Menanti Kiprah Mahfud MD Menyelesaikan 27 Masalah Polri
PELANTIKAN Komisi Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi babak baru dalam perjalanan panjang pembenahan lembaga penegak hukum paling dekat dengan rakyat itu.
Di antara nama-nama yang duduk di dalamnya, sosok Mahfud MD kembali mencuri perhatian. Ia bukan wajah baru dalam upaya membenahi institusi.
Sejak menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) pada era Joko Widodo, Mahfud menjadi salah satu pejabat yang paling lantang menyoroti integritas kepolisian.
Ia menilai Polri memiliki 27 masalah serius—dari tata kelola organisasi hingga moralitas personel—yang ia sebut sebagai “penyakit institusional”.
Pernyataan itu disampaikannya bukan untuk menyerang, melainkan sebagai diagnosis dari seseorang yang selama bertahun-tahun menyaksikan langsung bagaimana penegakan hukum di Indonesia sering kali tersandera oleh kepentingan di tubuh aparatnya sendiri.
Kini, Mahfud bukan lagi sekadar pengamat atau menteri yang mengawasi dari luar. Ia adalah bagian dari tim resmi yang diberi mandat langsung oleh Presiden Prabowo untuk mencari jalan penyembuhan bagi tubuh Polri yang disebutnya “sakit tapi bisa sembuh”.
Pertanyaannya kini sederhana, tapi mendasar: apakah Mahfud, sang dokter yang dulu mendiagnosis penyakit Polri, mampu menyiapkan obat dan menegakkan terapi yang diperlukan?
Diagnosis
Ucapan Mahfud tentang “27 penyakit Polri” bukanlah metafora kosong. Pernyataan itu muncul setelah ia menerima berbagai laporan masyarakat, berdiskusi dengan purnawirawan Polri dan TNI, serta menelaah sejumlah berkas evaluasi internal selama masa jabatannya sebagai Menko Polhukam.
Dari situ ia mengidentifikasi sederet persoalan mendasar: rekrutmen yang sarat transaksi, pembinaan karier yang tak meritokratis, penempatan jabatan berdasarkan kedekatan pribadi, hingga kenaikan pangkat tanpa dasar prestasi.
Mahfud menyebut fenomena ini sebagai “koncoisme”—suatu budaya yang menyingkirkan profesionalisme dan mengabaikan keadilan.
Dalam pandangannya, Polri mengalami keletihan moral, bukan sekadar kelemahan manajerial. Sebuah institusi yang semestinya menegakkan hukum justru kerap terjebak dalam politik kekuasaan dan kepentingan ekonomi.
Akibatnya, citra polisi sebagai pelindung masyarakat tergeser menjadi bayang kekuasaan yang menakutkan bagi rakyat kecil.
Reformasi Polri seharusnya berangkat dari satu kata kunci: kepercayaan. Survei berbagai lembaga menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri naik-turun dalam lima tahun terakhir.
Pascatragedi Duren Tiga dan berbagai kasus penyalahgunaan wewenang, kepercayaan publik sempat merosot ke kisaran lima puluhan persen, sebelum perlahan naik kembali pada tahun berikutnya.
Polri memang berupaya membenahi citra: memperkuat layanan publik, membuka saluran digital pengaduan, dan memperbaiki komunikasi kehumasan.
Namun, seperti kata pepatah lama, reputasi berjalan dengan kaki kura-kura, sementara skandal berlari dengan sayap rajawali.
Reformasi sejati tidak cukup dengan mengganti jargon, struktur, atau seragam. Ia menuntut perubahan nilai dan integritas dari dalam.
Mahfud MD, dengan reputasi hukum dan integritas moralnya, diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik itu. Namun, modal moral saja tidak cukup tanpa kemauan politik dari presiden dan keberanian kolektif dari internal Polri sendiri.
Masalah terbesar Polri bukan hanya pada tumpukan peraturan, melainkan pada budaya kekuasaan yang tumbuh di balik seragam.
Dalam banyak kasus, pelanggaran etik tidak lahir karena ketidaktahuan terhadap hukum, tetapi karena sistem yang membiarkan loyalitas personal mengalahkan profesionalitas.
“Koncoisme” yang disinggung Mahfud adalah bentuk paling kasat dari budaya itu—ketika jabatan menjadi hasil barter loyalitas, bukan hasil kinerja.
Budaya semacam ini sulit diubah karena berkelindan dengan politik anggaran dan pengaruh eksternal.
