Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS
Ilustrasi ASN, PNS. ASN Jabar akan uji coba WFH mulai November-Desember 2025, tapi pelayanan publik dijanjikan normal, seperti di Samsat dan unit layanan masyarakat lainnya.(SHUTTERSTOCK/WIBISONO.ARI)
09:20
19 November 2025

Benang Kusut Persoalan PPPK Jadi PNS

TUNTUTAN untuk mengangkat tenaga kontrak – dahulu tenaga honorer, saat ini Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) – menjadi tenaga tetap (Pegawai Negeri Sipil) adalah kisah yang tidak ada habisnya dalam birokrasi kita.

Belakangan, isu ini kembali mencuat tatkala DPR RI membuka wacana peralihan status PPPK menjadi PNS dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 (Kompas.com, 31/10/25).

Telah menjadi rahasia umum bahwa mandeknya penyelesaian penataan tenaga honorer berakar dari praktik nepotisme serta politik balas budi dalam proses rekrutmen tenaga non-ASN.

Fenomena ini sebelumnya juga disinggung oleh Rini Widyantini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi II DPR RI (5/3/2025).

Ia menyampaikan bahwa pegawai non-ASN muncul salah satunya akibat ketidakdisiplinan instansi di dalam rekrutmen terutama karena Pilkada. Kepala daerah cenderung melakukan perekrutan tenaga honorer sebagai imbas dari proses pemenangan Pilkada. Hal ini juga berlaku kepada kementerian/lembaga dalam skala lebih kecil.

Dalam kesempatan sama, Rini juga menyoroti bahwa “pelarangan rekrutmen tenaga honorer pada peraturan yang lalu tidak dilengkapi dengan sanksi yang kuat”.

Akibatnya, seperti menimba air dengan ember bocor, meskipun telah dilakukan berbagai upaya penataan dan pengangkatan tenaga honorer secara bertahap menjadi pegawai tetap, praktik rekrutmen tenaga honorer baru terus berulang di waktu yang sama.

Pemerintah sebenarnya telah berulang kali berupaya menyelesaikan problematika penataan tenaga honorer melalui berbagai kebijakan dan regulasi.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 yang mengatur mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS secara bertahap.

Namun, regulasi tersebut belum sepenuhnya mampu menyelesaikan persoalan tenaga honorer sehingga menjadi warisan bagi pemerintahan berikutnya.

Pada era Jokowi, kebijakan penataan tenaga non-ASN dilakukan melalui UU Nomor 20 Tahun 2023 yang secara tegas, dalam pasal 66, menyatakan bahwa penataan pegawai non-ASN atau sebutan lainnya wajib diselesaikan paling lambat Desember 2024, serta melarang instansi pemerintah untuk mengangkat pegawai non-ASN.

Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang tersebut, Kementerian PAN-RB kemudian merumuskan kebijakan rekrutmen PPPK yang diperuntukkan hanya untuk tenaga non-ASN yang telah bekerja di instansi pemerintah.

Meskipun penataan tenaga non-ASN melalui pengangkatan menjadi PPPK telah terlaksana, kebijakan ini justru memunculkan permasalahan baru di kemudian hari.

Hal tersebut disebabkan oleh manajemen PPPK yang belum memiliki jenjang karier, jaminan pensiun, serta mekanisme mutasi kerja yang setara dengan PNS.

Kondisi ini menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan PPPK dan mendorong munculnya tuntutan agar status mereka dapat diubah secara otomatis menjadi PNS.

Tuntutan tersebut tercermin dalam petisi berjudul “Jadikan PPPK Menjadi PNS Demi Keadilan dan Kepastian Karier” di platform Change.org, yang hingga artikel ini ditulis telah ditandatangani oleh 13.547 orang.

Berlawanan dengan petisi tersebut, muncul pula “Petisi Tolak Pengalihan PPPK Menjadi PNS di Indonesia” yang sudah sudah memperoleh 12.232 tanda tangan.

Butuh keberanian

Reformasi birokrasi yang bergulir sejak era reformasi telah melahirkan prinsip meritokrasi dalam penyelenggaraan manajemen ASN. Namun, tanpa keberanian dan komitmen politik yang kuat, sistem merit hanya akan menjadi jargon kosong.

Perjalanan panjang kebijakan penataan tenaga honorer yang telah dilakukan sejak 2005, tapi masih menyisakan polemik hingga hari ini, menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah berani.

Selama ini, pemerintah cenderung memilih solusi jangka pendek guna menghindari gejolak politik, ekonomi, dan sosial.

Hal ini tampak dari berbagai kebijakan yang justru menurunkan standar kompetensi dalam proses rekrutmen ASN melalui jalur khusus tenaga non-ASN.

Misalnya, penetapan formasi afirmasi sehingga seleksi hanya menjadi formalitas; peniadaan passing grade; hingga penerbitan regulasi baru yang berulang untuk melonggarkan aturan.

Kondisi ini seakan menunjukkan tunduknya kebijakan pemerintah pada jerat kepentingan di balik pengangkatan tenaga non-ASN.

