Lelaki Baru dan Cermin Akhir Tahun
Masih banyak yang menilai menangis sebagai hal yang tabu dilakukan oleh pria(Unsplash)
14:55
27 November 2025

Lelaki Baru dan Cermin Akhir Tahun

MENJELANG akhir tahun, orang-orang bergegas menyusun rencana liburan, berburu tiket murah, atau menata resolusi penuh semangat.

Namun di balik gegap gempita akhir tahun, banyak laki-laki justru melangkah pelan. Mereka menatap kalender yang menipis dan merasakan waktu seperti menekan dari segala arah.

Perayaan terasa riuh, tetapi hati justru sunyi karena kesepian emosional perlahan tumbuh tanpa disadari.

Sepanjang akhir tahun media sosial kembali ramai oleh percakapan tentang pencapaian akhir tahun yang sering memicu perasaan kesepian dan kecemasan karena momen ini mendorong terjadinya refleksi diri dan perbandingan sosial.

Orang membahas burnout, tekanan sosial, dan kehampaan yang muncul ketika rencana tidak tercapai. Namun obrolan tentang kesepian laki-laki tidak pernah benar-benar tuntas.

Laki-laki melihat pantulan dirinya yang rapuh dan belum selesai menata emosi, tetapi tetap merasa dituntut untuk terus bertahan.

Survei Katadata Insight Center pada Mei 2025 menunjukkan bahwa banyak pria Indonesia memanggul tekanan emosional yang tidak selalu tampak.

Mereka kerap berhadapan dengan amarah yang mudah muncul, kecemasan yang terus mengganggu, serta gangguan tidur yang dialami lebih dari separuh responden pria.

Berbagai gejala lain seperti sulit fokus, mudah lelah, dan kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial ikut menandai kelelahan batin yang jarang mereka ungkapkan.

Bahkan ada sejumlah indikator yang justru lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan, termasuk rasa sedih berkepanjangan, stres berat setelah peristiwa buruk, serta kebiasaan melarikan diri ke media sosial, game, rokok, atau alkohol sebagai cara meredakan tekanan.

Temuan dari lebih seribu responden ini memperlihatkan betapa banyak lelaki menyimpan pergulatan yang berlangsung tanpa suara.

Di tingkat global, depresi hadir sebagai tekanan besar yang dialami banyak laki-laki, tercermin dari suasana hati yang terus menurun, berkurangnya minat pada aktivitas penting, serta gejala yang mengganggu tidur, konsentrasi, nafsu makan, dan rasa percaya diri.

Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada perubahan emosi harian dan dapat memengaruhi pekerjaan maupun hubungan dengan orang terdekat.

Di laman World Health Organization (WHO) Newsroom (29/08/2025) memperkirakan sekitar empat persen penduduk dunia hidup dengan depresi, termasuk sekitar empat koma enam persen laki-laki dewasa, meski angka ini kerap tersamar oleh tuntutan sosial agar mereka selalu tampak kuat.

Penyebabnya beragam dan bisa diperkuat oleh kebiasaan menunda mencari pertolongan serta keterbatasan layanan kesehatan mental.

Padahal berbagai bentuk dukungan terbukti membantu, mulai dari terapi psikologis sampai langkah sederhana seperti menjaga rutinitas, tetap berhubungan dengan orang yang dipercaya, dan mencari bantuan ketika gejala mulai menguasai keseharian.

Di tengah dunia yang bergerak cepat, depresi memperlihatkan betapa rapuhnya ruang emosional laki-laki yang sering memilih diam walau sedang goyah.

Di berbagai ruang keseharian, gejalanya tampak berulang. Dalam lingkungan kampus, dosen kerap menerima pesan larut malam dari mahasiswa laki-laki yang mencari waktu berbincang.

Bukan untuk membahas materi kuliah, tetapi untuk menumpahkan kegelisahan tentang keberanian menghadapi keluarga ketika masa pulang kampung mendekat.

Di sektor industri kreatif, percakapan serupa muncul lewat pertanyaan yang terdengar ringan, tapi sarat beban, seperti “Kalau gagal, apakah aku masih dianggap berguna?”

Ungkapan semacam itu mencerminkan kecemasan yang lebih dalam. Rangkaian situasi ini memperlihatkan pola penting bahwa laki-laki bukan tidak mampu berbicara, selama ini mereka hanya jarang menemukan ruang aman untuk melakukannya.

Akhir tahun memunculkan ruang itu. Ketenangan menjelang libur, penutupan target kerja, serta obrolan ringan di sela kumpul keluarga membuka sedikit celah untuk jujur.

Namun, celah ini rapuh. Banyak pria menepis perasaan karena takut dianggap lembek. Di sinilah masalahnya, budaya yang menekan laki-laki untuk tampil kuat membuat momen kontemplatif akhir tahun justru berubah menjadi tekanan tambahan.

Selama ini, narasi akhir tahun menuntut pencapaian. Orang dipacu untuk membuat daftar keberhasilan, memamerkan foto pencapaian, atau menunjukkan perjalanan hidup yang mulus.

Laki-laki yang tidak cocok dengan pola itu akhirnya merasa gagal. Padahal, seharusnya ada jalan lain, membaca ulang tahun dengan jujur tanpa penghukuman, menerima kerentanan sebagai bagian dari kedewasaan.

Banyak masalah sosial sebenarnya berakar dari ketidakmampuan laki-laki mengekspresikan perasaan secara sehat.

Ketika kerentanan tidak diberi tempat, ia muncul dalam bentuk kemarahan, sikap defensif, atau apatisme. Kita sering menyalahkan karakter, padahal yang terjadi adalah kekosongan ruang ekspresi.

Kesepian emosional tidak selalu berarti tidak punya teman. Kadang justru muncul ketika seorang laki-laki berada di tengah keramaian, tetapi tidak mampu mengatakan apa yang sebenarnya dirasakan.

Lalu, apa langkah konkret yang bisa diambil?

Pertama, perlu ada keberanian untuk membentuk ruang percakapan yang lebih lembut. Percakapan tidak harus panjang. Pertanyaan sederhana seperti “Apa yang paling membuatmu khawatir tahun ini?” bisa membuka pintu.

Kedua, kurangi tekanan evaluatif di akhir tahun. Alih-alih menuntut capaian, dorong proses. Banyak laki-laki sebenarnya ingin bercerita, hanya takut dihakimi.

Ketiga, kita perlu membiasakan budaya apresiasi kecil. Menghargai upaya, bukan hanya hasil, memberi rasa aman bagi laki-laki untuk mengakui kelemahan.

Dari perspektif komunikasi, perubahan kecil dalam cara berinteraksi dapat mengurai kesepian. Mengganti kalimat perintah dengan ajakan, mengganti kritik tajam dengan umpan balik yang bersifat dialogis, atau memberikan ruang diam tanpa tergesa-gesa menyuruh “sudahlah, laki-laki harus kuat”.

Lelaki baru bukan laki-laki yang menghapus sifat maskulinnya, melainkan laki-laki yang berani melihat dirinya secara utuh.

Lelaki baru mampu duduk bersama perasaannya tanpa malu, tidak melarikan diri dari takut, marah, atau sedih.

Ia menata dirinya perlahan, mencari cara untuk berbicara, dan menyadari bahwa memanggul beban sendirian bukan tanda keperkasaan, melainkan tanda bahwa ruang sosial di sekelilingnya belum ramah.

Tag:  #lelaki #baru #cermin #akhir #tahun

KOMENTAR