Belajar Ketangguhan dari Bencana Sumatera
KETIKA bencana melanda sejumlah kota dan kabupaten di tiga provinsi di Sumatera—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—peristiwa ini bukan sekadar rangkaian kejadian alam yang ekstrem.
Bencana tersebut justru membuka kembali tabir fakta lama yang selama ini tersembunyi: rendahnya ketahanan daerah dalam merespons krisis berskala besar secara cepat, terkoordinasi, dan berkelanjutan.
Gangguan terhadap akses transportasi, terputusnya jaringan logistik, lumpuhnya layanan dasar, serta keterlambatan distribusi bantuan menunjukkan bahwa sistem kewilayahan kita masih rapuh ketika diuji oleh tekanan alam.
Dalam konteks inilah, istilah kota/kabupaten tangguh bencana tidak sekadar jargon kebijakan, melainkan kebutuhan nyata yang mendesak untuk diwujudkan.
Dalam praktik internasional, konsep ketangguhan wilayah terhadap bencana—yang kerap dirujuk sebagai urban and regional resilience—dipahami sebagai kemampuan suatu daerah untuk mengantisipasi, menyerap, beradaptasi, dan pulih dari guncangan tanpa kehilangan fungsi dasarnya.
Kerangka global seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction, pendekatan resilient city yang dikembangkan oleh UN-Habitat, serta model urban resilience yang banyak digunakan di Eropa dan Asia Timur, menempatkan ketangguhan bukan hanya pada kekuatan fisik infrastruktur, tetapi juga pada kapasitas institusional, sosial, dan tata kelola.
Daerah yang tangguh memiliki sistem peringatan dini terintegrasi, jaringan transportasi yang redundan dan adaptif, tata ruang yang menghindari kawasan rawan, serta kesiapan layanan dasar—air, energi, kesehatan, dan komunikasi—untuk tetap berfungsi dalam kondisi darurat.
Lebih jauh, ketangguhan juga diukur dari kapasitas masyarakatnya: tingkat literasi kebencanaan, kekuatan modal sosial, serta kemampuan komunitas lokal untuk berperan aktif dalam fase tanggap darurat hingga pemulihan.
Tanpa integrasi antara dimensi fisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, ketangguhan wilayah akan selalu bersifat semu.
Namun, sebaik apa pun konsep dan kerangka teknis yang dimiliki, seluruh upaya tersebut pada akhirnya kembali pada satu faktor penentu: kepemimpinan kepala daerah.
Ketangguhan wilayah tidak lahir secara otomatis dari dokumen perencanaan, melainkan dari komitmen nyata seorang pemimpin dalam mengelola seluruh sumber daya daerah secara strategis dan visioner.
Kepala daerah yang mampu membangun wilayah tangguh adalah mereka yang memiliki cakrawala wawasan luas, memahami keterkaitan antara tata ruang, infrastruktur, lingkungan, dan keselamatan publik, serta mampu mengambil keputusan berbasis data, bukan sekadar reaksi politis jangka pendek.
Pemimpin seperti ini menempatkan mitigasi bencana sebagai investasi jangka panjang, bukan beban anggaran, dan berani menegakkan aturan tata ruang, meski berhadapan dengan tekanan ekonomi dan politik.
Lebih dari itu, kepala daerah yang cerdas dalam memanajemen ketangguhan wilayah adalah mereka yang mampu mengorkestrasi kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil—dalam satu sistem kerja yang terkoordinasi.
Mereka memahami bahwa bencana tidak mengenal batas administratif, sehingga respons dan pemulihan harus dibangun dalam kerangka jejaring regional, bukan kerja sektoral yang terfragmentasi.
Kepemimpinan semacam inilah yang membedakan daerah yang selalu jatuh dalam siklus bencana dan pemulihan darurat, dengan daerah yang mampu belajar dari krisis dan keluar sebagai wilayah yang lebih kuat, lebih adaptif, dan lebih siap menghadapi ketidakpastian masa depan.
