Komite Eksekutif Papua: Kue Jabatan Ala Presiden Prabowo?
Seorang anak melintas di sekitar pinggiran Danau Paniai di Kampung Kogekotu, Kecamatan Paniai Timuri, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah, Rabu (24/9/2025). Air Danau Paniai meluap menggenangi pinggiran danau setinggi 40- 60 cm akibat curah hujan yang cukup tinggi di wilayah itu. (ANTARA FOTO/Gusti Tanati)
05:34
13 Oktober 2025

Komite Eksekutif Papua: Kue Jabatan Ala Presiden Prabowo?

BAYANGKAN sebuah pesta besar di istana. Meja-meja penuh kue, lampu-lampu berkilau, dan para pejabat menanti giliran menikmati hidangan.

Namun di luar pagar, rakyat hanya menatap lapar. Mereka tidak diundang, padahal kue itu dibuat dari hasil bumi mereka sendiri.

Begitulah nasib banyak orang Papua hari ini. Setiap kali pusat berbicara tentang percepatan pembangunan dan kesejahteraan, yang terjadi sering kali hanyalah pesta jabatan dan lembaga baru, bukan perubahan hidup bagi rakyat di kampung.

Ketika Presiden Prabowo Subianto melantik Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua pada Oktober 2025, banyak yang menganggapnya sebagai babak baru perhatian pemerintah terhadap Papua.

Namun sejarah panjang kebijakan Papua menunjukkan pola yang berulang. Setiap presiden membawa program dan nama lembaga baru, tetapi substansinya sering sama.

Papua dilihat dari atas, diatur dari jauh, dan rakyatnya hanya menunggu hasil yang tak kunjung datang.

Pertanyaannya sederhana: apakah lembaga baru ini akan benar-benar membawa kesejahteraan atau sekadar menambah kursi bagi para elite?

Pergeseran Arah Kesejahteraan Papua

Relasi negara dan Papua selalu diwarnai janji besar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan melalui kebijakan yang berbeda dari wilayah lain.

Namun dalam perjalanan dua dekade terakhir, wajah kebijakan itu terus berganti nama, sementara pola dasarnya tetap sama: pembangunan masih banyak ditentukan dari pusat, bukan tumbuh dari inisiatif lokal.

Segalanya bermula pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Tahun 2001, ia menandatangani Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua—tonggak penting lahirnya desentralisasi asimetris di Indonesia.

Otonomi Khusus atau Otsus dimaksudkan bukan hanya sebagai kebijakan fiskal, tetapi juga sebagai pengakuan politik atas sejarah panjang Papua serta penghormatan terhadap identitas Orang Asli Papua (OAP).

Untuk pertama kalinya, Papua diberi kewenangan luas dalam pengelolaan pemerintahan, pendidikan, dan kesehatan.

Dari kebijakan inilah lahir Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga representatif kultural yang unik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

MRP berfungsi menyalurkan aspirasi adat, agama, dan perempuan serta memberikan pertimbangan terhadap peraturan daerah khusus (Perdasus), kerja sama pemerintah, dan pencalonan gubernur dan wakil gubernur.

Kehadiran MRP menjadikan era Megawati sebagai fase peletakan fondasi politik dan kultural Otsus. Kesejahteraan Papua dimaknai bukan hanya sebagai pembangunan fisik, tetapi juga pengakuan atas martabat dan jati diri masyarakatnya.

Namun pada tahap ini pelaksanaan Otsus belum disertai struktur teknis lintas kementerian yang kuat. Dana Otsus mulai dialirkan, tetapi belum diimbangi dengan kapasitas kelembagaan dan pengawasan yang memadai.

Sebenarnya, arah kebijakan yang lahir dari Otsus jilid pertama ini sudah tepat. MRP merupakan lembaga yang merepresentasikan suara kultural rakyat Papua—unsur adat, agama, dan perempuan—yang berperan sebagai jembatan antara masyarakat di bawah dan pemerintah di atas.

Pendekatan inilah yang paling kontekstual bagi Papua, karena menempatkan nilai, moral, dan sosial budaya sebagai dasar pembangunan.

Sayangnya, model representatif yang lahir dari bawah ini tidak diperkuat dalam kebijakan berikutnya.

Memasuki masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), arah kebijakan Papua mulai bergerak dari kerangka hukum menuju pelaksanaan program.

Tahun 2011, SBY membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011.

Lembaga ini menjadi wujud keseriusan pemerintah untuk mempercepat pembangunan di dua provinsi tersebut.

