APBN dan Kewajiban Negara Mewujudkan Kesejahteraan yang Nyata
PERNYATAAN Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahwa APBN tidak boleh berhenti pada pembangunan infrastruktur, melainkan harus benar-benar menyejahterakan rakyat, sesungguhnya mengingatkan kembali pada hakikat hukum dari pengelolaan keuangan negara.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan sekadar instrumen teknokratis, tetapi wujud konkret tanggung jawab negara dalam memenuhi amanat konstitusi.
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa pengelolaan APBN harus dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, kesejahteraan rakyat bukanlah target tambahan, melainkan tujuan utama dari setiap rupiah yang dibelanjakan negara.
Dari perspektif hukum tata negara, APBN adalah norma hukum yang mengikat pemerintah dan DPR dalam melaksanakan kewenangan fiskal. Ia bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga instrumen yuridis yang menjamin hak-hak sosial ekonomi warga negara—hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga lingkungan yang layak.
Oleh karena itu, pengelolaan APBN yang gagal menghadirkan kesejahteraan dapat dimaknai sebagai bentuk maladministrasi konstitusional, yakni penyimpangan terhadap tujuan normatif UUD 1945.
Dalam konteks ini, belanja negara tidak boleh hanya berorientasi pada indikator pertumbuhan ekonomi seperti kenaikan PDB atau pembangunan proyek fisik yang megah. Keberhasilan fiskal sejatinya diukur dari sejauh mana hasilnya menyentuh kehidupan rakyat banyak, bukan dari seberapa banyak beton yang ditanam atau gedung yang berdiri.
Prinsip “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” juga mengandung kewajiban positif (positive obligation) bagi negara untuk aktif menjamin pemerataan hasil pembangunan. Mahkamah Konstitusi telah menegaskan hal ini dalam sejumlah putusannya, antara lain Putusan MK No. 100/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa negara tidak boleh bersikap pasif terhadap pemenuhan hak sosial ekonomi warga negara.
Dengan demikian, APBN bukan milik pemerintah, melainkan milik rakyat—dan pengelolaannya harus selalu dikembalikan kepada cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945.
Infrastruktur dan Masalah Pemerataan Manfaat
Selama beberapa tahun terakhir, pembangunan infrastruktur menjadi ikon utama kebijakan fiskal nasional. Pemerintah membangun jalan tol, bendungan, pelabuhan, hingga bandara dengan argumentasi bahwa konektivitas akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan. Namun, pertanyaan pentingnya adalah: sejauh mana masyarakat setempat benar-benar menikmati hasil pembangunan tersebut?
Dalam banyak kasus, pembangunan infrastruktur justru menciptakan paradoks. Di satu sisi, proyek besar dianggap sebagai simbol kemajuan; di sisi lain, masyarakat lokal sering tidak mendapatkan manfaat langsung dari keberadaannya. Petani di sekitar tol tidak otomatis memperoleh akses pasar yang lebih baik, nelayan di dekat pelabuhan baru tidak selalu mendapat peningkatan pendapatan, dan warga di sekitar bendungan kerap kehilangan lahan tanpa kompensasi memadai.
Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi pembangunan masih sering bersifat top-down dan kurang mempertimbangkan dimensi keadilan distributif. Teori keadilan John Rawls menegaskan bahwa kebijakan publik seharusnya dirancang untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi mereka yang paling kurang beruntung (the least advantaged). Dalam konteks APBN, hal ini berarti pembangunan infrastruktur harus dirancang agar efek ekonominya menyentuh kelompok masyarakat yang selama ini tertinggal.
Jika manfaat hanya terakumulasi di wilayah kota besar atau kalangan berpendapatan tinggi, maka pembangunan gagal menjalankan prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Kebijakan fiskal yang adil juga mensyaratkan adanya pemerataan fiskal antara pusat dan daerah. Pasal 18A UUD 1945 secara tegas menyebut bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah harus dilakukan secara adil dan selaras. Namun dalam praktiknya, banyak daerah masih menjadi sekadar lokasi pembangunan, bukan penerima utama manfaatnya.
Ketimpangan ini menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam perencanaan anggaran: bukan hanya growth-based budgeting, tetapi equity-based budgeting—yakni penyusunan anggaran berdasarkan keadilan sosial dan pemerataan manfaat. Tanpa reorientasi tersebut, pembangunan hanya akan memperlebar jurang ketimpangan antarwilayah dan antarkelas sosial.
Infrastruktur yang megah tidak akan berarti banyak jika rakyat yang hidup di sekitarnya tetap miskin, tidak memperoleh layanan dasar yang layak, dan tidak memiliki ruang untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri.
Dari Beton ke Pemberdayaan Manusia
Kesejahteraan sejati tidak diukur dari panjangnya jalan tol atau tingginya menara, tetapi dari seberapa besar peningkatan kualitas hidup rakyat. Oleh karena itu, kebijakan fiskal ke depan harus berani bergeser dari pembangunan fisik menuju pembangunan manusia. Reorientasi ini bukan sekadar teknis, melainkan tuntutan hukum dan moral. Negara berkewajiban memastikan bahwa alokasi APBN menyentuh langsung kehidupan rakyat.
Pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan pengentasan kemiskinan seharusnya menjadi prioritas utama. Investasi dalam manusia adalah investasi paling berkelanjutan karena membangun kemampuan dan produktivitas rakyat secara langsung. Ketika anggaran lebih banyak dialokasikan untuk memperkuat sumber daya manusia, maka kesejahteraan akan tumbuh dari bawah (bottom-up prosperity), bukan semata diukur dari indikator makro.
Selain itu, prinsip transparansi dan partisipasi publik dalam pengelolaan APBN harus diperkuat. Konstitusi sudah mewajibkan pelaksanaan APBN secara “terbuka dan bertanggung jawab.” Artinya, rakyat berhak mengetahui bagaimana uang mereka digunakan, untuk tujuan apa, dan siapa yang menikmatinya.
Mekanisme partisipatif ini dapat mencegah penyalahgunaan anggaran sekaligus memastikan bahwa belanja negara benar-benar berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Pernyataan Menteri Purbaya bahwa “APBN harus membuat rakyat jadi kaya bersama” mengandung makna mendalam apabila dibaca dari perspektif hukum. “Kaya bersama” tidak berarti setiap orang harus memiliki jumlah uang yang sama, melainkan setiap warga memiliki kesempatan yang setara untuk hidup sejahtera. Dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), tanggung jawab negara bukan hanya menciptakan pertumbuhan, tetapi juga memastikan pemerataan hasilnya.
Pada akhirnya, APBN bukanlah sekadar alat ekonomi untuk menjaga stabilitas fiskal, tetapi kontrak sosial yang mengikat negara dengan rakyatnya. Setiap rupiah yang dibelanjakan negara adalah janji hukum untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika pembangunan fisik terus diprioritaskan sementara kesejahteraan rakyat tertinggal, maka negara berisiko melanggar amanat konstitusi dan mengkhianati semangat pendirian republik ini. Negara tidak boleh puas hanya dengan membangun jembatan dan gedung tinggi. Kewajiban sejatinya adalah memastikan setiap warga dapat melintasi jembatan itu menuju kehidupan yang layak, sehat, dan bermartabat. Hanya dengan itu, cita-cita “mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia” bukan lagi slogan, melainkan kenyataan hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Tag: #apbn #kewajiban #negara #mewujudkan #kesejahteraan #yang #nyata