Stigma: Tantangan Menuju Target ''Ending AIDS 2030''
Ilustrasi AIDS. (Shutterstock/serhii.suravikin)
15:12
5 Desember 2025

Stigma: Tantangan Menuju Target ''Ending AIDS 2030''

DUNIA terus kuat melawan AIDS. Telah dicanangkan ending AIDS pada 2030 dengan target ambisius.

Target yang ditetapkan global 95-95-95, di mana 95 persen penderita HIV mengetahui statusnya, 95 persen penderita HIV mendapatkan antiretroviral (ARV), dan 95 persen penderita dengan ARV mengalami penurunan supresi viral, hingga virus HIV tidak terdeteksi lagi.

Perkembangan dan penemuan di bidang HIV/AIDS memang semakin efektif. Tersedia teknologi deteksi dini, obat ARV, dan vaksin yang semakin efektif dalam layanan penanggulangan HIV global.

Namun demikian, tantangan kedepan tidak makin ringan. Di samping perilaku seksual generasi yang kian terbuka dan permisif, kita masih menghadapi tantangan nyata yang pantang surut: stigma.

Stigma itu menimpa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di segala bidang. Dalam kehidupan keseharian mereka tersisih dan sulit menjalani hidup normal.

Mereka dalam layanan kesehatan mendapatkan diskriminasi. Kondisi yang membuat akses layanan tertutup.

Stigma menjadi tantangan kompleks yang membuat penanggulangan HIV menghadapi tembok terjal. Tak peduli bagaimana faktor risiko yang terjadi, stigma menimbulkan diskriminasi yang memprihatinkan.

Penghindaran sosial, penolakan layanan, pemecatan kerja, pengusiran dari rumah, bullying di sekolah, serta pengungkapan status tanpa izin kerap kali terjadi.

Dapat diterima jika penderita HIV menyingkir dan menyembunyikan diri sehingga tidak mendapatkan akses layanan yang baik.

Penanggulangan HIV makin berat tantangannya, melihat penyebaran HIV pada perilaku seksual kini yang semakin mendapatkan ruang dan waktu.

Perilaku demikian dipandang gaya hidup, modern, dinamis dan sangat dipengaruhi dunia digital. Pada saat sekarang dapat dirasakan, layanan pencegahan dan pengobatan tidak bisa menyentuh banyak kelompok risiko dalam masyarakat.

Pemerataan fasilitas layanan mampu HIV/AIDS yang ada (puskesmas, rumah sakit) belum banyak tersebar, pendanaan global makin dikurangi, dan volume penanggulangan kian menurun karena kapasitas dan pendanaan makin tertekan.

Yang mengkhawatirkan dalam penanggulangan HIV: risiko meningkat, tapi kapasitas yang dimiliki pemerintah (Kemenkes, pemda) melemah.

Tahun-tahun yang lalu, epidemi HIV tersentral pada kelompok pekerja seks komersial, pengguna narkotika suntik, dan lelaki seks lelaki, dst. Kini, penyebaran HIV menembus perilaku seksual meluas dan mencair sulit dideteksi.

Para ahli dalam studinya telah melihat tentang perilaku seksual yang begitu permisif, didukung jangkauan dunia digital tanpa batas masa kini, yang pada tahap selanjutnya telah mendongkrak risiko penyebaran di kalangan muda yang menjadi sulit dideteksi secara dini dan mencemaskan.

Stigma terhadap ODHA memainkan jati dirinya yang negatif, membuatnya kehilangan akses layanan.

Kelompok risiko tidak mendatangi poli VCT di rumah sakit karena takut dimakan stigma. Hanya sedikit mereka yang mengambil kondom di fasilitas publik, malu membicarakan perilaku seksual berisiko, atau menjalani pemeriksaan HIV di puskesmas.

Dengan stigma, penanggulangan menjadi berat jalannya karena persoalan epidemiologis telah berubah menjadi persoalan sosial yang sulit diselesaikan.

Hal ini bagaikan bola salju, makin menggelinding. Stigma HIV makin besar dirasakan dan menjelma jadi diskriminasi pada ODHA.

Virus HIV tidak terlihat, tapi label buruk yang menempel membuat kelompok risiko lari dari layanan kesehatan.