UP4B bertugas mengintegrasikan program lintas sektor dari infrastruktur, pendidikan, hingga ekonomi rakyat.

Namun dalam praktiknya, lembaga ini menghadapi banyak kendala. Koordinasi antarkementerian lemah, tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah daerah, dan terbatasnya akses ke daerah pedalaman membuat hasilnya tidak sebanding dengan ekspektasi. Banyak program berhenti di atas kertas.

Meski begitu, SBY tetap dikenang sebagai presiden pertama yang secara eksplisit menempatkan Papua sebagai prioritas pembangunan nasional melalui lembaga lintas kementerian.

Dua dekade setelah Otsus pertama lahir, Joko Widodo memperbarui kebijakan ini dengan memperpanjang dan menata ulang sistemnya.

Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua atau Otsus Jilid II, pemerintah memperbaiki tata kelola dana dan memperluas jangkauan program.

Untuk memperkuat pelaksanaannya, dibentuklah Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) yang diketuai Wakil Presiden dan beranggotakan para menteri serta enam perwakilan dari setiap provinsi di Tanah Papua.

BP3OKP diberi mandat untuk menyusun arah kebijakan lintas sektor dan mengawal Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua 2022-2041 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2023.

Secara kelembagaan, BP3OKP tampak megah dengan rencana kerja jangka panjang dan koordinasi lintas kementerian.

Namun di lapangan, problem lama masih membayangi: birokrasi berlapis, koordinasi lambat, dan minimnya partisipasi masyarakat lokal. Dana terus mengalir, proyek bertambah, tetapi jurang kesejahteraan tetap lebar.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), tingkat kemiskinan nasional pada Maret 2025 tercatat 8,47 persen, sedangkan di Tanah Papua jauh lebih tinggi—Papua Pegunungan 30,03 persen, Papua Tengah 28,9 persen, Papua Barat 20,66 persen, Papua Selatan 19,71 persen, Papua 19,16 persen, dan Papua Barat Daya 17,95 persen.

Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2024. IPM nasional mencapai 74,2. Sementara Papua Pegunungan hanya 53,42, Papua Tengah 59,75, Papua Barat 67,02, Papua Barat Daya 68,63, Papua Selatan 72,30, dan Papua 73,00.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perbaikan dibanding dua dekade lalu, kebijakan percepatan belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan yang merata.

Papua tetap menempati posisi terbawah dalam hampir semua indikator pembangunan manusia di Indonesia.

Kini di masa Presiden Prabowo Subianto, sejarah kebijakan itu berlanjut dengan wajah baru. Pada Oktober 2025, Presiden melantik Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua melalui Keputusan Presiden Nomor 110/P Tahun 2025.

Komite ini beranggotakan sepuluh tokoh yang sebagian besar merupakan eks pejabat provinsi, perwira militer, dan politisi senior dengan mandat mempercepat pembangunan yang adil, merata, dan berkelanjutan.

Tujuannya terdengar mulia. Namun bagi sebagian masyarakat Papua, lembaga ini terasa seperti pengulangan struktur lama dengan nama baru.

Dari UP4B di masa SBY, BP3OKP di era Jokowi, hingga Komite Eksekutif di era Prabowo, semua membawa semangat percepatan yang sama, tetapi belum menimbulkan perubahan mendasar pada indikator kesejahteraan.

Selama dua dekade, wajah kebijakan Papua berubah seiring pergantian presiden, tetapi wajah lembaganya tetap sama: berlapis, berjarak, dan sibuk mengatur diri sendiri.

Dari UP4B hingga Komite Eksekutif, Papua seolah menjadi laboratorium kelembagaan, bukan laboratorium kesejahteraan.

Masing-masing lembaga dibentuk dengan niat mempercepat kemajuan, namun terlalu sering menjadi arena pembagian posisi dan legitimasi politik pusat di daerah.

Selama negara lebih percaya pada lembaga ciptaannya sendiri ketimbang lembaga yang lahir dari rakyat Papua, kesejahteraan akan selalu berhenti di rapat koordinasi, bukan di kehidupan masyarakat.

Menutup pesta, membagi roti

Setiap kali presiden berganti, Papua selalu dijanjikan sesuatu yang baru. Nama lembaga berubah, rapat bertambah, pejabat berpindah, namun inti persoalan tetap: rakyat ingin hidup lebih baik.

Selama pembangunan hanya dimaknai sebagai urusan administratif dan kelembagaan, Papua akan terus menjadi panggung di mana kebijakan tampil megah, tetapi rakyatnya tetap menunggu di luar.

