Pancasila dan Pokok-pokok Haluan Negara
Ilustrasi Pancasila(DOK KOMPAS/HANDINING)
13:58
27 November 2025

Pancasila dan Pokok-pokok Haluan Negara

SETIAP bangsa membutuhkan kompas. Tanpa kompas, arah masa depan mudah berubah oleh angin politik dan kepentingan kekuasaan yang silih berganti.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, kompas itu pernah bernama Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dokumen ideologis-strategis yang disusun oleh MPR sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

GBHN menjadi penuntun arah pembangunan nasional untuk masa panjang, melampaui keterbatasan satu periode pemerintahan.

Ia menjadi jembatan antara cita-cita Pancasila dan kebijakan negara yang dijalankan dari masa ke masa. Karena itu, keberadaan GBHN dahulu bukan sekadar perangkat administrasi, tetapi instrumen perwujudan ideologi Pancasila dalam praktik bernegara.

Sejarah mencatat bahwa hingga tahun 1999, MPR mempunyai kewenangan menetapkan GBHN dan memilih Presiden serta Wakil Presiden untuk melaksanakan haluan negara tersebut. GBHN menjadi orientasi bersama yang tidak tunduk pada periode elektoral lima tahunan.

Ketika amandemen konstitusi pada tahun 1999-2002 dilakukan, kewenangan itu dihapus. MPR tidak lagi memiliki wewenang menyusun dan menetapkan GBHN, dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Sistem presidensial ditegakkan penuh dan arah pembangunan diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang diatur oleh undang-undang dan peraturan presiden.

Namun, setelah dua dekade pasca-amandemen, muncul kegelisahan nasional. Perencanaan pembangunan menjadi terpecah oleh pergantian pemerintahan.

Arah pembangunan mudah berubah karena perbedaan visi politik. Visi jangka panjang bangsa kurang mendapatkan bentang pijak yang tetap.

Dalam kegelisahan itulah muncul kembali gagasan tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), konsep baru yang dicita-citakan bukan untuk menghidupkan kembali struktur MPR lama, melainkan mengembalikan fungsi Pancasila sebagai bintang penuntun arah pembangunan nasional.

PPHN dipandang sebagai instrumen untuk memastikan bahwa cita-cita keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan tidak terperangkap dalam siklus kekuasaan pragmatis yang berubah-ubah.

Argumentasi dasar yang paling kuat adalah Pancasila sebagai ideologi negara tidak boleh berhenti sebagai simbol. Ia harus menjadi pedoman praksis yang menjelma dalam kebijakan pembangunan. Hal itu membutuhkan rencana yang bersifat lebih dari sekadar aspirasi taktis satu pemerintahan.

Pancasila membutuhkan landasan haluan negara yang stabil. Tanpa haluan yang bersifat lintas-periode, nilai Pancasila hanya akan dirayakan dalam upacara, bukan dijalankan dalam kebijakan negara.

Dari sudut yuridis, gagasan PPHN muncul karena kerangka hukum perencanaan pembangunan yang ada sekarang UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 20252045, dan Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 20252029 telah menyediakan dasar teknokratik pembangunan negara, tapi belum menyediakan ruang konstitusional yang menjembatani kesinambungan transisi pemerintahan.

Perencanaan pembangunan nasional telah memiliki struktur yang kuat, tapi tidak memiliki penjaga arah yang bersifat ideologis dan konsensual. Di sinilah peran MPR melalui PPHN menemukan ruangnya.

PPHN dipandang sebagai upaya mengembalikan MPR pada peran historisnya sebagai rumah besar kedaulatan rakyat, tanpa melanggar batas-batas sistem presidensial.

Ia bukan untuk mengendalikan pemerintah, tetapi menjadi simpul nilai nasional yang mengikat semua rezim politik pada tujuan yang sama: Indonesia adil, makmur, demokratis, bersatu dan berdaulat.

Dengan demikian, mengapa PPHN dapat menguatkan Pancasila? Karena ia menyatukan kembali ideologi dan kebijakan. Karena ia memberi fondasi strategis bagi pembangunan lintas generasi. Karena ia mengembalikan MPR pada peran konstitusional-filosofisnya: penjaga arah bangsa.

Tanpa arah yang stabil, Pancasila hanya menjadi seruan moral yang tak pernah menjelma menjadi tata sosial yang nyata.

Ragam opsi aktivasi PPHN

Kerangka yuridis nasional tentang perencanaan pembangunan menyediakan fondasi bagi gagasan penguatan MPR melalui PPHN.

Salah satu pilar utama adalah UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

UU ini menetapkan bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.

Dalam Pasal 2 UU 25/2004 disebut pula tujuan mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan, menjamin integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar-wilayah, antarfungsi, dan antardimensi waktu.

Kemudian muncul UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 yang menetapkan kerangka jangka panjang nasional 20 tahun. Dokumen ini menjadikan RPJPN 2025-2045 sebagai dokumen strategis nasional.

Selanjutnya, untuk jangka menengah lima tahun, terdapat Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2025-2029 yang secara eksplisit menyebut Pasal 19 ayat (1) UU 25/2004 dan Pasal 8 ayat (2) UU 59/2024 sebagai dasar hukum penetapan.

Dalam konteks ini, PPHN dapat dipahami sebagai “lapis pengikat” di antara dokumen perencanaan—yang kini bersifat teknokratik dan institusional—dan nilai nasional yang lebih luhur, yaitu Pancasila.

