Belajar dari Ledakan di SMAN 72 Jakarta, Ini Cara Ajari Anak Hadapi Bullying
– Beberapa waktu lalu, terjadi peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta di Jakarta Utara, Jumat (7/11/2025). Saat ini dilaporkan ada 96 korban luka-luka dan sebagian masih menjalani perawatan.
Adapun pelaku ledakan di SMAN 72 diduga adalah salah satu siswa di sekolah tersebut, dilaporkan oleh Kompas.com, Senin (10/11/2025).
Peristiwa ini memunculkan perhatian publik terhadap isu kekerasan di lingkungan sekolah, termasuk bullying yang diduga menjadi pemicu pelaku menjalankan aksinya.
Lantas, bagaimana cara mengajarkan anak menghadapi bullying di lingkungan sekolah?
Bagaimana orangtua melatih anak cara menghadapi bullying?
Psikolog anak dan remaja Gloria Siagian, M.Psi. menegaskan, penting bagi orangtua dan sekolah mengajarkan anak cara melawan bullying dengan cara yang sehat dan tidak destruktif.
Anak perlu tahu perbedaan antara bullying, candaan, dan konflik
Menurut Gloria, langkah pertama yang harus dilakukan orangtua adalah membantu anak mengenali bentuk-bentuk perilaku yang mereka alami atau lihat.
“Anak perlu membedakan mana yang termasuk bullying, bercanda, atau konflik. Hal ini perlu diajarkan oleh orangtua batasannya,” ujar Gloria saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/11/2025).
Bullying terjadi ketika seseorang disakiti secara fisik dan/atau verbal, direndahkan, atau diintimidasi secara berulang-ulang. Misalnya dengan mendorong, memukul, mengejek, atau mempermalukan orang lain di depan umum.
Sementara itu, bercanda tidak menyinggung atau menyakiti perasaan orang lain, dan biasanya dilakukan dengan saling menghargai.
Sementara itu, konflik berbeda lagi. Konflik bisa terjadi karena perbedaan pendapat atau kesalahpahaman, tetapi tidak selalu disertai dengan niat menyakiti.
Dengan memahami perbedaannya, anak jadi tahu kapan mereka harus menegur, berdialog, atau meminta bantuan orang dewasa.
Ajari anak melawan dengan berani bersuara
Menurut psikolog, orangtua sebaiknya mengajarkan anak menghadapi bullying dengan cara sehat, tanpa membalas dendam.
Gloria menegaskan, melawan bullying bukan berarti harus membalas dengan kekerasan. Anak perlu belajar untuk berani bersuara dan mencari pertolongan dengan cara yang aman.
“Lalu ajarkan bahwa cara melawan bullying bukan dengan diam, tapi bersuara. Dorong anak untuk berani melaporkan pada orang dewasa yang bisa dipercaya,” tutur dia.
Menurutnya, banyak anak memilih diam karena takut situasi menjadi lebih buruk atau tidak percaya bahwa orang dewasa akan menolong.
Padahal diam justru memperkuat posisi pelaku bullying. Dengan berani berbicara kepada guru, konselor, atau orangtua, anak menunjukkan bahwa ia tidak setuju terhadap perilaku tidak adil tersebut.
Gloria menyarankan agar orangtua membangun kepercayaan dua arah, supaya anak merasa aman ketika melapor tanpa takut dimarahi atau dihakimi.
Jangan ajari anak balas dendam
Menurut psikolog, orangtua sebaiknya mengajarkan anak menghadapi bullying dengan cara sehat, tanpa membalas dendam.
Selain mengajarkan keberanian, Gloria menekankan, membalas kekerasan dengan kekerasan bukanlah solusi.
“Coba untuk ajarkan juga bahwa kekerasan yang dibalas kekerasan hanya akan jadi masalah besar,” tuturnya.
Menurutnya, penting bagi anak untuk memahami bahwa melawan bukan berarti menyakiti balik, melainkan berani melindungi diri dan meminta bantuan dengan cara yang tepat.
Ketika anak marah karena menjadi korban bullying, orangtua perlu membantu mereka menyalurkan emosi dengan sehat, misalnya dengan menulis, berbicara dengan orang dewasa yang dipercaya, atau mengunjungi profesional.
Pendekatan ini membantu anak mengontrol impuls agresif dan menghindari tindakan yang bisa memperburuk situasi.
Dampak bullying bisa serius pada kesehatan mental anak
Menurut psikolog, orangtua sebaiknya mengajarkan anak menghadapi bullying dengan cara sehat, tanpa membalas dendam.
Gloria juga mengingatkan, bullying dapat berdampak berat terhadap kesehatan mental anak bila tidak segera diatasi.
“Bullying itu dampaknya sangat bermacam-macam, bisa ke depresi atau menjadi agresif,” ungkapnya.
Tekanan sosial yang terus-menerus dapat membuat anak kehilangan rasa percaya diri, menarik diri dari lingkungan, atau bahkan mengembangkan perilaku agresif sebagai bentuk pertahanan diri.
Oleh karena itu, pencegahan lebih penting daripada penanganan setelah masalah terjadi.
Sekolah dan keluarga perlu bekerja sama membangun budaya empati dan saling menghargai, agar setiap anak merasa aman dan diterima.
Gloria melanjutkan, keberhasilan dalam mengajarkan anak melawan bullying bergantung pada konsistensi antara rumah dan sekolah.
Orangtua di rumah dapat menanamkan nilai-nilai empati dan keberanian, sedangkan guru di sekolah perlu menyediakan ruang aman bagi siswa untuk berbicara dan melapor.
Tag: #belajar #dari #ledakan #sman #jakarta #cara #ajari #anak #hadapi #bullying