Omzet Puluhan Juta dari Tapis Lampung, Jan Ayu Buktikan Budaya Bisa Gerakkan Ekonomi
Pemilik UMKM Jan Ayu, Linda Soedibyo, saat mengikuti pameran pada acara Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 di Lampung City Mall, Bandar Lampung, Selasa (24/6/2025)(KOMPAS.com/ISNA RIFKA SRI RAHAYU)
07:12
30 Juni 2025

Omzet Puluhan Juta dari Tapis Lampung, Jan Ayu Buktikan Budaya Bisa Gerakkan Ekonomi

- Linda Soedibyo, nama di balik merek UMKM Jan Ayu, memiliki misi untuk memperkenalkan wastra tapis Lampung ke seluruh Indonesia hingga mancanegara.

Kisah perempuan pensiunan Bank Dunia ini berawal dari mimpinya menjadi sociopreneur yang dapat memberikan dampak bagi masyarakat sekitar.

Di sisi lain, Linda yang lahir di Tanjung Bintang, Lampung Selatan, juga bertekad dapat mewariskan budaya Lampung ke generasi muda.

Kemudian, mimpi dan tekad itu Linda wujudkan ketika dia harus merawat ibunya di Kota Metro, Lampung.

Berbekal kecintaannya pada tapis Lampung serta kegemarannya menggambar dan memadu-padankan pakaian, pada November 2018, dia mendirikan Jan Ayu, UMKM yang bergerak di bidang fashion.

"Sebetulnya saya ini pensiunan World Bank, dulu bekerja di Jakarta. Kemudian memutuskan untuk pulang ke Lampung untuk menjaga ibu. Setelah itu mau kembali lagi ke Jakarta, kok agak-agak enggan gitu ya, karena ibu sudah berpulang. Jadi saya memutuskan untuk bergerak membangun usaha," ujar Linda ketika ditemui di sela pameran FESyar Sumatera 2025 di Lampung City Mall, Bandar Lampung, Selasa (24/6/2025).

Namun, usaha yang dibangunnya bukan sekadar bisnis. Bagi Linda, Jan Ayu adalah wadah untuk berkarya dan melestarikan nilai-nilai budaya Lampung agar lebih dikenal generasi muda dan masyarakat luas.

Tapis Tak Lagi Hanya Untuk Upacara Adat

Tapis Lampung adalah kain tradisional khas Lampung yang ditenun dari benang kapas dan dihias dengan sulaman benang emas atau perak.

Tapis Lampung, yang secara tradisional digunakan untuk upacara adat, pernikahan, dan momen-momen sakral lainnya, di tangan Linda dapat dimodifikasi menjadi pakaian yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.

"Kalau di Lampung itu kain tapis kan sangat keramat, jadi bisa turun-temurun dan puluhan tahun. Saya waktu itu berpikir, kalau kita satu keluarga cukup punya dua kain tapis yang usianya 40 tahun, nanti perajin tapis tidak akan dapat penghasilan karena permintaan tidak bertambah," cerita Linda.

Linda kemudian berinovasi dengan membuat tapis yang tidak menggunakan benang emas agar harganya tetap terjangkau dan cocok untuk digunakan sehari-hari.

Berbekal dari ide itu, Jan Ayu akhirnya memproduksi koleksi pakaian jadi atau pakaian sehari-hari yang tetap menjunjung filosofi tapis namun lebih praktis dan modern.

"Seperti misalnya ini tapis motifnya Raja Medal, ini sebenarnya dulu dipakai untuk upacara adat, pernikahan, upacara pengangkatan atau coronation. Nah, sebenarnya secara filosofis kita juga bisa terjemahkan ini sebagai wastra yang digunakan untuk melangkah kepada hal yang lebih baik, hijrah. Hal-hal seperti ini yang layak untuk diceritakan kepada anak cucu kita. Tidak saja sebagai sebuah cerita warisan leluhur, tapi juga sebagai mimpi bahwa setiap manusia harusnya bergerak ke arah yang lebih baik," papar dia.

Salah satu koleksi Jan Ayu yang cukup menarik bernama Millenisence, yang menampilkan aksara Lampung yang mirip dengan tulisan kanji Jepang.