Padahal, jika pemerintah berkomitmen mewujudkan visi tata kelola pemerintahan kelas dunia, maka dibutuhkan keberanian untuk menerapkan rekrutmen berbasis kompetensi melalui proses seleksi yang objektif dan kompetitif.

Kita patut mengambil pelajaran dari Vietnam tentang bagaimana mengambil kebijakan yang berani demi tujuan jangka panjang.

Pada 2025, pemerintah Vietnam melakukan reformasi besar-besaran dengan memangkas sekitar 15–20 persen aparatur negara.

Menurut Pemerintah Vietnam, badan atau lembaga negara tidak boleh menjadi tempat berlindung yang aman bagi para pejabat yang tidak kompeten. (Kompas.id, 18/2/2025)

Restrukturisasi birokrasi besar-besaran tersebut diperkirakan akan memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi politik Vietnam. (Nguyen Khac Giang, 2025).

Meskipun sistem politik Vietnam berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem multi-partai, komitmen dan keseriusan pemerintah Vietnam dalam meningkatkan efisiensi pemerintahan serta mengurangi hambatan birokrasi patut menjadi contoh yang layak ditiru, mengingat dampaknya yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Reformulasi Konsep PPPK

Pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif terhadap keberlanjutan skema PPPK dalam sistem kepegawaian nasional.

Konsep PPPK yang saat ini dijalankan telah melenceng jauh dari desain awalnya, yang sejatinya dimaksudkan sebagai mekanisme untuk merekrut talenta unggul dari luar pemerintahan melalui sistem kontrak yang fleksibel.

Momentum revisi UU ASN perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menata kembali manajemen kepegawaian.

Jika pemerintah ingin mempertahankan keberadaan PPPK dalam kerangka UU ASN, maka diperlukan desain ulang terhadap skema PPPK, terutama dari aspek pengadaannya yang berbasis pada kebutuhan jabatan tertentu yang sesuai dengan karakteristiknya — bukan melalui rekrutmen massal yang menyamaratakan seluruh jabatan dapat diisi oleh PPPK seperti dilakukan saat ini.

Paling penting, pelaksanaan rekrutmen PPPK harus dikembalikan pada filosofi awal untuk menarik talenta profesional dari luar instansi pemerintah.

Selanjutnya, untuk memastikan terpenuhinya prinsip keadilan, desain manajemen PPPK yang baru turut memasukkan aspek pemberian jaminan pensiun serta peluang pengembangan karier yang disesuaikan dengan karakteristik kepegawaian PPPK.

Sebaliknya, apabila pemerintah ingin menerapkan sistem kepegawaian tunggal yang hanya mengenal PNS, maka kebijakan tersebut harus diiringi dengan komitmen dan kedisiplinan tinggi dalam penyelenggaraan seleksi PNS yang berbasis sistem merit.

Ide mengangkat PPPK menjadi PNS tanpa tes merupakan bentuk pengabaian terhadap sistem merit yang telah dibangun dengan susah payah.

Pemerintah harus berani mengambil langkah tegas dengan menerapkan standar kompetensi yang jelas, sekaligus memastikan adanya mekanisme seleksi yang dapat menilai secara adil pengalaman berharga PPPK yang selama ini telah berkontribusi terhadap kinerja organisasi.

Pemerintah dapat mengadaptasi langkah strategis yang telah ditempuh oleh Vietnam dalam upaya memangkas red tape dan menciptakan birokrasi yang lincah, yakni dengan berani mengurangi pegawai yang tidak memiliki kompetensi atau tidak menunjukkan kinerja memadai.

Apabila terdapat PPPK yang tidak lulus seleksi, maka pemerintah harus berani mengambil keputusan untuk memberhentikan pegawai tersebut secara profesional, tanpa memandang pengaruh politik yang mungkin mendukungnya.

Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi PPPK yang telah lama mengabdi, tapi belum lulus seleksi, guna menghindari gejolak berkepanjangan, pemerintah dapat menyediakan pemberian pesangon yang layak.

Kebijakan seperti ini jauh lebih menguntungkan dalam jangka panjang dibandingkan mempertahankan pegawai yang tidak memenuhi kriteria maupun standar kompetensi.

Proses rekrutmen merupakan tahap awal yang menentukan kualitas birokrasi. Pasalnya, manajemen kepegawaian mencakup siklus panjang mulai dari perencanaan kebutuhan, rekrutmen, pengembangan kompetensi, pemberian kompensasi baik finansial maupun nonfinansial, hingga pemenuhan hak atas jaminan pensiun.

Kesalahan dalam proses rekrutmen akan berdampak fatal – bukan hanya menurunkan kinerja organisasi, tetapi juga membebani anggaran negara yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih produktif.

Persis seperti apa yang dikatakan oleh Jim Collins dalam bukunya Good to Great (2014), orang yang tepat merupakan aset terpenting organisasi.

Transformasi menuju organisasi yang hebat dimulai dengan upaya mencari dan menempatkan orang yang tepat. Sebab, sisi yang hebat sekalipun akan menjadi sia-sia tanpa kehadiran orang-orang hebat di dalamnya.

Tag:  #benang #kusut #persoalan #pppk #jadi

KOMENTAR