



Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas
“Terlalu banyak pilihan membunuh pilihan.” — Alvin Toffler
MAHKAMAH Konstitusi (MK) mengetuk palu dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024: mulai Pemilu 2029, pemilu nasional dan daerah dipisah.
Putusan itu bukan sekadar urusan teknis atau penghematan logistik, melainkan tanda bahwa kita tengah meninjau ulang cara kita berdemokrasi.
Apakah ia cukup manusiawi? Apakah ia sungguh-sungguh mewakili kehendak rakyat?
Padahal, ketika sistem pemilu serentak diberlakukan, ia dilandasi oleh gagasan mulia: sinkronisasi.
Dalam sistem otonomi daerah, dibayangkan bahwa jika kepala daerah dan pemimpin nasional dipilih bersamaan, maka awal masa jabatan mereka akan serempak, sehingga perencanaan pembangunan pusat dan daerah dapat diharmoniskan sejak awal.
Presiden dan kepala daerah, ibarat dirigen dan para pemusik, memulai partitur pembangunan pada waktu yang sama, menyanyikan lagu yang sama dalam irama yang utuh.
Namun, sejarah demokrasi seringkali bergerak zig-zag. Realitas di lapangan tak seindah rancangan kebijakan di atas kertas.
Alih-alih tercipta sinergi, justru muncul kelelahan, kekacauan teknis, dan penurunan kualitas pemilu. Apa yang semula terlihat rasional, perlahan-lahan berubah menjadi beban kolektif.
Demokrasi yang melelahkan
Sejak 2019, rakyat Indonesia diminta memilih presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu hari yang padat.
Demokrasi menjadi ujian nasional lima mata pelajaran, dengan soal-soal panjang dan waktu terbatas. Kertas suara membentang seperti kalender dinding, nama-nama calon membingungkan, logo partai mirip-mirip, dan waktu mencoblos terlalu cepat.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyebut gejala kejenuhan pemilih sebagai ancaman serius. Fokus pemilih terpecah pada calon yang terlalu banyak, sementara waktu mencoblos sangat terbatas.
Suara rakyat kehilangan ketajaman. Pilihan politik tak lagi ditentukan oleh ide dan gagasan, melainkan oleh kelelahan dan ketidaktahuan.
Tragedi pun hadir. Data Pemilu 2019 mencatat lebih dari 894 petugas KPPS meninggal karena kelelahan, dengan lebih dari 5.000 lainnya jatuh sakit. Demokrasi tak seharusnya menuntut harga semahal itu.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut masa kerja KPU menjadi tidak efisien. Dalam lima tahun masa jabatan, KPU hanya bekerja maksimal selama dua tahun. Selebihnya tenggelam dalam rutinitas administratif.
Negara menyusun pesta politik yang terlalu besar untuk ditelan dalam satu hari. Sistem yang awalnya dianggap efisien ternyata tidak efektif.
Namun, keputusan memisahkan pemilu nasional dan daerah juga bukan tanpa residu masalah. Pertanyaan mendasar kembali menggema: bagaimana kelak pemerintah pusat mengorkestrasi pembangunan daerah jika kepala daerah tidak lagi dilantik bersamaan dengan presiden?
Risiko fragmentasi agenda pembangunan menjadi nyata. Pemerintah pusat bisa saja meluncurkan prioritas nasional saat sebagian kepala daerah baru menjabat, sementara sebagian lainnya mendekati akhir masa tugas.
Sinkronisasi perencanaan bisa menjadi rumit—seperti memainkan lagu yang sama dengan para pemain musik yang masuk ke panggung pada waktu berbeda.
Namun, di sinilah tantangan baru itu seharusnya dijawab dengan inovasi tata kelola. Harmonisasi tak harus diseragamkan waktunya, tetapi disamakan arah dan visi strategisnya.
Lewat perencanaan jangka menengah, pembagian peran yang lebih presisi, dan sistem insentif-fiskal yang terukur, pusat dan daerah tetap dapat menyatu dalam satu irama, meski berbeda tempo.
Negara-negara federal seperti Jerman dan Kanada telah membuktikan bahwa sinkronisasi tak bergantung pada jadwal Pilkada. Yang lebih penting adalah forum dialog antar-pemerintah yang rutin, data bersama yang dapat diakses lintas sektor, dan akuntabilitas program lintas level.
Dalam konteks Indonesia, penguatan RPJMN dan RPJMD yang terintegrasi dan disupervisi dapat menjadi solusi.
Menurut International IDEA (2023), hanya 16 dari 200 negara yang melaksanakan pemilu nasional dan lokal secara serentak penuh.
Di Amerika Serikat, pemilu presiden dan midterm elections dipisah agar rakyat bisa fokus pada isu berbeda.
Di Jerman, pemilu Bundestag dan Landtag dilakukan terpisah demi efektivitas partisipasi. Di sana, kualitas lebih penting daripada kecepatan.
Kita bukan satu-satunya yang merasakan beban serentak. Kita hanya perlu lebih jujur membaca napas demokrasi kita sendiri.
Putusan MK ini adalah bentuk jeda dalam demokrasi kita yang terengah-engah. Dengan memisahkan pemilu nasional dan daerah, kita memberi kesempatan kepada rakyat untuk kembali memaknai suara mereka.
Bukan hanya mencoblos, tapi memahami, menimbang, dan mempercayai.
Tentu, tantangan anggaran akan muncul. Namun, demokrasi yang sehat memang tak pernah murah. Yang murah biasanya adalah populisme murahan, atau otoritarianisme yang menyamar sebagai efisiensi.
Mungkin dari lima kotak suara yang membingungkan itu, kita sedang membuka jalan menuju satu hal yang lebih penting: kesadaran rakyat yang tidak kelelahan, tapi tercerahkan.
Tag: #pemilu #pusat #daerah #lagi #serentak #mengurai #beban #mencari #napas