Amnesty Internasional Sebut Pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang Bilang Peristiwa 98 Bukan Pelanggaran HAM Lukai Keluarga Korban
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra (kiri) dan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia (kanan) melambaikan tangan saat tiba di kediaman Presiden Terpilih Prabowo Subianto, Kertanegara, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024). (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)
08:40
22 Oktober 2024

Amnesty Internasional Sebut Pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang Bilang Peristiwa 98 Bukan Pelanggaran HAM Lukai Keluarga Korban

  - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra terkait peristiwa 1998 bukan bentuk pelanggaran HAM berat menuai kritik. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menyatakan, tidak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia (HAM).   Apalagi, dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM. Itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.   Usman menegaskan, pernyataan Yusril mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu, yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.    "Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis," kata Usman kepada wartawan, Selasa (22/10).   Berdasarkan hukum internasional, lanjut Usman, setidaknya ada empat kejahatan paling serius. Diantaranya yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma.   Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Sehingga sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil.    "Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut. Sayangnya tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM," papar Usman.   Ia menegaskan, pernyataan Yusril bukan hanya tidak akurat secara historis dan hukum, tapi juga menunjukkan sikap nir empati pada korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum.    Sebab, tragedi Mei 1998 menyisakan luka mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta akibat kekerasan massal, perkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa pada saat itu.    "Terlebih ini disampaikan pada hari kerja pertama Menko Yusril. Ini sinyal buruk pemerintahan baru yang mengaburkan tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu," ujar Usman.   "Pemerintahan yang lama juga telah pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM yang berat, termasuk Tragedi Mei 98," sambungnya.   Lebih lanjut, Usman mengurai kewenangan penentuan apakah sebuah peristiwa menurut sifat dan lingkupnya tergolong pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang, bukan oleh presiden apalagi menteri. Namun oleh pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM.    "Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas," pungkasnya.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #amnesty #internasional #sebut #pernyataan #yusril #ihza #mahendra #yang #bilang #peristiwa #bukan #pelanggaran #lukai #keluarga #korban

KOMENTAR