Sebuah sungai yang begitu bersejarah karena menjadi pintu masuk perdagangan para pedagang Tionghoa dan Gujarat, bahkan sejak zaman perwalian. Konon, Sunan Kudus yang bernama asli Ja’far Shadiq berasal dari Gujarat. Memang banyak versi soal asal muasal Sunan Kudus.

Nama Kali Gelis itu pula yang menginspirasi KaNA untuk menyematkan judul Kaligelis untuk karya seninya. Bahan karya seninya memang sengaja menggunakan kardus. Belakangan, memang karya-karyanya dominan menggunakan material tersebut. ”Seni itu kehidupan. Karena itulah harus menjaga lingkungan. Saya mempergunakan apa yang dimiliki karena keluarga mengonsumsi banyak kardus dari pamper,” tutur KaNA.

Konsep air yang digenggamnya makin kuat setelah belakangan ini Kudus dan Demak kian sering dilanda banjir. Hingga muncul isu kembalinya Selat Muria yang memisahkan antara Demak dan Kudus yang lebih dekat dengan Gunung Muria. ”Saya percaya air itu setia. Akan kembali ke jalannya. Begitu pula dengan Jakarta, yang merupakan sedimentasi dari 13 sungai,” papar KaNA.

PANTANG TERLEWAT: Pengunjung mengabadikan karya-karya yang terpajang di Gedung D Galeri Nasional, Jakarta. Pameran kolektif Tempatan berlangsung sampai 16 Mei lalu. (FEDRIK TARIGAN/JAWA POS)

KaNA merupakan satu dari 27 anggota Empu Gampingan, yakni sebuah komunitas seniman perempuan Jogjakarta. Yang karena kesamaan latar belakang. Semangat berkarya yang sama membaranya, terus menghidupkan seni rupa. ”Kami bernostalgia saling menyemangati satu sama lain untuk terus berkarya,” papar founder Ruang Garasi tersebut.

Untuk pameran kali ini terdapat 25 anggota Empu Gampingan yang terlibat. Dua anggota lainnya izin absen karena berbagai keperluan. ”Pameran ini menunjukkan kengeyelan kami semua untuk terus berkarya,” terangnya.

Karya seni lain yang membetot perhatian berjudul 818 karya Laila Tifah. Judul karya yang dihitung dari jumlah hari Kamis yang telah ditempuh Aksi Kamisan hingga pameran lukisan ini berakhir. ”Memang karya ini menyorot soal Aksi Kamisan,” papar Laila.

Karya ini terdiri atas tujuh fragmen drawing pen di plastik dalam kotak kaca. Ketujuhnya menggambarkan simbol-simbol Aksi Kamisan, dari payung hitam, pagar Istana Negara, hingga Ibu Sumarsih. Melihat satu per satu fragmen itu menunjukkan sensasi yang estetis, tetapi bernuansa sendu. Mungkin karena penggunaan warna hitam yang tunggal dalam karya.

Namun, yang menonjol adalah efek meruang dari karya seni ini. Ada objek yang terkesan jauh, ada yang menengah dan begitu dekat. Memandangnya menjadi begitu mengesankan. ”Saya memang merespons kembali Aksi Kamisan, dulu saya pernah melukis Aksi Kamisan pada 2013, kini dalam media yang berbeda,” urai Laila.

Menurut dia, untuk membuat karya ini, diperlukan waktu satu bulan. Namun, yang paling lama adalah membuat efek meruang. Setelah drawing selesai, kalau belum puas, plastik dalam kotak kaca itu dibongkar ulang. ”Tapi, tetap asyik,” ujarnya, lantas tertawa.

Dalam karya ini memang Laila ingin merekam bagaimana seorang Ibu Sumarsih begitu setiap menjalankan perjuangannya dengan Aksi Kamisan. ”Sebanyak 818 hari kami terus berjuang kendati belum membawa hasil,” kata Laila. (idr/c12/dra)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #pameran #kolektif #tempatan #empu #gampingan #merespons #lingkungan #hingga #aksi #kamisan

KOMENTAR