Fatwa MUI: Batas Pajak Penghasilan Sama dengan Nisab Zakat Mal
- Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan negara memungut pajak penghasilan bila negara butuh, asalkan pajak itu dipungut dari rakyat yang berharta minimal memenuhi syarat nisab zakat mal.
Berikut adalah bunyi poin nomor 2 mengenai batas pajak penghasilan setara dengan nisab zakat mal, sebagaimana siaran pers yang dibagikan Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, Minggu (23/11/2025).
Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.
c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.
d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan.
e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).
Nisab adalah jumlah harta benda minimum yang dikenakan zakat. Adapun zakat mal adalah zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, wajib dibayarkan oleh orang Islam yang memenuhi ketentuan.
Asrorun Niam beride bahwa batas atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah sama dengan nisab zakat mal.
Menurutnya, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial.
“Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nisab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP”, tegas Niam.
Sebagai catatan, zakat mal punya masa berulang (haul) satu tahun. Nisab 85 gram emas setara sekitar Rp 85.685.972 (sesuai SK Ketua BAZNAS RI Nomor 13 Tahun 2025).
Adapun besaran PTKP adalah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun sebagaimana UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Kembali ke fatwa MUI, keputusan tersebut dicapai dalam Forum Munas MUI yang berlangsung 20-23 November 2025 di Hotel Mercure, Jakarta.
MUI berpendapat bahwa pajak hanya untuk kebutuhan sekunder dan tersier.
“Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” kata Niam.
Guru Besar Bidang Ilmu Fikih ini menegaskan bahwa objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
“Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak”, ujar Niam.
Fatwa MUI soal Pajak Berkeadilan
Berikut adalah bunyi fatwa dari MUI soal pajak berkeadilan:
PAJAK BERKEADILAN
Ketentuan Hukum
1.? ?Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.? ?Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.
b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan/atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.
d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan.
e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).
3.? ?Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah(ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.
4.? ?Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebanipajak secara berulang (double tax)
5.? ?Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak.
6.? ?Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang.
7.? ?Warga negara wajib ?menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimanadimaksud pada angka 2 dan 3.
8.? ?Pemungutan pajak yang tidak sesuai denganketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram.
9.? ?Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajaksebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak).
Rekomendasi
1.? ?Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilan dan berpemerataan maka pembebanan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perlu adanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar.
2.? ?Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat.
3.? ?Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
4.? ?Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajakpenghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajakwaris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
5.? ?Pemerintah wajib mengelola pajak denganamanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
6.? ?Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).
Tag: #fatwa #batas #pajak #penghasilan #sama #dengan #nisab #zakat