Bencana di Sumatera menjadi momentum refleksi bersama. Ketangguhan daerah bukan lagi pilihan, melainkan prasyarat utama pembangunan berkelanjutan di tengah perubahan iklim dan meningkatnya risiko alam.
Tanpa kepemimpinan daerah yang berwawasan luas dan berkomitmen cerdas, istilah kota atau kabupaten tangguh bencana akan terus menjadi slogan, sementara kerentanan terus diwariskan dari satu krisis ke krisis berikutnya.
Ketangguhan kepala daerah
Karena itu, menjadi sangat tepat apa yang dilakukan Gubernur Aceh Muzakir Manaf ketika melihat sebagian kepala daerah di bawah kewenangannya tampak goyah dan nyaris menyerah menghadapi tekanan bencana.
Dalam situasi krisis, ia memilih untuk tidak sekadar hadir secara administratif, tetapi tampil sebagai pemimpin yang meneguhkan arah dan moral kolektif.
Teguran dan ajakannya agar seluruh elemen bersatu padu, tidak berlemah hati, serta percaya bahwa bencana ini dapat dilalui bersama, merupakan pesan kepemimpinan yang sangat penting.
Dalam kondisi darurat, keteguhan psikologis aparatur dan masyarakat sering kali menjadi fondasi awal sebelum bantuan fisik dan teknis benar-benar tiba dan bekerja.
Namun, kepemimpinan simbolik semata tentu tidak cukup. Pesan untuk tidak menyerah harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah taktis yang nyata dan terukur.
Di titik inilah kembali terlihat bahwa efektivitas penanganan krisis sangat bergantung pada keluasan wawasan seorang pemimpin daerah, serta kemampuannya memetakan dan mengelola modal yang dimiliki wilayahnya.
Modal tersebut tidak hanya berupa anggaran atau aset fisik, tetapi juga mencakup kapasitas kelembagaan, jaringan sosial, sumber daya manusia lokal, dukungan komunitas, serta akses terhadap jejaring pemerintah pusat dan pihak nonpemerintah.
Kepala daerah yang memiliki pemahaman komprehensif atas seluruh modal ini akan mampu mengoptimalkannya secara simultan, sehingga respons bencana tidak berjalan sporadis, melainkan terkoordinasi dan berlapis.
Dengan pendekatan semacam itu, kepemimpinan daerah tidak berhenti pada seruan moral, tetapi menjelma menjadi mekanisme kerja kolektif yang menggerakkan seluruh potensi wilayah.
Inilah esensi kepemimpinan dalam situasi krisis: menenangkan, mengarahkan, sekaligus memastikan bahwa setiap sumber daya yang tersedia dapat dikonversi menjadi kekuatan nyata untuk bertahan, pulih, dan bangkit kembali.
Dan tiga gubernur dan wakil di tiga provinsi tersebut telah menunjukkan hal tersebut. Kolaborasi dengan wali kota/bupati di daerahnya sangat erat dan meyakinkan kita semua bahwa masalah ini akan bisa diatasi dan dilalui bersama.
Mengaitkan urban resilience dengan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat perlu diletakkan bukan pada besarnya kejadian semata, tetapi pada kemampuan sistem perkotaan dan wilayah dalam menyerap guncangan, beradaptasi, dan pulih tanpa kehilangan fungsi dasarnya.
Dalam konteks ketiga provinsi ini, bencana banjir, longsor, dan kerusakan infrastruktur yang berulang menunjukkan bahwa persoalannya bukan hanya pada faktor alam, melainkan pada rapuhnya relasi antara tata ruang, sistem permukiman, dan daya dukung lingkungan.
Urban resilience, sebagaimana dipahami dalam kerangka UNDRR, OECD, dan Rockefeller Foundation (100 Resilient Cities), menempatkan kota dan wilayah sebagai sistem sosial–ekologis–infrastruktur yang harus mampu anticipate, absorb, recover, dan transform ketika menghadapi bencana.
Ketika jalan terputus, sungai berubah alur, dan permukiman terisolasi, yang gagal bukan sekadar tanggul atau jembatan, tetapi keseluruhan desain ketahanan wilayahnya.