Rakyat Papua tidak menolak pembangunan, mereka hanya menolak diabaikan. Selama ini perhatian pusat sering diwujudkan dalam bentuk pesta kebijakan, pelantikan, dan peresmian lembaga baru yang dimaksudkan untuk mempercepat kesejahteraan.

Namun pesta itu jarang sampai ke meja rakyat. Kue pembangunan habis di antara para undangan, sementara rakyat di kampung hanya mencium aromanya dari jauh.

Papua hari ini tidak kekurangan dana, tetapi kekurangan keadilan tata kelola. Dana Otsus, Dana Desa, dan berbagai transfer fiskal telah mengalir triliunan rupiah, namun banyak yang berhenti di tangan birokrasi dan proyek tanpa arah.

Pemerintah terlalu sibuk mengatur cara membangun Papua, tetapi lupa mendengar suara Papua. Padahal, tidak ada kebijakan yang berhasil tanpa kepercayaan.

Pendekatan kelembagaan memang penting sebagai kerangka kerja, tetapi tanpa keberpihakan pada rakyat, ia hanya menjadi struktur tanpa jiwa.

UP4B, BP3OKP, dan kini Komite Eksekutif hanyalah wajah berbeda dari satu logika yang sama—logika kontrol dari pusat.

Lembaga dibentuk seolah untuk rakyat Papua, tetapi sering kali diisi oleh orang yang mewakili kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan masyarakat adat.

Inilah mengapa, meski Papua telah berlari dua dekade dalam nama percepatan, garis akhirnya seolah terus dijauhkan.

Dan di sinilah pertanyaan di awal tulisan ini menemukan jawabannya. Komite Eksekutif Papua mungkin lahir dengan niat baik, tetapi selama lembaga itu lebih sibuk membagi posisi ketimbang membuka jalan bagi rakyat, ia hanya akan menjadi kue jabatan berikutnya dalam pesta panjang pembangunan di Papua.

Selama kue jabatan terus dibagi di atas meja kekuasaan tanpa menyentuh dapur rakyat, Papua hanya akan kenyang dengan janji, bukan keadilan.

Kebijakan yang sejati seharusnya mengalir seperti sungai, mencari lembah, bukan memuncak di bukit. Itulah prinsip keadilan dalam pembangunan.

Namun selama dua dekade Otsus, sungai itu sering tersumbat oleh batu-batu struktural, ego sektoral, dan jarak komunikasi antara pusat dan daerah.

Pemerintah pusat merasa perlu perantara untuk memahami Papua, sehingga terus membentuk lembaga seolah rakyat Papua tidak bisa berbicara langsung pada negaranya sendiri.

Padahal kehadiran negara seharusnya tidak diukur dari jumlah lembaga, tetapi dari kedalaman empati. Papua tidak butuh lebih banyak pejabat, tetapi lebih banyak pendengar.

Tidak butuh lebih banyak peraturan, tetapi lebih banyak perhatian. Sekolah yang tidak roboh, puskesmas yang buka setiap hari, harga beras yang terjangkau di distrik pedalaman—itulah bentuk paling konkret dari kesejahteraan yang dijanjikan.

Tugas terbesar Presiden Prabowo bukan menambah struktur, tetapi membalik logika pembangunan itu sendiri.

Papua harus dibangun bukan dari instruksi, melainkan dari interaksi. Bukan dari pusat ke pinggiran, tetapi dari kampung ke negara.

Rakyat Papua sudah terlalu lama menunggu di luar ruang pesta. Saatnya meja kebijakan diperluas agar semua bisa duduk bersama.

Dan ketika lagu “Tanah Papua” ciptaan Yance Rumbino kembali terdengar di setiap acara pemerintahan, dinyanyikan dengan haru dan penuh kebanggaan:

Di sana pulauku yang kupuja s’lalu, tanah Papua pulau indah...
Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri...
Syo Ya Tuhan, terima kasih...

kita diingatkan bahwa di balik suara lembut itu tersimpan pesan yang keras: Papua tidak sedang meminta belas kasihan, tetapi sedang menagih janji keadilan.

Kesejahteraan bukanlah kue jabatan yang dibagi di istana, melainkan roti kehidupan yang bisa dinikmati bersama.

Dan negara yang besar bukanlah yang pandai membentuk lembaga, tetapi yang berani membagi keadilan.

Tag:  #komite #eksekutif #papua #jabatan #presiden #prabowo

KOMENTAR