Pada koleksi ini, Linda mendesain pakaian dengan motif kata-kata seperti 'integritas' dan 'berani jujur'. Koleksi ini terinspirasi dari pengalaman Linda saat bekerja sebagai Consultant for Governance and Anti-Corruption di Bank Dunia.

"Kami setiap menciptakan karya fashion selalu ada pesan moral yang kita sampaikan," kata Linda.

Kemitraan Jadi Solusi Untuk Memulai Usaha

Linda mengakui, dia tidak menggunakan modal besar untuk mendirikan Jan Ayu, yakni hanya sebesar Rp 5 juta.

Namun, modal yang tidak besar itu dia siasati dengan menggandeng mitra dari kalangan penjahit maupun perajin.

Jadi, Linda tinggal membuat desain pakaian, menyiapkan kain tapis dan benang. Kemudian, proses pengerjaannya dilakukan oleh mitra penjahit dan perajin.

Dengan skema bisnis kemitraan ini, maka Linda dapat menekan ongkos pegawai serta alat produksi seperti mesin jahit, mesin obras, maupun mesin bordir.

"Jadi Jan Ayu tidak punya pegawai yang banyak, tapi punya mitra. Yang artinya, itu juga secara ekonomis buat saya pribadi ini tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar. Itu juga membuat saya waktu itu tidak terlalu kesulitan untuk memulai usaha," jelasnya.

Ilustrasi - Pelaku UMKM Tapis Lampung sebagai salah satu sasaran penyaluran KUR UMKM. Dok. Antara/Ruth Intan Sozometa Kanafi Ilustrasi - Pelaku UMKM Tapis Lampung sebagai salah satu sasaran penyaluran KUR UMKM. Namun, memang Linda mengakui tidak mudah untuk menemukan penjahit dan perajin yang sesuai dengan standar kualitas Jan Ayu.

"Awalnya coba-coba memang. Coba dulu, tidak cocok. Karena kan model cuttingan-nya mungkin tidak sama dengan yang saya inginkan atau standar saya. Ya, beberapa kali berubah (mitranya) tapi kemudian menemukan yang cocok," ucapnya.

Tidak hanya itu, Linda melibatkan generasi muda dalam pengolahan limbah kain menjadi baju-baju demi mendukung komitmennya terhadap menjaga lingkungan.

Semakin Maju Setelah Jadi UMKM Binaan BI

Dengan dukungan kurasi dan pelatihan dari Bank Indonesia (BI), Linda mengaku produk Jan Ayu kini jauh lebih siap bersaing di kancah nasional.

Dari BI, Linda mendapatkan banyak masukan berharga mengenai tren warna, teknik jahit, hingga cara meningkatkan kualitas produk.

BI juga memberikan dia akses ke berbagai acara nasional seperti Karya Kreatif Indonesia (KKI) dan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF), bahkan acara di luar negeri seperti Gastrobeat di Singapura dan Halal Summit di Turki.

Alhasil, kini pembeli produk Jan Ayu tidak hanya di Lampung dan Indonesia, tetapi sampai ke Georgia, Nicaragua, Australia, dan Malaysia.

"Saya ketemu BI itu awal-awal memulai usaha ini. Benar-benar dengan BI saya merasa sangat terbantu. Kalau saya sendirian pasti tidak bisa, tidak secepat itu setidaknya," tuturnya.

Linda mengaku saat ini omzet rata-rata bulanannya sekitar Rp 50 juta dengan harga produk sekitar Rp 500.000 hingga Rp 3,5 juta per potong.

Bahkan, Linda bisa mengantongi omzet lebih dari itu ketika mendapat pesanan seragam dari instansi pemerintahan.

Namun, sejak adanya efisiensi, pesanan dari instansi menjadi berkurang. "Kalau yang rutin sih sekitar 50-an potong yang kita produksi. Kecuali ada permintaan dari instansi yang seragam, itu bisa sampai ratusan potong," kata Linda.

Tag:  #omzet #puluhan #juta #dari #tapis #lampung #buktikan #budaya #bisa #gerakkan #ekonomi

KOMENTAR