Target 95-95-95 masih berat dan panjang jalan mewujudkannya. Sekarang Indonesia belum mampu mencapai karena perubahan perilaku seksual.

Manusia Indonesia yang lebih menempatkan menjaga ekonomi dan sosial, dibanding perilaku sehat, membuat kita terus berupaya meski hasilnya belum efektif menekan.

Cakupan ODHA yang terdeteksi mencapai 79 persen, yang menjalani pengobatan 42 persen, dan yang mengalami supresi viral rendah, yaitu 16 persen.

Belum meratanya layanan, keterbatasan peralatan, distribusi logistik, dan rendahnya retensi pasien sangat mengurangi cakupan target ambisius tersebut.

Layanan pencegahan dan deteksi dini juga terdampak stigma, merintangi akses layanan yang dibangun pemerintah di pusat-pusat penanggulangan HIV (puskesmas, rumah sakit).

Konsultasi sukarela VCT, ketersediaan kondom, pendidikan seksual sehat, dan layanan PrEP (profilaksis pra pajanan), belum sepenuhnya dapat dijangkau karena terbayang stigma moral masyarakat.

Stigma/diskriminasi terjadi juga di fasyankes puskesmas maupun rumah sakit. Berbagai laporan diskriminasi muncul: menolak memberi pelayanan pasien HIV, membocorkan status, atau ketidaknyamanan saat berhadapan dengan kelompok risiko yang mencari layanan.

Fakta tersebut patut disesalkan, karena seharusnya ruang layanan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siapapun.

Kini pendanaan global penanggulangan HIV/AIDS mulai menurun karena perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara.

Donasi global fund maupun kerja sama bilateral antarnegara kian menyusut seiring mencuatnya isu perubahan iklim, ketahanan pangan, dan timbulnya ancaman pandemi baru.

Hal yang terdampak adalah penjangkauan komunitas pada program pencegahan dan layanan dalam masyarakat.

Komunitas yang menghubungkan ODHA dengan layanan medis, melakukan pendampingan, edukasi dan advokasi. Termasuk dalam layanan pencegahan stigma dan diskriminasi, peran komunitas secara luas menentukan.

Perubahan zaman menuntut mitigasi risiko yang kuat dalam rangka kesehatan masyarakat. Stigma pada HIV/AIDS menjadi faktor yang menghalangi mitigasi ketika pembahasan seks dianggap tabu, kuno, dan kondom menjadi sulit diperoleh karena norma sosial belum dapat menerima.

Penderita HIV/AIDS dilihat karena perilaku menyimpang yang mengakibatkan pandemi makin mengancam orang banyak tanpa perlindungan yang memadai.

Pada akhirnya jika dunia menuju keberhasilan ending AIDS pada 2030, maka prioritas layanan adalah menghapus stigma dan diskriminasi yang terjadi.

Penanggulangan HIV, baik oleh pusat dan daerah harus berbenah dengan komitmen yang saling menguatkan. Seperti layanan tes HIV sebagai layanan kesehatan rutin baik di fasyankes (puskesmas) maupun di komunitas.

Edukasi seks secara sehat dilaksanakan terbuka khususnya pada kelompok remaja/pemuda yang membutuhkan informasi.

Kita tidak menyembunyikan kebenaran penyebaran HIV di tengah perubahan zaman. Selanjutnya perlu penguatan layanan komunitas, pendanaan negara yang lebih signifikan, dan penetapan regulasi antidiskriminasi di segala lapangan, termasuk di fasyankes puskesmas/ rumah sakit.

Ending AIDS kurang 4 tahun lagi, kita mesti melaksanakan penanggulangan HIV dengan pendekatan dan skala prioritas.

Stigma bukan isu medis, tapi isu kemanusiaan yang menggelinding seperti bola salju. Tiap Hari AIDS Sedunia, kita selalu dibangunkan, bahwa kemajuan yang telah banyak dicapai dalam program penanggulangan, tapi dibarengi dengan stigma yang nyata melekat kuat, akan sulit menghapuskan HIV/AIDS di muka bumi.

Tag:  #stigma #tantangan #menuju #target #ending #aids #2030

KOMENTAR