Pada kasus Aceh, pengalaman tsunami 2004 seharusnya menjadikan ketahanan bencana sebagai DNA pembangunan wilayah.
Namun, bencana hidrometeorologi terkini memperlihatkan bahwa urban resilience belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam pengendalian kawasan hulu–hilir DAS, penataan permukiman di dataran banjir, serta perlindungan infrastruktur vital.
Sumatera Utara menghadapi tantangan berbeda: urbanisasi cepat di Medan dan kota-kota penyangga, konversi lahan di kawasan hulu, serta tekanan pada sistem drainase dan transportasi regional.
Ketika hujan ekstrem terjadi, kegagalan sistem ini menjalar cepat ke krisis logistik dan akses layanan dasar.
Sementara itu, Sumatera Barat, dengan topografi curam dan pola kota yang menempel pada sungai dan lereng, menghadapi risiko berlapis—banjir, longsor, dan gempa—yang menuntut ketahanan berbasis tata ruang adaptif, bukan sekadar respons darurat.
Dengan demikian, urban resilience dalam konteks bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar harus dipahami sebagai kemampuan daerah mengelola batas aman pembangunan.
Kota dan kabupaten yang tangguh bukanlah yang mampu bereaksi cepat setelah bencana, melainkan yang sejak awal mampu membatasi ekspansi permukiman di zona rawan, menjaga kapasitas ekologis hulu, memastikan redundansi infrastruktur, serta memiliki kepemimpinan daerah yang memahami risiko sebagai variabel utama pembangunan.
Tanpa itu, setiap bencana hanya akan terus membuka “tabir fakta lama”: bahwa pembangunan kita masih melampaui daya dukung wilayahnya.
Dalam kerangka ini, isu bencana bukan sekadar soal cuaca ekstrem, melainkan cermin dari ketahanan perkotaan dan wilayah yang belum matang secara struktural.
Hentikan mengabaikan perizinan
Namun sayangnya, ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan—termasuk kebencanaan—masih belum menjadi perhatian serius di banyak daerah.
Ketangguhan kerap disalahpahami semata-mata sebagai kemampuan “menantang” bencana, seolah ukuran keberhasilan hanya terletak pada seberapa kuat daerah bertahan saat bencana terjadi.
Padahal, dalam perspektif tata kelola modern, ketangguhan justru lebih banyak diwujudkan melalui kemampuan melawan dan mengendalikan potensi risiko sejak dini.
Dengan kata lain, ketangguhan bukan hanya soal respons ketika krisis datang, tetapi juga soal keberanian dan kecermatan mencegah agar krisis tersebut tidak membesar akibat kesalahan manusia sendiri.
Salah satu bentuk nyata dari upaya melawan potensi risiko adalah keberanian pemerintah daerah untuk menahan atau mengoreksi model pembangunan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan.
Pembangunan yang mengorbankan daya dukung ekologis, mengabaikan tata ruang, atau meremehkan kapasitas alam suatu wilayah pada akhirnya akan memperbesar dampak bencana ketika gangguan alam terjadi.
Karena itu, perizinan pengelolaan lingkungan dalam setiap aktivitas investasi sesungguhnya merupakan instrumen penting dalam membangun ketangguhan daerah.
Perizinan tidak boleh dipersepsikan sebagai “penghambat investasi”, melainkan sebagai mekanisme penyaring agar investasi yang masuk tidak menciptakan kerentanan baru di masa depan.
Memang harus diakui, dalam praktiknya, proses perizinan lingkungan tidak selalu dijalankan secara pruden. Masalah dapat muncul sejak tahap perencanaan dan evaluasi dokumen, hingga pada tahap implementasi di lapangan yang sering kali menyimpang dari komitmen awal.
Namun, kelemahan dalam pelaksanaan tidak semestinya dijadikan alasan untuk menegasikan pentingnya perizinan itu sendiri.
