Bukan Hak Angket, Setara Institute Nilai Pembenahan Polri Bisa Dilakukan Melalui Hal-hal Ini
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/11/2024). Setara Institute melakukan penelitian terkait pembenahan dan perbaikan institusi Polri berdasarkan identifikasi berbagai masalah yang dikeluhkan masyarakat. 
13:57
13 Desember 2024

Bukan Hak Angket, Setara Institute Nilai Pembenahan Polri Bisa Dilakukan Melalui Hal-hal Ini

Setara Institute melakukan penelitian terkait pembenahan dan perbaikan institusi Polri berdasarkan identifikasi berbagai masalah yang dikeluhkan masyarakat.

Adapun riset tersebut bertajuk 'Desain Transformasi Polri untuk Mendukung Indonesia Emas 2045 yang diseminasi pada Kamis (12/12/2024) kemarin.

Apalagi, belakangan Polri kerap disorot karena ada sejumlah peristiwa khususnya para anggota yang bermasalah. 

Peneliti senior Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan dalam riset tersebut, terdapat puluhan aksi yang bisa menjadi pedoman untuk transformasi Korps Bhayangkara.

"Tidak ada lembaga negara mana pun yang sempurna. Atas itu, kami menawarkan 50 aksi transformasi Polri untuk mendukung Visi Indonesia Emas 2045," kata Ismail dalam keterangannya, Jumat (13/12/2024). 

Dari puluhan aksi itu, kata Ismail, di antaranya mulai Revisi Undang-Undang (RUU) Polri, revisi standar operasional prosedur (SOP) hingga penguatan pengawasan baik internal maupun eksternal.

"Kompolnas (sebagai pengawas eksternal) tidak hanya melakukan pengawasan pasif, tapi juga melakukan pengawasan aktif," ungkapnya.

Ismail mengatakan RUU Polri ini nantinya diperlukan untuk penguatan kelembagaan, akuntabilitas serta mendengarkan partisipasi masyarakat luas.

"Jadi kritik harus ditangkap sebagai partisipasi masyarakat, jangan malah sebaliknya. Kami juga menilai meritokrasi harus dijalankan, karena jika tidak berpotensi ganggu soliditas Polri," ungkapnya. 

Selanjutnya, pelatihan terkait hak asasi manusia (HAM) dan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Polri harus ditingkatkan.

Di sisi lain, munculnya wacana agar Polri ditempatkan di bawah TNI atau Kemendagri banyak menimbulkan pro maupun kontra.

Menurut Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sarah Nurani Siregar, wacana dari insitusi politik ini sejatinya harus direspon dengan hati-hati sehingga mampun menangkap makna dari gagasan tersebut secara utuh.

Diketahui wacana itu diusulkan oleh pihak PDI Perjuangan karena menilai adanya intervensi Polri dalam sejumlah penyelenggaraan Pilkada 2024, sehingga calon yang didukung partai berlambang kepala banteng itu kalah. 

"Mungkin kalau dalam logika riset ini juga harus kita refleksikan lagi apakah ketika di bawah kementerian, itu tidak ada lagi terjadi (intervensi politik)?" ungkap Sarah. 

Menurut Sarah, penempatan posisi Polri juga harus mencakup tata kelola lembaganya.

"Ini cara merespons persoalan secara kontekstual tidak jangka panjang, itu persoalan pemilu," jelasnya.

Adapun berdasarkan studi literatur maupun riset yang dilakukan BRIN, upaya penempatan Polri di bawah TNI maupun Kemendagri, bertentangan dengan reformasi keamanan yang sejak dulu pihaknya kawal. 

"Kalau mau membenahi Polri bukan soal di bawah lembaga apa. Tapi lebih kepada pengawasannya diperkuat, model rekrutmennya yang kita benahi, pembenahan kulturnya," tuturnya. 

Muncul Usulan Hak Angket Terhadap Polri

Amnesty International Indonesia merekomendasikan agar DPR menggunakan hak angket atau hak interpelasi guna menyelidiki rentetan kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Januari hingga November 2024.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, hal itu karena pihaknya ingin mengingatkan DPR memiliki hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.

Usman menangkap, DPR RI belakangan ini terkesan menjadi pihak yang membenarkan apa yang salah dari pihak kepolisian. 

Ia memandang DPR saat ini adalah bagian dari pengawasan kepolisian yang paling lemah.

"Jadi hak angket, hak interpelasi itu sangat penting untuk diingatkan saat ini karena yang paling lemah dalam pengawasan kepolisian adalah di DPR," ungkapnya saat diskusi di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta pada Senin (9/12/20204).

Ia menjelaskan, paling tidak ada lima pengawasan kepada kepolisian.

Pertama, lanjut dia, pengawasan internal di kepolisian baik melalui Divisi Propam, Irwasum, Paminal, Irwasda, atau Karo Wasidik.

Kedua, lanjutnya, pengawasan eksekutif di tingkat presiden termasuk pengawasan di bawah Kompolnas.

Ketiga, kata dia, pengawasan di DPR atau pengawasan legislatif.

 Keempat, lanjutnya, adalah pengawasan oleh institusi yang independen seperti Komnas HAM bila pihak kepolisian mengakibatkan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. 

Dan kelima, pengawas dari lembaga-lembaga NGO independen.

"Kenapa rekomendasi kami dominan kepada DPR itu karena fungsi pengawasan legislatif, fungsi pengawasan politik dari Komisi XIII itu belum terlihat efektif dalam mengawasi kepolisian," ujarnya.

 

Editor: Muhammad Zulfikar

Tag:  #bukan #angket #setara #institute #nilai #pembenahan #polri #bisa #dilakukan #melalui

KOMENTAR