Aneka Jalan Mimpi
Oleh NIRWAN DEWANTO, Kurator
---
SURABAYA layak membanggakan diri dengan sebuah pameran seni rupa kontemporer yang besar dan konsisten serta berskala nasional. Pameran semacam ini bukan hanya mesti setara dengan pameran-pameran sejenis di Jogjakarta, Jakarta, dan Bali Selatan, tetapi juga harus mampu membuat Surabaya, pada suatu saat kelak, menjadi kota yang bukan hanya besar dalam skala ekonomi, tapi juga kota kosmopolit yang ”wajar” sebagaimana Seoul, Taipei, bahkan Tokyo, kota-kota yang maju dalam kehidupan kesenian dan keilmuan.
Sejak awal tahun ini, saya bersama Rambat (pemilik Jagad Gallery di Bali dan Jakarta) dan Asmudjo Jono Irianto (kurator, seniman, dan pengajar di ITB) mengolah gagasan tentang pameran besar itu. Kami bermimpi dan berkeringat. Dan mimpi ini segera terlaksana. Pameran yang kami beri nama ARTSUBS 2024 akan dibuka pada 26 Oktober ini dan berlangsung hingga 24 November nanti di Pos Bloc Surabaya di kawasan Jembatan Merah. Dengan menyertakan karya-karya lebih dari 150 seniman rupa, pameran ini mengusung tema Ways of Dreaming, atau Aneka Jalan Mimpi, dengan nalar sebagai berikut.
Bermimpi adalah cara kita memperluas kenyataan. Sesungguhnya masa kini bukan hanya satu, tapi beraneka. Begitu pula masa depan. Masa kini kita, misalnya, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi yang tak mencapai enam persen, tetapi juga takhayul yang berimpit dengan pusaka moyang dan berbagai algoritma yang menyokong maupun yang menyesatkan. Masa depan kita bukan hanya perjalanan kereta api Jakarta–Surabaya yang hanya dua jam, tetapi juga bencana iklim yang bisa membawa gagal panen di mana-mana dan segenap ilusi untuk mencapai zaman emas pada 2045. Dan seterusnya. Kita terlalu percaya kepada modernisasi (pembangunan, kesetaraan di antara bangsa-bangsa, kejayaan dengan ilmu dan teknologi), namun keyakinan akan kemajuan, progres, ini masih harus terantuk tradisi, warisan sejarah dan berbagai arus primordial. Bermimpi adalah merangkul pelbagai perihal yang saling bertentangan itu, bukan pasrah menerima apa yang lurus-lempang.
Seni rupa kontemporer meletakkan diri dalam kekinian sebab ia tidak membabi buta percaya kepada progres. Ia memungut residu yang dihasilkan berbagai orde yang mau menguasai hidup kita, sejak orde politik, orde sopan santun, hingga orde internet. Ia percaya kepada rasionalitas, tetapi juga hidup bersama kegilaan dan ketidaknormalan di sebaliknya. Itulah sebabnya ia bisa berlaku seolah-olah seni modern, tetapi juga mahir mengadopsi kebudayaan massa. Ia bisa mengamalkan kebebasan dan otonomi (sebab kita percaya akan kesetaraan di depan hukum dan hak asasi manusia), tetapi juga menantang keaslian dan cap jari (sebab ”manusia sudah berakhir” menurut filsafat pasca-humanisme maupun teori evolusi). Ia bisa politis karena kita tak bisa menghindari politik yang mengepung kita seperti udara; tetapi ia juga suka menjangkau kekosongan, sunyata atau nirada, karena ia mau mengoreksi polusi, kelimpahan, dan kelimbahan.
Bermimpi bisa memberi makna yang mencerahkan, sebagaimana pada frasa I have a dream dalam pidato Martin Luther King atau fantasi tentang negara yang ”adil dan makmur” dalam Pembukaan UUD 1945. Kemajuan, progres, adalah mimpi yang kelewat besar bagi semua negara-bangsa, Indonesia tak terkecuali, karena ketimpangan ekonomi di sirkuit global entah kapan berakhir. Jelaslah bahwa mimpi yang positif seperti itu terlalu normal, too much normalized, bahkan bisa menyesatkan. Mesti ada mimpi yang bersifat kritis, bahkan negatif. Seni rupa kontemporer, yang mengatakan kekinian kita, our contemporaneity, adalah beraneka mimpi, beragam cara bermimpi, yang membuat kita mencari sudut-sudut lain untuk mengganggu segala apa yang telanjur disebut kenyataan. Dengan aneka jalan mimpi, kita bisa bermain-main seperti kanak-kanak, childlike, supaya kita bebas dari apa yang dilolohkan oleh ideologi dan komunikasi massa; bisa juga berlaku kritis kepada diri sendiri dan sekitar, supaya kita tak menyerah begitu saja kepada godaan modernisasi. Various ways of dreaming, itulah peta jalan kita bersama seni rupa kontemporer Indonesia.
Untuk menjadi setara dengan bangsa-bangsa maju di dunia, Indonesia harus punya mimpi yang besar. Bukankah selama ini mimpi kita masih tanggung-tanggung saja? Di Surabaya, kota kedua terbesar di Indonesia, mimpi ini harus besar sekali dan sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang. Itulah yang ditawarkan ARTSUBS 2024 dengan sungguh-sungguh. (*)