



Polri Usut Dugaan Pencucian Uang dalam Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar
- Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (Kalbar).
Sebab, Kepala Kortastipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo menyinggung soal penggunaan pasal TPPU kepada tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU tersebut.
“Kami nanti ada akan rilis kembali terkait pihak yang akan kami tetapkan (tersangka), kemudian dengan dilapisi pasal TPPU-nya,” kata Cahyono dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/10/2025), dikutip dari Antaranews.
Diketahui, empat orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang diduga terjadi dalam rentang tahun 2008-2018 ini.
Mereka adalah Halim Kalla selaku Presiden Direktur PT Bakti Resa Nusa (BRN) sekaligus adik Jusuf Kalla (JK), Fahmi Mochtar (FM) selaku Eks Dirut PLN, RR, dan HYL.
“Kemarin, 3 Oktober (2025) kita tetapkan tersangka melalui mekanisme gelar terhadap tersangka FM (Fahmi Mochtar). Yang bersangkutan dia sebagai Direktur PLN saat itu. Dari pihak swasta ada HK (Halim Kalla), tersangka RR, dan juga pihak lainnya (HYL),” ujar Cahyono Wibowo.
Keempatnya disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Meski demikian, polisi belum melakukan penahanan kepada Halim Kalla dan kawan-kawan.
Kronologi dan Kerugian Negara
Cahyono menjabarkan, proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar harusnya dilaksanakan KSO PT BRN, tetapi pengerjaannya justru diserahkan kepada PT Praba Indopersada (PI).
Pengalihan ini, menurut dia, mengakibatkan munculnya beberapa permasalahan lain.
“Dari PT Praba inilah menjadi suatu permasalahan. Sebenarnya dari awal juga seperti itu. Jadi, puncaknya ada PT Praba di mana alat-alat yang dikirim juga itu under specification (tidak sesuai spesifikasi) sehingga ini mengakibatkan juga sangat kompleks permasalahan (pembangunan) mangkrak itu,” katanya.
Selain itu, Cahyono mengungkapkan, ada juga masalah tenaga kerja China yang bekerja dalam proyek PLTU ini tanpa surat izin bekerja sehingga harus dideportasi.
Lebih lanjut, Cahyono mengatakan bahwa penyidik tengah menelusuri aset dan dana para pihak yang diduga terlibat. Jumlah aset itu diperkirakan mencapai puluhan miliar.
“Dari hasil penelusuran kami, ada beberapa pihak yang sudah ada penerimaan aliran dana. Untuk mendalami dan menyempurnakan itu, kami perlu juga beberapa bukti. Mungkin akan kami rilis pada kemudian hari,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto menjabarkan kronologi dan keterkaitan PLN dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar ini.
Menurut dia, perusahaan listrik milik negara pada tahun 2008 mengadakan lelang untuk pembangunan PLTU 1 Kalbar di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Kalbar.
Namun, sebelum pelaksanaan, terjadi pemufakatan untuk memenangkan PT BRN.
Dalam pelaksanaan lelang, KSO BRN-Alton-OJSC juga telah diatur agar diloloskan dan dimenangkan meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis.
"Selain itu, diduga kuat bahwa perusahaan Alton dan OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," kata Totok.
Kemudian, pada tahun 2009, sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN mengalihkan seluruh pekerjaan pembangunan kepada PT Praba Indopersada, termasuk penguasaan rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada PT BRN.
Setelah itu, tersangka HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN.
"Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalbar," ujar Totok.
Berikutnya, pada tanggal 11 Juni 2009, tersangka FM selaku direktur perusahaan listrik milik negara dengan tersangka RR selaku Direktur Utama PT BRN menandatangani kontrak dengan nilai 80.848.341 dolar AS dan Rp507.424.168.000,00.
Tanggal efektif kontrak tersebut mulai 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012.
Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan. Sampai amandemen kontrak yang ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada tidak mampu menyelesaikan pekerjaan atau hanya mencapai 85,56 persen karena alasan ketidakmampuan keuangan.
"Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari perusahaan listrik milik negara sebesar Rp 323 miliar dan sebesar 62,4 juta dollar AS,” kata Totok.
Jumlah yang telah dibayarkan tersebut ditetapkan sebagai nilai kerugian keuangan negara, yakni 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518.
Jika dikonversikan ke rupiah, maka total kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun, dengan kurs Rp 16.600.
Tag: #polri #usut #dugaan #pencucian #uang #dalam #kasus #korupsi #pltu #kalbar