Karena sistem perencanaan nasional sudah diatur secara legal, penguatan MPR melalui PPHN bukan menggantikan sistem tersebut, melainkan melengkapi dan memperkuat arah strategis jangka panjang dengan legitimasi ideologis dan institusional.

Dari perspektif Pancasila, hal ini konsisten dengan sila-kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang memerlukan keterpaduan pembangunan fisik, manusia, dan kelembagaan secara berkelanjutan.

Dengan demikian, secara yuridis, penguatan MPR melalui PPHN memiliki pijakan di tiga lapis hukum: UU 25/2004, UU 59/2024, dan Perpres 12/2025.

PPHN dapat berfungsi sebagai instrumen yang menjembatani visi jangka panjang bangsa dan mekanisme perencanaan nasional yang sudah berjalan, sekaligus menguatkan legitimasi MPR sebagai lembaga konseptual perumusan arah bangsa.

MPR melalui Badan Pengkajian MPR telah menyusun PPHN sejak periode 2019-2024. Fokus penyusunannya bersifat substansial (substansi rancangan PPHN) dan formal (bentuk hukum PPHN).

Pada kepemimpinan MPR periode 2024-2029, PPHN dibahas untuk menguatkan dua dimensi tersebut.

Dalam kaitan ini, MPR melalui Badan Pengkajian MPR sejak periode 2019-2024 telah mengajukan beberapa tawaran kemungkinan aktivasi PPHN.

Dalam konteks maksimal (harapan terbaik), MPR merekomendasikan aktivasi PPHN melalui Ketetapan MPR dengan melakukan perubahan terbatas pada UUD NRI 1945.

Namun, opsi ini sulit dilakukan. Pada satu sisi, MPR sudah tidak bisa lagi membuat Ketetapan yang mengatur keluar, meskipun beberapa TAP masih dinyatakan berlaku berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan TAP MPR Tahun 1960-2002.

Dalam kerangka ini, terdapat opsi lanjutan, misalnya, melakukan revisi terhadap Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3).

Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa TAP MPR masih menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD dan di atas UU.

Hanya saja Penjelasan Pasal 7 itu melakukan pembatasan bahwa hanya TAP-TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR No. I/MPR/2003 lah yang masih memiliki kekuatan hukum dan menjadi bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan.

Namun, pasca-TAP MPR No. I/MPR/2003 itu, MPR sudah tidak lagi berwenang mengeluarkan Ketetapan.

Penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut perlu direvisi untuk membuka kewenangan MPR untuk mengeluarkan Ketetapan, salah satunya TAP tentang PPHN.

Dalam konteks ini, Badan Pengkajian MPR periode 2019-2024 telah sepakat untuk tidak melakukan amandemen UUD NRI 1945 demi aktivasi PPHN.

Selain opsi maksimal tersebut, terdapat kemungkinan lain, yakni melalui Ketetapan MPR tanpa melakukan perubahan UUD NRI 1945.

Opsi lain bisa melalui Keputusan (bukan Ketetapan) MPR, tetapi direkomendasikan kepada DPR, DPD dan Presiden untuk dijadikan rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Pilihan ini tidak mengikat secara hukum, tetapi secara politis tetap perlu diperhatikan.

Mempraksiskan Pancasila

Dari sudut filosofis, penguatan MPR melalui PPHN menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya dasar negara dalam teks, tetapi harus hidup dalam kerangka strategi nasional yang nyata.

Pancasila dengan lima sila-nya: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semuanya menuntut penerjemahan yang konkret. PPHN dapat menjadi instrumen penerjemahan tersebut.

MPR, dalam sejarahnya, pernah memiliki kewenangan menetapkan GBHN sebelum amandemen UUD 1945 yang mengubah arah lembaga negara.

GBHN adalah wujud konkret bahwa arah pembangunan bangsa ditetapkan sebagai bagian dari mandat kolektif.

Dengan hilangnya fungsi tersebut pasca­amandemen, MPR kehilangan salah satu sarana institusional untuk menerjemahkan Pancasila ke dalam haluan pembangunan lintas pemerintah. PPHN hadir sebagai ide yang mencoba mengisi kekosongan institusional itu.

Dalam perspektif Pancasila, haluan nasional yang dirancang secara bersama, di bawah naungan MPR, mencerminkan sila ke-empat (kerakyatan melalui permusyawaratan/perwakilan) dan sila ketiga (persatuan Indonesia) karena melibatkan seluruh komponen bangsa dalam menetapkan arah.

Sedangkan sila kelima (keadilan sosial) memerlukan dokumen yang tidak sekadar kebijakan sesaat, melainkan visi panjang yang memastikan pembangunan adil dan merata.

Dengan demikian, penguatan MPR melalui PPHN bukan semata penguatan lembaga, tetapi penguatan nilai-Pancasila dalam arsitektur ketatanegaraan yang operasional.

MPR melalui PPHN akan menegaskan bahwa kedaulatan rakyat tidak berhenti pada pemilihan umum, tetapi meluas ke arah penentuan arah bangsa, yang bersifat lintas generasi.

Ini adalah penegasan bahwa Pancasila bukan hanya mantra dalam pidato kenegaraan, tetapi terintegrasi dalam kerangka haluan yang hidup dan diteruskan oleh berbagai pemerintahan.

Hal ini menunjukkan bahwa penguatan MPR melalui PPHN menjadi sarana agar nilai-Pancasila tidak hanya menjadi fondasi simbolik, tetapi terwujud dalam arah nasional yang pasti.

Tag:  #pancasila #pokok #pokok #haluan #negara

KOMENTAR