Jaksa Dicokok KPK, Cermin Gagalnya Reformasi Kejaksaan?
Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah jaksa terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Banten dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan pada 17-18 Desember 2025.
KPK menetapkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara, Albertinus P Napitupulu, Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Asis Budianto, serta Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara, Taruna Fariadi, sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap sejumlah perangkat daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada Sabtu (20/12/2025).
Sementara terhadap OTT KPK di Banten, KPK menyerahkan jaksa yang terjaring kepada Kejaksaan Agung.
Alasannya, Kejagung mengeklaim lebih dulu menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) dan menetapkan jaksa tersebut sebagai tersangka.
Reformasi kejaksaan gagal
Rentetan kasus tersebut memicu kritik keras dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai reformasi di tubuh kejaksaan belum berjalan efektif di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar (St) Burhanuddin.
ICW mencatat, sejak St Burhanuddin menjabat sebagai Jaksa Agung pada 2019, setidaknya ada tujuh jaksa yang ditangkap karena terlibat kasus korupsi.
“Sejak St Burhanuddin diangkat sebagai Jaksa Agung pada 2019, terdapat tujuh jaksa yang ditangkap akibat melakukan korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung gagal melakukan reformasi Kejaksaan,” kata Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, dalam keterangan tertulis, Minggu (21/12/2025).
Salah satu sorotan ICW adalah penanganan kasus jaksa yang terjaring OTT KPK di Banten.
Wana menilai, keberadaan pimpinan KPK yang memiliki latar belakang sebagai jaksa berpotensi memunculkan persoalan dualisme loyalitas.
Gejala tersebut, menurut dia, terlihat ketika KPK menyerahkan penanganan berkas perkara jaksa hasil OTT kepada Kejaksaan Agung.
“Padahal, KPK memiliki wewenang secara jelas untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penegak hukum sesuai pada Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK,” ujar Wana.
Selain itu, Wana juga menyoroti minimnya transparansi dalam penanganan perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
Ia menilai, ketertutupan proses penegakan hukum berpotensi membuka ruang terjadinya praktik transaksional.
Menurut Wana, kondisi tersebut rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan, termasuk potensi pemerasan atau kesepakatan tidak sah untuk menghentikan atau melemahkan proses hukum.
“Yang pada akhirnya bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang bersih dan berintegritas,” kata dia.
Wana mengingatkan, penanganan kasus jaksa korupsi oleh Kejaksaan Agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melokalisir perkara.
“Penting untuk dipahami bahwa OTT merupakan langkah awal untuk dapat mengembangkan perkara, yang berpotensi melibatkan aktor lain,” ucapnya.
Respons Kejagung
Menanggapi kritik ICW, Kejaksaan Agung memandang penilaian tersebut kurang bijaksana.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, mengatakan bahwa tindakan segelintir oknum tidak bisa dijadikan tolok ukur kegagalan reformasi institusi secara keseluruhan.
“Kurang bijaksana rasanya menilai perbuatan hanya beberapa oknum Kejaksaan dijadikan indikator kegagalan keseluruhan reformasi di Kejaksaan,” kata Anang saat dihubungi Kompas.com, Minggu (21/12/2025).
Anang menegaskan, selama St Burhanuddin menjabat sebagai Jaksa Agung, Kejagung telah menangani berbagai perkara besar dan berkontribusi signifikan dalam penyelamatan kerugian negara.
Ia menyebutkan, Kejagung berhasil menangani perkara strategis yang menyentuh banyak sektor, mulai dari tata niaga minyak goreng, tekstil, garam, energi, hingga lingkungan.
“Kejaksaan juga signifikan dalam menyelamatkan kerugian negara, seperti kasus Zarof (Ricar) hingga mencapai satu triliun rupiah dan penyitaan emas hampir 50 kg saat penangkapan, serta kasus OTT hakim yang nilainya hampir Rp 60 miliar dalam kasus suap minyak goreng, yang belum pernah dilakukan oleh aparat penegak hukum lain,” ujar Anang.
Menurut Anang, kritik dari ICW justru menjadi pemacu bagi Kejaksaan untuk terus berbenah.
“Kritikan yang konstruktif dan masukan untuk Kejaksaan yang disampaikan oleh teman-teman ICW akan menjadi motivasi bagi Kejaksaan untuk bekerja lebih baik, profesional, dan berintegritas, serta melakukan pengawasan kinerja kejaksaan,” ucap dia.
Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Pujiyono Suwadi menegaskan bahwa OTT terhadap jaksa tidak bisa dilihat semata-mata sebagai kesalahan individu.
Menurut dia, kasus tersebut mencerminkan persoalan serius dalam fungsi pengawasan dan pembinaan internal di lingkungan kejaksaan.
“OTT terhadap jaksa merupakan indikator kegagalan pengawasan melekat. Dalam konteks itu, pimpinan satuan kerja memiliki tanggung jawab administratif untuk memastikan integritas dan disiplin aparatur berjalan konsisten,” kata Pujiyono kepada Kompas.com, Minggu (21/12/2025).
Meskipun demikian, Pujiyono mengingatkan bahwa tidak semua persoalan di internal kejaksaan dapat dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Agung.
Dalam perspektif manajemen organisasi, sebagian kewenangan telah didelegasikan kepada kepala kejaksaan negeri (Kajari) dan kepala kejaksaan tinggi (Kajati).
Oleh karena itu, para pimpinan di daerah memiliki tanggung jawab besar, tidak hanya dalam mengejar target kinerja, tetapi juga menjaga integritas aparat di bawah kepemimpinannya.
“Tugas pimpinan bukan semata-mata soal target atau capaian kinerja, melainkan juga mengawal dan menjaga integritas anak buahnya,” ujar Pujiyono.
Pujiyono juga menekankan pentingnya pembenahan sistem pembinaan jaksa secara menyeluruh, mulai dari kesejahteraan hingga penegakan disiplin etik dan hukum yang konsisten.
“Perbaikan harus dilakukan pada sistem pembinaan, termasuk peningkatan kesejahteraan serta penegakan disiplin etika dan hukum yang konsisten dan tidak pandang bulu,” ucap dia.
Tag: #jaksa #dicokok #cermin #gagalnya #reformasi #kejaksaan