Justru sebaliknya, pembenahan tata kelola perizinan—agar lebih transparan, akuntabel, dan berbasis risiko—merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya membangun daerah yang benar-benar tangguh, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktik pembangunan sehari-hari.
Adaptasi daerah bencana
Sesungguhnya, kerangka regulasi yang mengarahkan daerah agar menjadi wilayah yang tangguh dan tanggap bencana telah tersedia secara relatif lengkap.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara tegas menempatkan pemerintah daerah sebagai aktor utama dalam pengurangan risiko bencana, mulai dari tahap pencegahan, mitigasi, hingga kesiapsiagaan dan pemulihan.
Undang-undang ini diperkuat oleh berbagai peraturan turunannya, termasuk peraturan pemerintah dan kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang menekankan pentingnya integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan pembangunan daerah.
Dalam kerangka tersebut, bencana tidak diposisikan sebagai kejadian insidental, melainkan sebagai variabel pembangunan yang harus dikelola secara sistematis.
Di sektor penataan ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang—yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya—telah mewajibkan pemerintah daerah untuk menjadikan peta rawan bencana sebagai salah satu peta dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Secara normatif, hal ini berarti setiap keputusan pemanfaatan ruang, termasuk perizinan investasi dan pembangunan infrastruktur, seharusnya mempertimbangkan tingkat kerawanan bencana suatu kawasan.
Dengan demikian, tata ruang dirancang tidak hanya untuk mengatur fungsi ekonomi wilayah, tetapi juga untuk melindungi keselamatan manusia dan keberlanjutan lingkungan.
Namun, persoalan serius justru muncul pada apa yang kerap disebut sebagai “bencana buatan”, yakni bencana yang dampaknya diperbesar—atau bahkan dipicu—oleh kesalahan manusia dalam mengelola ruang.
Salah satu akar masalahnya adalah lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan kawasan lindung setelah rencana tata ruang ditetapkan.
Tidak sedikit kawasan yang secara formal dilindungi dalam dokumen RTRW, tetapi secara faktual telah berubah fungsi akibat aktivitas ekonomi yang tidak terdeteksi, dibiarkan, atau bahkan secara implisit ditoleransi.
Dalam kondisi seperti ini, peta bencana yang semestinya menjadi rujukan pengendalian justru kehilangan daya operasionalnya.
Masalah menjadi semakin kompleks ketika mekanisme peninjauan kembali rencana tata ruang yang dilakukan setiap lima tahun tidak digunakan sebagai sarana koreksi atas penyimpangan pemanfaatan ruang.
Alih-alih menjadi instrumen untuk menertibkan pelanggaran dan mengembalikan fungsi ruang sesuai rencana, proses review tersebut dalam praktik tertentu justru dipakai untuk melegitimasi simpangan yang telah terlanjur terjadi.
Penyimpangan yang semula merupakan pelanggaran, kemudian “diputihkan” melalui perubahan rencana, sehingga secara administratif tampak seolah-olah telah sesuai dengan ketentuan.
Pola inilah yang secara perlahan menggerus prinsip kehati-hatian dan melemahkan fondasi ketangguhan wilayah terhadap bencana.
Karena itu, berbagai aturan yang telah tersedia tersebut seharusnya dijalankan secara konsisten oleh seluruh kepala daerah dan jajarannya, bukan sekadar dipenuhi secara administratif.
Lebih jauh, sistem pengendalian pemanfaatan ruang dan pengurangan risiko bencana juga harus membuka ruang partisipasi publik yang nyata.
Masyarakat, akademisi, media, dan organisasi sipil perlu diberi akses untuk memantau, melaporkan, dan mendorong penertiban terhadap pelanggaran yang berpotensi menimbulkan risiko bencana.
Meski tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktik terdapat pula penertiban yang sulit dilakukan karena adanya “sesuatu” di balik pelanggaran tersebut, justru di situlah integritas tata kelola diuji.
Tanpa keberanian untuk menegakkan aturan secara adil dan konsisten, ketangguhan daerah akan terus rapuh, dan bencana akan berulang dengan pola yang sama.