Dalam dua dekade terakhir, Polri menjadi institusi dengan jaringan fiskal besar, mengelola ribuan pos anggaran dan proyek pengamanan di hampir setiap lini pemerintahan. Namun, sumber daya yang besar itu tidak selalu diimbangi dengan akuntabilitas yang transparan.
Reformasi Polri karenanya menuntut keberanian menyentuh dua wilayah paling sensitif: uang dan jabatan.
Tanpa menyentuh keduanya, reformasi hanya akan menjadi wacana yang diulang setiap kali terjadi krisis kepercayaan.
Pembentukan Komisi Reformasi Polri kali ini memang menimbulkan harapan sekaligus keraguan.
Harapan karena diisi oleh tokoh-tokoh kredibel seperti Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan sejumlah purnawirawan senior. Keraguan karena publik sudah terlalu sering mendengar istilah “reformasi Polri” tanpa hasil nyata.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa komisi ini tidak dibatasi masa kerja, tetapi diminta untuk melaporkan hasil setiap tiga bulan.
Sinyal ini penting: ada keinginan dari kepala negara untuk memantau progres secara periodik.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa komisi seperti ini kerap terbentur resistensi internal—terutama jika rekomendasinya menyentuh kepentingan struktural atau ekonomi.
Di sinilah Mahfud diuji. Ia harus memastikan komisi ini bukan sekadar forum seremoni, tetapi benar-benar menjadi alat ukur moral bagi pembenahan kepolisian.
Lebih dari itu, komisi harus membuka diri terhadap masyarakat sipil dan lembaga pengawasan independen. Reformasi Polri bukan urusan internal semata, melainkan hak publik untuk memastikan bahwa penegakan hukum dijalankan tanpa rasa takut dan tanpa kompromi.
Mahfud MD membawa modal besar: legitimasi moral yang lahir dari pengalamannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri, dan guru besar hukum.
Ia memiliki kredibilitas untuk menjembatani jarak antara hukum dan kekuasaan. Namun, di hadapannya terbentang tembok besar: politik internal Polri yang hierarkis, solid, dan sering kali menolak intervensi dari luar.
Tugas Mahfud bukan sekadar menulis rekomendasi, tetapi mengubah paradigma.
Bahwa loyalitas sejati aparat bukan kepada atasan, melainkan kepada konstitusi dan rakyat.
Bahwa penegakan hukum bukan alat kekuasaan, tetapi cara negara menjaga martabat warganya.
Reformasi sejati membutuhkan keberanian untuk berkata tidak, bahkan di hadapan kekuasaan tertinggi.
Mahfud punya peluang menjadikan komisi ini bukan sekadar ruang kerja, tapi cermin moral bangsa—tempat negara menatap kembali wajah hukumnya sendiri.
Reformasi Polri adalah proses panjang, tidak selesai dalam satu periode presiden atau satu masa jabatan kapolri.
Namun, setiap langkah kecil yang jujur dan terukur adalah titik balik menuju kepolisian yang profesional dan manusiawi. Publik tidak lagi menunggu slogan, tapi tindakan nyata.
Apakah setelah Mahfud MD dilantik, daftar “27 penyakit Polri” itu akan ditangani satu per satu?
Ataukah akan kembali menjadi diagnosis tanpa terapi, seperti reformasi yang lain sebelumnya?
Reformasi sejati bukan tentang jumlah rapat, melainkan tentang keberanian menyentuh luka.
Mahfud kini berada di antara idealisme hukum dan realitas kekuasaan.
Jika ia mampu menyalakan api kecil dalam tubuh Polri yang letih, maka sejarah akan mencatat bahwa ia pernah mencoba menyembuhkan luka bangsa—bukan sekadar menuliskan gejalanya.
Polri yang sehat adalah fondasi negara hukum yang kuat.
Keberanian Mahfud MD mengungkap 27 masalah serius di tubuh kepolisian adalah seruan moral agar negara tak terus menutup mata. Kini, ketika ia resmi duduk di Komisi Reformasi Polri, publik menanti bukan sekadar laporan, tapi perubahan yang terasa.
Reformasi Polri bukan milik Mahfud seorang, tapi milik seluruh rakyat yang ingin hidup di negara hukum yang adil dan beradab.
Mungkin 27 penyakit itu tak akan sembuh sekaligus, tetapi setiap penyakit yang diobati dengan kejujuran adalah langkah pertama menuju pemulihan kepercayaan publik.
Dan di sanalah, tugas sejarah menunggu Mahfud MD—bukan untuk menyebut penyakit, tapi untuk menyembuhkan tubuh bangsa.
Tag: #menanti #kiprah #mahfud #menyelesaikan #masalah #polri