Pengamat Kritik Kebijakan Kemasan Rokok Polos: Petani dan Pekerja Tidak Dilindungi, Industri Ditekan
Rancangan peraturan ini dinilai dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap industri hasil tembakau (IHT) dan perekonomian nasional. Anggota Komisi IX DPR RI Nurhadi beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa sebetulnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah memutuskan untuk menunda Rancangan Permenkes tersebut. Namun, nyatanya polemik atas regulasi tersebut masih terus bergulir.
Sebagai upaya untuk memahami polemik yang ada, Tribunnews.com menggelar forum diskusi Ruang Rembuk bertajuk ‘Dampak Polemik Regulasi Nasional terhadap Ekosistem Pertembakauan Jawa Tengah’ di Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (14/11/2024).
Pada kesempatan tersebut, Dwijo berharap regulasi ini dapat dikaji ulang oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar lebih tepat sasaran dan bisa berimbang kepada ekosistem pertembakauan.
Menurutnya, regulasi penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes ini akan menekan IHT sehingga turut berdampak pada ekosistem pertembakauan termasuk petani, tenaga kerja, hingga sektor distribusi, ritel, serta industri kreatif.
“Penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini mematikan kreativitas kita, padahal kita punya undang-undang HAKI. Jadi ini berbahaya. Kalau tujuan Rancangan Permenkes ini untuk menekan jumlah perokok, maka harus dikaji kembali agar lebih adil dan berimbang kepada ekosistem pertembakauan di Jawa Tengah,” paparnya.
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, Dwijo juga menyoroti minimnya perlindungan terhadap petani tembakau. Ia mengambil contoh UU No.19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Menurutnya, di lapangan UU tersebut tidak menghasilkan perlindungan untuk para petani tembakau, khususnya di Jawa Tengah yang memiliki lebih dari 450.000 petani tembakau.
Ia menjelaskan, dengan luas lahan tembakau 18.150 hektare di Jawa Tengah, ratusan ribu petani tembakau menggantungkan hidupnya pada industri ini tanpa perlindungan dari pemerintah.
“Sama sekali tidak ada perlindungan kepada para petani. Di hulu sangat lemah untuk perlindungan petani tembakau, di hilir perusahaan juga ditekan terus oleh pemerintah. Jadi PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes ini untuk apa?” tanya Dwijo.
Rancangan Permenkes Berdampak Pada Berbagai Pelaku Industri
Keresahan akan dampak regulasi ini terhadap industri tembakau turut diakui oleh Sekretaris Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah Nanang Teguh Sambodo.
“Kalau kita lihat tanaman tembakau hubungannya dengan rokok. Jawa Tengah kebetulan adalah sentra tembakau terbesar selain Jawa Timur. Persebarannya ada di Solo Raya, Boyolali hingga Sragen, bahkan yang paling besar itu di Boyolali, dengan 3.500 hektare,” terangnya.
Nanang berharap pemerintahan baru Prabowo-Gibran bisa kembali meninjau aturan yang memberatkan industri dengan memperhatikan mata pencaharian para petani, khususnya di sektor tembakau.
Sedangkan Dwijo menambahkan, pemerintah semestinya tidak merancang peraturan yang justru makin menekan ekosistem pertembakauan dari hulu hingga hilir, terlebih industri tembakau merupakan salah satu sektor penyumbang paling besar terhadap APBN.
“Cukai hasil tembakau tahun 2023 sebesar Rp213,48 triliun. APBN sekitar Rp2.000 triliun. Hampir 10 persen dari cukai rokok. Tapi kenapa industri ini justru ditekan dengan berbagai kesulitan?" ujarnya.
Sebagai informasi, Rancangan Permenkes merupakan rencana aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Rencana aturan tersebut mendapatkan penolakan secara masif dari berbagai pemangku kepentingan di industri tembakau, mulai dari petani, pekerja, pedagang, asosiasi industri, hingga banyak pakar karena dinilai berpotensi menciptakan ancaman gelombang PHK, meningkatkan peredaran rokok ilegal, hingga merugikan penerimaan negara.
Hal ini pun berujung menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Meskipun kebijakan tersebut ditujukan untuk kesehatan masyarakat, namun amat disayangkan penyusunannya tidak disertai dengan pemahaman atas realitas di lapangan dan proses kajian.
Tidak hanya itu, proses perumusan kebijakan tersebut juga dinilai tidak sesuai peraturan dan perundangan karena tidak transparan dan tidak memenuhi aspek partisipasi bermakna. Pemangku kepentingan terdampak di ekosistem pertembakauan dan berbagai kementerian lembaga banyak yang tidak dilibatkan dalam prosesnya.
Adapun sejumlah aturan yang menjadi polemik dalam kebijakan tersebut, yaitu rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter serta larangan iklan luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Tag: #pengamat #kritik #kebijakan #kemasan #rokok #polospetani #pekerja #tidak #dilindungi #industri #ditekan