Anak Muda Jakarta Peduli Politik, tetapi Kehilangan Institusi Penyalur Aspirasi
Kerusuhan pecah dalam aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakrta, Selasa (24/9/2019) sore.(KOMPAS.com/Walda Marison)
15:56
16 Desember 2025

Anak Muda Jakarta Peduli Politik, tetapi Kehilangan Institusi Penyalur Aspirasi

WARGA muda Jakarta tidak apatis terhadap politik. Mereka mengikuti isu publik, memiliki kepedulian sosial, dan tetap menggunakan hak pilih dalam pemilu. Namun, kepedulian itu kerap berhenti sebagai aspirasi yang tidak menemukan saluran institusional yang aman, efektif, dan bermakna.

Kesimpulan tersebut mengemuka dalam peluncuran hasil riset Aspirasi Tanpa Institusi: Dinamika dan Alasan Ke-(tidak)-terlibatan Politik Warga Muda Jakarta, yang diselenggarakan oleh Pusat Riset dan Advokasi PRAKSIS pada Jumat (13/12/2025) di Jakarta. Peluncuran riset ini juga menjadi bagian dari peringatan satu tahun berdirinya PRAKSIS, lembaga riset dan advokasi Serikat Jesus.

Riset ini menantang anggapan lama bahwa partisipasi politik anak muda dapat dibaca secara sederhana sebagai aktif atau pasif. Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan spektrum keterlibatan politik yang lebih kompleks, termasuk bentuk-bentuk ketidakterlibatan yang justru sarat makna politis.

Peduli Isu Publik, Terputus dari Institusi

Penelitian dilakukan dengan metode campuran. Survei kuantitatif melibatkan 400 responden berusia 16–30 tahun di DKI Jakarta melalui wawancara tatap muka berbasis computer-assisted personal interviewing (CAPI). Survei ini kemudian diperdalam melalui diskusi kelompok terarah (FGD) dengan 26 peserta dan dianalisis menggunakan pendekatan tematik refleksif.

Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar warga muda mengikuti isu sosial dan politik, terutama melalui media sosial. Isu-isu seperti keadilan sosial, lingkungan hidup, dan kesejahteraan ekonomi menjadi perhatian utama. Namun, keterhubungan mereka dengan institusi politik sangat rendah.

Sebanyak 97 persen responden tidak terafiliasi dengan organisasi politik apa pun, baik partai politik maupun organisasi sayapnya. Hampir seluruh responden juga mengaku jarang, bahkan tidak pernah, menyampaikan pandangan politik secara terbuka, khususnya di ruang publik digital.

Muak terhadap Politik, tetapi Tetap Memilih

Temuan riset PRAKSIS memperlihatkan paradoks lain. Hampir separuh warga muda Jakarta menyatakan muak terhadap politik, dan sebagian besar lainnya merasa kecewa terhadap praktik politik yang berlangsung. Politik dipersepsikan elitis, transaksional, dan jauh dari persoalan sehari-hari warga.

Meski demikian, ketidakpercayaan tersebut tidak sepenuhnya berujung pada penarikan diri dari demokrasi elektoral. Sekitar 76 persen responden menyatakan tetap menggunakan hak pilih dalam pemilu. “Datang ke TPS, tetapi tidak merasa punya ruang untuk ikut menentukan arah kebijakan setelahnya,” demikian salah satu gambaran umum yang mengemuka dalam diskusi kelompok terarah.

Dalam kondisi tersebut, partisipasi politik warga muda kerap berhenti pada momen elektoral, tanpa keberlanjutan dalam bentuk keterlibatan institusional.

Media Sosial: Ruang Informasi Sekaligus Ruang Risiko

Media sosial menjadi sumber utama informasi politik bagi generasi muda Jakarta. Namun, ruang digital tidak sepenuhnya dipersepsikan aman. Banyak responden mengungkapkan kekhawatiran akan perundungan daring, serangan buzzer, pelabelan politik, hingga dampak sosial di lingkungan keluarga dan pertemanan.

Risiko-risiko ini membuat ekspresi politik, terutama yang bersifat kritis, sering kali dihindari. Diam menjadi strategi bertahan, meskipun kepedulian terhadap isu publik tetap ada.

Hambatan Ekonomi dan Rasa Tidak Berdaya

Selain faktor psikologis dan sosial, riset ini menyoroti hambatan struktural yang membatasi keterlibatan politik warga muda. Keterbatasan sumber daya ekonomi menjadi faktor penting. Banyak responden harus memprioritaskan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan hidup, sehingga keterlibatan politik dipandang sebagai aktivitas berisiko dengan manfaat yang tidak jelas.

Kesulitan mengakses institusi politik juga memperkuat rasa tidak berdaya. Kanal partisipasi yang tersedia dinilai tidak transparan, sulit dijangkau, dan minim tindak lanjut. Dalam konteks ini, ketidakterlibatan bukanlah sikap apatis, melainkan pilihan rasional.

Demokrasi yang Dikuasai Elite

Temuan ini ditempatkan dalam konteks perkembangan demokrasi Indonesia pascareformasi. Demokrasi dinilai masih berjalan dalam konfigurasi yang sangat dikendalikan elite, dengan kanal partisipasi warga yang sempit.

Dalam sambutannya, Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo menekankan pentingnya politik yang berkeadaban dan berpihak pada kesejahteraan bersama. Ia menilai riset ini relevan untuk membaca krisis partisipasi politik sekaligus merumuskan jalan keluar yang lebih manusiawi dan inklusif.

Diskusi peluncuran riset turut menghadirkan sejumlah tokoh dari kalangan legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil, yang menyoroti pentingnya membangun kembali kepercayaan warga muda terhadap institusi demokrasi.

Membuka Kanal, Menguatkan Kapasitas

Laporan riset PRAKSIS menutup temuannya dengan dua rekomendasi strategis. Pertama, perlunya perluasan kanal partisipasi politik yang transparan, aman, dan dapat ditelusuri, termasuk perlindungan kebebasan berekspresi di ruang digital.

Kedua, penguatan kapasitas kewargaan berbasis komunitas melalui pendidikan politik, dialog publik, dan ruang belajar bersama. Tanpa institusi yang responsif, aspirasi warga muda berisiko terus menggantung. Namun, tanpa warga yang berdaya, demokrasi juga mudah dikuasai segelintir elite.

Di persimpangan inilah masa depan demokrasi Indonesia—sebagaimana tercermin dari pengalaman warga muda Jakarta—sedang dipertaruhkan.

Tag:  #anak #muda #jakarta #peduli #politik #tetapi #kehilangan #institusi #penyalur #aspirasi

KOMENTAR